logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Ayah Diktator

Jingga menyala di langit bagian Barat, samar-samar sinar matahari tenggelam menjemput peraduan. Di sudut teras Arunika duduk di sebuah kursi istimewa, yang bisa menuntunnya kemana saja ia mau. Bangku ajaib itu dilengkapi dua roda besar di belakang dan dua roda kecil di bagian depan. Ia menutup lembaran kertas yang baru saja dibaca. Buku antologi puisi dengan cover percikan air yang mempunyai ketebalan 120 halaman itu menjadi teman sejati baginya, dialah teman yang menemani hari-hari gelap Aruni. Buku pemberian ayah itu, sudah berkali-kali ia baca, diulang-ulang tetap saja diksi indahnya tak membuat jemu.
Gelap semakin merayap. Sepersekian detik berikutnya, hampir serentak lampu-lampu kota mulai menyala, kerlap-kerlip menjadi hiasan malam, juga memberi pencahayaan pada jalan gang depan rumah.
Bangunan yang berdempetan dengan tetangga, ditambah adanya pos kamling yang tepat di depan rumah menjadikan suasana hunian Aruni yang berada di kampung—pinggiran kota Sidoarjo—ini tak pernah sunyi. Semuanya berbanding terbalik dengan bilik hati Aruni yang selalu sepi, hitam, dan tak berbinar.
"Aruni … segera masuk rumah! Hari sudah petang." Suara tegas terdengar dari balik dinding. "Iya" jawab Aruni singkat, tapi belum juga digerakkannya roda kursi.
"Embun Arunika…!" Semakin keras dari yang pertama, ditambah menyebut nama panjang, itu berarti ayah sudah kesal. Benar saja, tak lama kemudian bayangan ayah sudah berada di samping Aruni, berkacak pinggang, memicingkan mata ke arahnya. Pupil membesar, membuat bulu kuduk berdiri. Ayah memang seperti itu, disiplin banget, terkadang berubah jadi diktator juga. Segala kemauannya harus segera dituruti.
Dengan perlahan Aruni menggerakkan roda melewati ruang tamu, menghampiri pintu kamar berwarna putih tulang yang berada paling depan di antara deretan tiga kamar yang lainnya. Paling belakang kamar ayah dan Ibu, sedangkan yang tengah adalah kamar Mita, ya Swastamita adalah adik perempuan Aruni satu-satunya. Putih bersih dengan berat badan 48 kg dan tinggi 161 cm, menambah daya tarik pada gadis cantik itu. Rambut sebahunya selalu dibiarkan tergerai, hitam lurus sungguh indah. Tubuhnya selalu dirawat dengan baik, berbeda sekali dengan Aruni.
Cetek!
Menyalakan lampu kamar yang tidak terlalu terang. Cat dinding berwarna abu-abu, lemari serta bedframe berwarna hitam, juga sprei bercorak kalem menyuguhkan nuansa tenang dan dingin yang disukai Aruni.
Aruni mengambil buku yang sejak tadi berada di pangkuan, dikembalikannya di tempat semula, di rak kecil yang berada di samping lemari baju, berjejer bersama buku-buku pelajaran. Yaa … buku pelajaran sewaktu dulu … dulu sekali. Sengaja tak dibiarkan mereka berakhir di gerobak tukang loak. Rasanya sedih sekali bukan, jika harus kehilangan mereka? Benda yang merangkum segala ilmu, benda yang menjadi saksi bisu atas mimpi dan asa yang pernah berkobar-kobar di dada Aruni.
Tok, tok, tok!
"Ayah … Ibu … aku pulang …." Waktu menunjukkan pukul tujuh ketika suara perempuan terdengar dari luar. Tak ada sahutan. Mungkin Ibu sedang di dapur. Rumah Aruni yang memanjang ke belakang, dengan dapur berada di paling ujung belakang terkadang membuatnya tidak bisa menjangkau suara dari luar.
Aruni pun menggerakkan rodanya, cepat-cepat membuka pintu. Kasihan jika Mita harus berdiri di teras terlalu lama.
Cekrek!
Aruni terperangah, ternyata Mita tak sendiri. Di sampingnya berdiri sosok lelaki jangkung dengan pakaian yang rapi ala-ala orang kantoran. Kemeja unlined berlengan panjang dengan warna monokrom dan terbuat dari bahan katun yang sejuk. Dilengkapi kerah, kancing depan dan satu kantong di bagian dada, dipadu dengan celana bahan slimfit wol abu-abu muda. Segala kekaguman menguap begitu saja ketika tertangkap oleh netra, senyum cibiran di sudut bibirnya ketika melihat Aruni.
"Hallo … Mbak Aruni, ya?" tanyanya menyapa duluan, tapi Aruni enggan untuk sekadar menjawabnya.
𝘑𝘦𝘭𝘢𝘴-𝘫𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘵𝘢𝘥𝘪 𝘴𝘦𝘯𝘺𝘶𝘮 𝘭𝘦𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘫𝘦𝘬, 𝘩𝘶𝘩 … 𝘥𝘢𝘴𝘢𝘳, batin Aruni.
"Kenalin Mbak, aku Anton. Rekan kerja Mita di kantor. Oh iya Mita banyak bercerita tentang Mbak Aruni. Kapan-kapan saja kuajak temanku ke sini ya, Mbak, agar Mbaknya gak kesepian lagi. Hehe …." Aruni masih tak menanggapinya.
"Dia siapa, Mit? Malam-malam bawa teman cowok ke rumah. Nanti kalo dimarahin, Ayah, loh," tegur Aruni ketika Aruni dan Mita sama-sama berjalan ke belakang. Eh, maksudnya bukan berjalan berbarengan, tapi Mita berjalan dengan santai, sementara Aruni berusaha melajukan roda kursi menyeimbangkan langkah kaki Mita.
"Dia bukan teman biasa Mbak, dia adalah calon menantu Ayah dan Ibu yang tak kunjung dihadirkan oleh Mbak," ujar Mita ketus dengan pandangan mata tajam menghunjam jantung.
"Kamu, kok, gitu sih, Mit," lirih Aruni sambil menunduk, melihati kaki-kakinya yang tak bisa digerakkan. Perlahan iya menggelindingkan kursi roda, hendak bertolak ke kamarnya.
Ibuk yang mendengar keramaian, segera berjalan ke depan, meninggalkan gelas dan piring yang belum selesai dicucinya.
"Onok opo se rek, kok, rame ae?" Menghampiri kedua putrinya.
"Tidak ada apa-apa, Buk," jawab aruni tanpa menoleh. Ibuk memandang punggung Aruni hingga menghilang ditelan pintu. Kemudian menoleh ke arah Mita.
"Onok opo?"
"Buk, di depan ada pecarku. Dia berniat mau melamar," jawab Mita antusias.
"Bener ta?" Tanggapan ibu tidak kalah antuasiasnya, senyum merekah, matanya melebar bercahaya seperti habis menang lotre. Memang sudah sejak lama beliau mengidamkan menantu yang akan memberikannya seorang cucu.
Pacar Mita berdiri ketika melihat ibuk, segera dijabatnya tangan keriput yang masih basah karena memcuci piring tadi.
"Halo, Buk, selamat malam," tegur Anton berbasa-basi.
"Sudah duduk saja! Jangan kelamaan berdiri nanti capek. Kamu yang bernama Anton ta? Mita sering menceritakanmu loh, memuji-muji, menceritakan semua kebaikanmu setiap saat," tutur ibu dengan senyum lebar.
"Ih,Ibuk, kok, dibahas kalo aku sering menceritakannya sih." Mita mengerucutkan bibir.
"Halah … sama calon suami kok ya masih malu-malu, kamu harus membiasakan akrab dengannya loh mulai sekarang. Ingat, suami itu adalah 𝘨𝘢𝘳𝘸𝘰, 𝘴𝘪𝘨𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘯𝘺𝘰𝘸𝘰. Jadi apa-apa harus rembukan bersama. Segala sesuatu harus dikatakan. Tidak boleh saling rahasia-rahasiaan," wejang ibuk.
"Ibuuuuk ... kok, malah jadi bahasannya ke mana-mana? Belum juga Anton melamarku, Ibu sudah membahas suami istri," seloroh Mita membuat ibu dan Anton tergelak.
Ibu yang memang suka berbicara, masih membahas apa saja, menanyakan ini dan itu pada Anton. Mengoceh-mengoceh.
***
Arunika termenung di atas kasur, pandangannya lurus ke luar jendela yang baru saja dibukanya. Di luar menyuguhkan pemandangan malam dengan semilir angin yang sesekali mengibarkan-ngibarkan piyama tidur bergambar pisang.
Suasana ramai yang sempat tercipta, kini berubah sedikit hening. Sepertinya ayah sudah pulang dari acara musyawarah dengan perangkat desa. Sejak tiga tahun yang lalu ayahnya memang diberi amanah untuk menjadi seorang RT. Dalam keheningan itu, lamat-lamat ayah mulai berbicara, suaranya tidak begitu jelas dari kamar Aruni. Dia pun melebarkan telinga, mempertajam indra pendengarannya.
"Tidak … aku tidak akan mengizinkan kalian menikah, sebelum, Mbakmu menikah dahulu. Ingat Mit, Aruni itu lebih tua daripada kamu, jadi tidak baik jika kamu mendahuluinya." Suara ayah mendominasi. Setelahnya hanya keheningan yang tercipta.
Bersambung

Komento sa Aklat (279)

  • avatar
    ARYABSK

    bagus

    4d

      0
  • avatar
    Lince rumansaraYane

    wah dari cerita ini kita dapat baaanyak pelajaran bahwa kita harus percaya diri, dll

    8d

      0
  • avatar
    WarniPreh

    daimen

    20/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata