logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Berakhir Tragis

Beno menunggu penjelasan, Yuna mencoba menarik tangannya dari genggaman lelaki berkemeja biru itu. Namun, lelaki itu tetap tak melepasnya. Tanpa pikir panjang, Beno langsung memukul lelaki yang terus menempel pada kekasihnya itu. Yuna memekik kaget, spontan memeluk Beno untuk menenangkannya.
"Bangs*t!" teriaknya akan membalas pukulan Beno. Yuna merentangkan tangan di depan Beno, melindunginya dari pukulan balasan. Lelaki itu terlihat sangat marah, matanya menatap tajam, rahangnya mengeras dan napasnya berburu.
"Kak, tolong, aku minta waktu. Aku harus jelasin semuanya ke Beno. Please ...." Yuna memohon dengan suara bergetar, dia tak mengira akan berdiri di tengah dua lelaki yang sama-sama emosi.
Tanpa menunggu persetujuan dari lelaki itu, Yuna berbalik, kembali menghadap Beno. Melangkah menjauh sambil menarik tangan Beno, mereka butuh tempat tenang untuk bicara. Baru beberapa langkah, suara lelaki itu menghentikan langkah mereka.
"Jangan keluar dari sini. Kalian bisa bicara di sini! Jangan lupa, Yuna. Kamu istri saya!" teriaknya, dengan menekankan suaranya saat mengucapkan kalimat terakhir.
"Istri?" Beno menatap wajah Yuna, "istri dia bilang?!"
Yuna mengangguk pelan, lalu menunduk tidak berani menatap Beno. Air matanya mengalir deras.
"Jelasin semuanya!" pinta Beno dengan suara tegas dan dalam, ada emosi yang coba ia tekan. Tubuh Yuna semakin bergetar hebat, ingin rasanya Beno memeluk dan menenangkannya, tetapi dia lebih butuh penjelasan.
Yuna menarik napas panjang setelah berhasil menghentikan tangis, "Aku dijodohin, Ben. Aku nggak pernah tahu kalau aku sudah dijodohin."
Beno diam, wajahnya datar dan dingin, tangannya terkepal.
“Dijodohin,” gumamnya lirih, rasanya tak percaya kata itu keluar dari mulut Yuna.
"Kami langsung dinikahkan karena kondisi Tante Mela semakin parah. Tante Mela meninggal sesaat setelah kami menikah." Yuna menatap wajah Beno, tatapan memohonnya tak membuat lelaki itu luluh.
"Ben ...."
"Lalu kamu nggak bisa nolak?! Kamu nggak inget aku?!" teriak Beno. Yuna memejamkan mata.
"Situasinya nggak memungkinkan, Ben. Itu permintaan terakhir Tante Mela." Yuna mulai terisak lagi.
"Jadi kamu nggak bisa nolak?" tanya Beno sekali lagi, menatap tajam tepat ke dalam mata Yuna.
"Atau kamu memang mau? Ah iya, kamu memang mau. Buktinya ada tanda di leher kamu." Tatapan Beno yang biasanya penuh cinta berubah menjadi dingin dan sinis.
"Ben! Aku nggak gitu! Ak--- "
"Terus pembelaan apa yang mau kamu keluarin? Kamu terpaksa karena keadaan, tapi sekarang kamu menikmatinya, iya? Seperti itukah?" tanya Beno lirih. Yuna diam tak menjawab, menundukkan wajahnya. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu.
Beno menghela napas kasar.
"Oke. Aku kalah. Aku mundur, Yang. Aku nggak mungkin maksa kamu ninggalin dia 'kan?" ucap Beno pasrah. Yuna kembali menatap mata Beno yang sudah berkaca-kaca.
"Dia memenuhi syarat menantu idaman sesuai keinginan Papa kamu 'kan? " tanyanya dengan tersenyum. Tangis Yuna semakin kencang. Beno terlihat menyedihkan, dia tersenyum tetapi matanya menangis. Semua usahanya sia-sia, cintanya yang begitu kuat dikalahkan oleh restu orang tua.
"Selamat ya, Sayang. Semoga kamu bahagia. Makasih untuk delapan bulan yang menyenangkan.”
Yuna berhambur memeluk Beno, mereka saling berpelukan. Tubuh keduanya bergetar karena menangis.
"Yuna ... jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Kalau kita nggak sengaja bertemu, jangan sapa aku. Anggap aja aku ini orang asing. Anggap aja kita nggak pernah saling kenal. Lupakan aku. Berbahagialah ...." Beno menatap Yuna dengan sendu.
“Biarkan aku memandangmu untuk terakhir kalinya, Yang,” bisik Beno di dalam hatinya.
Setelah puas memandang gadis yang akan dia lepaskan, Beno mengecup kening Yuna lalu mencium singkat bibir mungil yang selalu ada dalam pikirannya.
"Anj*ng!!" Lelaki yang berstatus suami Yuna menghajar Beno, yang langsung dibalas oleh Beno. Mereka saling memukul. Yuna berusaha melerai tapi tenaganya tak mampu memisahkan mereka. Om Rudi dan salah satu pelayan rumah makan berhasil memisahkan mereka.
Begitu terlerai, Yuna langsung ditarik keluar dengan kasar oleh suaminya. Melihat Yuna diperlakukan kasar seperti itu, Beno berusaha memberontak dari pelukan Om Rudi.
“Br*ngsek!! Jangan kasar sama perempuan!” teriaknya, setengah berlari mengejar kepergian Yuna.
“Ben!” Om Rudi menarik dengan keras tangan Beno.
“Stop, Ben!” Om Rudi menghalangi jalan Beno.
“Minggir, Om! Aku mau buat perhitungan sama cowok itu! Dia udah kasarin Yuna, Om!” kicau Beno kehilangan arah.
“Stop!!!” Suara Om Rudi menggelegar.
“Stop, Ben. Hentikan semuanya, kamu udah nggak berhak lagi atas Yuna. Dia udah punya suami, Ben,” ucap Om Rudi, menurunkan suaranya.
“Tapi, Om ....” Air mata Beno luruh, tubuhnya bergetar hebat. Om Rudi memeluknya, lalu membawanya duduk di kursi.
Beno terus menangis, tak peduli jika ada yang menyebut lelaki cengeng. Hatinya benar-benar sakit, ini lebih sakit dibandingkan dengan pengkhianatan Mia dulu. Atau saat Romi merebut kekasihnya di SMA. Kehilangan Yuna rasanya berkali-kali lipat dari itu.
Yuna selalu ada dalam rencana masa depannya. Dia akan menikahi gadis itu, mereka tinggal di rumah sederhana dengan halaman yang luas, lalu Yuna melahirkan anak-anak yang lucu untuknya. Beno selalu membayangkan itu setiap harinya.
Namun, kini semuanya telah musnah. Impiannya hidup bahagia dengan Yuna terkubur dalam-dalam. Beno tak menyangka kisah mereka berakhir setragis ini.
Andai waktu itu dia memaksa untuk mengantar Yuna pulang ke Cirebon, mungkinkah kisah mereka tak akan seperti ini? Ataukah Yuna akan tetap pergi dari sisinya? Kalimat tanya lain yang terlintas dalam kepalanya adalah, kenapa Yuna tak menolak? Apa perasaan Yuna kepadanya tak sedalam perasaannya?
Di tengah berbagai tanya, Beno mencoba mengingat di mana dia pernah bertemu dengan lelaki itu, lelaki yang merebut Yuna dari sisinya. Wajahnya familiar, mereka pernah bertemu, Beno yakin itu.
“Maribaya ....”
“Apa, Ben? Ada apa di Maribaya?” tanya Om Rudi yang sedari tadi duduk di sampingnya. Acara ulang tahun perusahaan Om Rudi serahkan pada Theo wakilnya.
Beno menggeleng, tak menjawab pertanyaan Om Rudi. Dia ingat sekarang, di mana pernah melihat suami Yuna. Di Maribaya, dia lelaki yang tiba-tiba saja mendekat dan meminta maaf pada Yuna. Mereka bukan saudara sepupu, karena waktu itu Ulfa bilang bahwa lelaki itu adalah cinta pertama Yuna.
“Sialan!” maki Beno dalam hatinya. Pantas saja Yuna tak menolak, karena lelaki itu cinta pertamanya.
Beno bangkit, mengusap wajahnya dengan kasar. Menghembuskan napas perlahan, lalu mencoba untuk tersenyum, Beno tersenyum pada Om Rudi. Pamannya itu mengeryitkan dahi saat melihat senyumannya.
“Aku bakal baik-baik aja, Om. Maaf, aku nggak bisa lanjut ikut acara ini. Aku pamit duluan, assalamu’alaikum.”
Beno melesat keluar dari ruangan VIP, tanpa menghiraukan panggilan Om Rudi. Di kepalanya saat ini adalah mencari tahu tentang siapa suami Yuna. Dia akan tenang melepas Yuna, jika sudah mengetahui pasti bahwa suami mantan kekasihnya itu lelaki baik-baik.
Beno tak mau melihat Yuna terluka oleh lelaki itu. Jika hal itu terjadi, maka Beno tak segan akan merebut Yuna kembali.
$$$$$
6 Februari 2022

Komento sa Aklat (95)

  • avatar
    PratamaRio

    bagus

    5d

      0
  • avatar
    Raditia Azwan

    Karena seru

    9d

      0
  • avatar
    AAp

    ok qlala

    11d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata