logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Siapa Lelaki Itu?

Om Rudi mengumumkan bahwa nanti malam akan ada perayaan sederhana ulang tahun perusahaannya. Perayaan sederhana berupa makan bersama di sebuah rumah makan khas Sunda. Semua karyawan menyambut gembira, mungkin hanya Beno yang kurang senang akan acara nanti malam.
Tadinya, hari ini sepulang dari kantor, dia akan mengajak Yuna makan malam berdua, sebelum Yuna pergi ke rumah almarhumah tantenya. Nanti malam agenda Yuna menemani sepupunya sudah dimulai. Sebenarnya Beno sangat keberatan, mereka baru saja bertemu, tetapi bukannya menghabiskan akhir pekan berdua malah Yuna sibuk dengan sepupunya. Apa mau dikata, Beno pun akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi pada Deana, adik sepupunya.
“Ben, tolong selesaikan ini sekarang juga,” ucap Surya, supervisornya, sambil menaruh setumpuk berkas.
“Sekarang, Kang?” tanya Beno sembari melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore.
“Yoi!” jawab Surya singkat.
“Alamat lembur ini,” gerutu Beno. Tangannya menepuk kasar tumpukan berkas di atas mejanya.
“Ceuk saha maneh bolos kamari!” celetuk Joan.
“Berisik!” hardik Beno. Dia berusaha berkonsentrasi untuk menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Karena Yuna bilang, jam tujuh malam dia akan dijemput oleh sepupunya. Rencananya, Beno hanya akan mengajaknya makan malam di warung sate Maranggi kesukaan mereka.
Secepat apapun Beno berusaha menyelesaikan tugasnya, tetap saja tak akan selesai di akhir waktu. Dengan berat hati Beno membatalkan janjinya pada Yuna.
“Masih belum selesai, Ben?” tanya Om Rudi. Dia baru saja kembali dari musala kantor.
“Belum, Om. Tinggal satu lagi, nih,” jawab Beno tanpa mengalihkan perhatiannya dari deretan angka di layar monitornya.
“Jangan lupa salat magrib, waktunya pendek, loh,” tegur Om Rudi.
“Iya, Om, dikit lagi. Nanggung, biar langsung kelar.”
“Kalau kamu ada acara sama Yuna, nggak papa kalau nggak bisa gabung. Tante sama Deana juga nggak bisa gabung. Deana ada tugas sekolah, tapi nggak mau ditinggal di rumah.”
Beno melirik ke arah jam dinding, sudah pukul enam lebih lima belas menit. Tak ada waktu untuknya bertemu dengan Yuna.
“Nggak ada, Om. Yuna harus nemenin sepupunya,” sahut Beno.
“Oh, gitu. Oke, nanti kamu bareng Om atau naik motor?” tanya Om Rudi sambil mengangguk singkat pada Surya yang menyapanya.
“Naik motor aja.”
“Oke, Om balik ke ruangan dulu.” Om Rudi menepuk bahu Beno.
Tepat pukul tujuh, Beno dan teman-temannya telah berkumpul di halaman rumah makan yang telah di-booking untuk acara ulang tahun perusahaan. Tak ada pengunjung lain selain mereka. Canda tawa memenuhi ruangan luas di tengah rumah makan.
Beno masih sibuk dengan ponselnya, hatinya mendadak sangat cemas karena Yuna belum membalas pesan. Padahal terakhir saat Beno membatalkan rencana mereka, lelaki itu berpesan agar dia memberinya kabar sebelum pergi ke rumah sepupunya itu.
“Aya naon?” tanya Joan, salah satu teman kantor Beno yang cukup cerewet, perpaduan antara Nunu dan Raden.
“Kagak ada,” jawab Beno sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Beberapa makanan yang telah dipesan berjajar di atas meja. Ayam bakar, gurami bakar, gurami cobek, berbagai macam sambal dan lalaban memenuhi meja panjang yang mereka kelilingi.
Satu dua orang dari mereka menunjukkan ke arah pintu rumah makan. Di sana terlihat sepasang kekasih yang bersikeras ingin makan di sini, sedangkan rumah makan telah di-booking. Perdebatan yang terjadi sedikit menarik perhatian beberapa orang yang sedang berkumpul itu.
“Aya naon?” tanya Joan pada Surya yang baru saja duduk di sampingnya.
“Biasa, maksa makan di sini, padahal udah di-booking,” jawab Surya, tangannya mengambil nasi dari bakul anyaman bambu.
“Jadina kumaha?” Joan menanyakan kelanjutannya dengan bahasa sunda.
“Tetep masuk, di ruang VIP. Istrinya ngidam, pengen makan sayur asem di sini,” sahut Surya lagi. Joan mengangguk singkat, lalu kembali melirik ke arah depan lagi. Pasangan itu digiring menuju satu ruangan VIP oleh manager rumah makan.
“Ben, itu ... itu pacar kamu, bukan?” tanya Joan sedikit gagap, wajahnya pucat dan tegang. Beno menoleh ke arah yang ditunjuk Joan. Matanya memicing, memastikan bahwa perempuan yang baru saja masuk ke ruangan itu bukan Yuna. Namun, Beno hafal dengan gestur khas Yuna juga baju yang dipakai, itu kaos couple yang pernah mereka beli.
Beno berdiri dengan kasar, menarik perhatian teman-temannya, termasuk Om Rudi yang duduk agak jauh dari Beno. Joan menahan tangan Beno, memintanya untuk tetap tenang.
“Tenang, Ben, jangan grasak grusuk.” Joan menepuk dada Beno. Surya ikut berdiri menenangkan Beno.
“Gue harus ke sana, mastiin itu Yuna atau bukan,” ucap Beno tanpa menyembunyikan rasa kesalnya.
Om Rudi mendekat, bertanya apa yang terjadi, lalu dijawab oleh Joan dan Surya. Beno lebih banyak diam, tangannya mengepal kuat.
“Kamu mau masuk ke sana buat mastiin?” tanya Om Rudi yang hanya dijawab anggukan oleh Beno. Lelaki gagah meski sudah berusia di atas empat puluh tahun itu menepuk bahu Beno.
“Ayo, Om temenin,” ajak Om Rudi. Beno berjalan cepat menuju ruangan VIP yang dimasuki perempuan mirip Yuna itu.
Beno membuka pintu dengan pelan, di sana duduk sepasang kekasih membelakangi pintu. Kepala sangi perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki.
“Yuna ....” Beno memanggil nama kekasihnya, berharap perempuan yang duduk di sana bukan Yuna.
“Ben ....” Gadis itu menoleh, dan ternyata benar dia Yuna. Rasa panas mulai membakar jiwa Beno.
Beno mendekati Yuna dengan wajah memerah. Gadis itu berdiri, bergerak ingin mendekat, tetapi tangannya ditahan oleh lelaki yang berdiri di sampingnya.
“Kamu ngapain di sini? Katanya mau ke rumah tante kamu. Kok, ada di sini? Dia siapa?” cecar Beno, matanya menatap tajam ke arah lelaki yang tak melepaskan genggamannya pada lengan Yuna. Rasanya Beno pernah melihat wajah lelaki itu, tapi entah di mana.
“Emmm ... dia anak Tante Mela.” Yuna menjawab dengan sedikit gugup.
“Dia cowok? Aku pikir anak tante kamu itu cewek. Jadi dia yang ngajakin kamu nonton film begituan?!” Rahang Beno mengeras.
“Maksud lo apa? Siapa yang ngajakin Yuna nonton film begituan? Lo siapa, sih, dateng-dateng langsung marah-marah kayak gini?!” tanya lelaki yang berwajah tak kalah tampan dengan Beno itu.
Lelaki itu berdiri berhadapan dengan Beno, tangannya meraih tangan Yuna agar berdiri di belakangnya. Beno yang melihat itu merasa tak terima, dia menarik tangan Yuna yang lain agar berdiri di dekatnya. Kekasih Beno itu terlihat salah tingkah, berdiri kaku di antara dua lelaki yang sama-sama emosi itu.
“Gue pacar Yuna! Gue yang harusnya nanya ngapain lo berduaan sama cewek gue di sini?!” Beno masih berusaha menahan amarahnya. Om Rudi mencoba menenangkan Beno.
“Pacar?” gumam lelaki itu, yang entah siapa namanya, ada keterkejutan di wajahnya.
“Ben, tolong kamu dengerin penjelasan aku dulu, ya.” Yuna mencoba lebih dekat ke arah Beno, tetapi lagi-lagi lelaki itu menahan tangannya. Beno menatap tangan Yuna yang dipegang erat oleh lelaki itu.
“Kamu emang harus jelasin semuanya! Semuanya, Yang! Termasuk kenapa leher kamu merah-merah kayak gitu!” Mata Beno menatap kekasihnya dengan nyalang. Ada kesedihan di sana, rasa sakit yang begitu dalam, apalagi saat tanpa sengaja matanya melihat noda merah di leher Yuna.
“Sejauh apa hubungan kamu dengan lelaki itu? Apa dia yang membuatmu menjadi begitu agresif kemarin?” tanya Beno dalam hatinya.
Yuna mengangguk lemah, air mata mulai mengalir dari sudut matanya.
$$$$$
6 Februari 2022

Komento sa Aklat (95)

  • avatar
    PratamaRio

    bagus

    5d

      0
  • avatar
    Raditia Azwan

    Karena seru

    10d

      0
  • avatar
    AAp

    ok qlala

    12d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata