logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Episode 3

Waktu bergulir dengan cepat, tak terasa hari yang dinantikan Jihan akhirnya tiba, hari di mana dia akan melepaskan masa lajang dan mengarungi mahligai rumah tangga demi menyempurnakan ibadahnya.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau Muhammad Ammar Syahnan bin Yusuf Ishak dengan anak saya Jihan Rumaisah binti Arifin Ilham dengan mas kawin seperangkat alat Shalat dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Jihan Rumaisah binti Arifin Ilham dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
“Sah?”
“Sah!”
Dengan satu tarikan nafas, Ammar mengucapkan Ijab Kabul dengan lantang. Hal yang dia tolak mati-matian, akhirnya mau tak mau dia lakukan dengan berat hati demi menuruti permintaan orang tuanya agar mengembalikan fasilitas yang disita.
☘️☘️☘️
Suasana rumah sederhana milik Arif kini terlihat ramai, beberapa mobil mewah bertengger di halaman rumahnya, acara khidmat itu berjalan dengan penuh haru. Arif bahkan tak kuasa menahan laju air matanya karena berhasil menikahkan sang putri tercinta.
Acara pernikahan Jihan dan Ammar digelar dengan bersahaja, hanya dihadiri kerabat, anak-anak yatim dan tetangga saja. Semua itu permintaan Jihan, sebab dia tak ingin mubazir dan menghambur-hamburkan uang hanya untuk sebuah pesta besar.
Setelah mengucapkan Ijab Kabul, Ammar juga membaca sighat taklik. Lalu kedua pengantin baru itu melakukan sungkeman kepada kedua orang tua, dan lagi-lagi suasana haru menyelimuti seluruh ruangan sederhana yang sudah disulap menjadi indah itu.
Ucapan selamat dan doa terus berdatangan dari kerabat dan tamu, berharap kehidupan rumah tangga kedua mempelai selalu bahagia dan langgeng hingga anak cucu.
Sedari tadi Jihan tak berhenti tersenyum, menunjukkan kepada semesta bahwa dia sangat bahagia karena bisa menikah dengan seseorang yang sudah lama dia sukai. Begitu juga dengan Ammar, dia juga berusaha menampilkan senyuman terbaiknya meskipun dia membenci situasi ini.
“Selamat, ya. Semoga Sakinah Mawadah Warahmah.”
“Semoga langgeng sampai anak cucu, ya.”
“Cepat dapat momongan, ya.”
“Semoga bahagia selalu sampai maut memisahkan.”
Doa-doa dan harapan begitu tulus terucap dari bibir semua orang. Jihan berharap doa-doa itu diijabah oleh Allah SWT. Aamiin.
☘️☘️☘️
Para tamu undangan sudah pulang, hari juga sudah mulai petang. Ammar mendekati Yusuf dan berbisik.
“Apa sekarang aku sudah bisa mendapatkan ATM dan kartu kredit ku, Pa?”
“Bukankah kau baru saja mendapatkan gaji pertamamu, Papa rasa itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini. Jadi apa kau masih membutuhkan dua kartu itu?” jawab Yusuf pelan.
Ammar mengeraskan rahangnya. “Tapi aku sudah menikah, sesuai janji, Papa akan mengembalikan semuanya.”
“Iya, Papa enggak lupa dengan janji itu. Tapi enggak sekarang. Sudahlah, nanti kita bahas lagi.” Balas Yusuf dan bergegas menjauh dari putranya itu.
Ammar benar-benar geram karena lagi-lagi sang papa mempermainkan dirinya. Dengan perasaan kesal yang menggunung, dia mendekati Jihan yang sedari tadi tak henti-hentinya tersenyum kepada semua tamu.
“Kemasi semua barang-barangmu. Kita akan ke rumahku sekarang juga.” Bisik Ammar.
“Loh, bukankah ....” Ucapan Jihan menggantung karena Ammar menyela.
“Kemasi cepat! Aku enggak mau dengar bantahanmu.”
“Iya, Mas.” Jihan mengangguk patuh dan segera beranjak dari sisi sang suami.
Ammar sempat tertegun saat mendengar Jihan memanggilnya dengan sebutan Mas, padahal dia tahu umur mereka sama.
“Loh, mau ke mana, Nak?” Salma bertanya saat melihat Jihan meninggalkan Ammar dan masuk ke kamar pengantinnya.
“Mas Ammar memintaku mengemasi barang-barang, Umi. Dia akan mengajakku ke rumahnya sekarang juga.” Jawab Jihan pelan, takut yang lain dengar.
“Kenapa terburu-buru sekali?”
Jihan menaikkan bahunya. “Aku juga enggak tahu, Umi. Mungkin Mas Ammar enggak mau tidur di sini karena kamarnya enggak ada pendingin ruangan.”
“Hmmm ... mungkin juga. Ya sudah, cepat kemasi barang-barangmu! Jangan biarkan Nak Ammar menunggu lama.”
“Iya, Umi.” Jihan melanjutkan langkahnya memasuki kamar dan segera mengemasi barang-barangnya.
Setengah jam kemudian, Jihan keluar dari kamarnya dengan membawa sebuah koper dan satu tas selempang. Semua orang tercengang melihatnya, Anita segera mendekati sang menantu.
“Jihan mau ke mana?” Tanya Anita.
“Aku mau ajak dia ke rumah yang akan kami tempati, Ma.” Tiba-tiba Ammar menyela.
Jihan dan Salma tercengang, itu berarti Ammar tidak membawa Jihan ke rumah orang tuanya, melainkan rumah yang lain.
“Kenapa buru-buru sekali? Tinggallah semalam saja di sini, mubazir dong kamar pengantin kalian.”
“Enggak apa-apa. Mungkin Nak Ammar enggak bisa tidur di kamar ini.” Salma menimpali.
“Sudahlah, Ma. Ammar pasti enggak mau diganggu, ini kan malam pertama mereka.” Seloroh Yusuf dan memancing gelak tawa semua orang di ruangan itu.
Jihan tertunduk dengan wajah yang memerah karena malu, sedangkan Ammar hanya tersenyum penuh arti.
Kedua pengantin pun akhirnya berpamitan, ada perasaan sedih di hati Jihan karena ini untuk pertama kalinya dia akan tinggal terpisah dari kedua orang tuanya itu.
Di dalam perjalanan, Ammar hanya diam membisu. Lelaki berwajah rupawan itu fokus menatap jalanan tanpa berniat untuk bicara atau sekedar melirik sang istri, sementara Jihan cuma tertunduk sambil memainkan jari jemarinya karena gugup, sebab ini kali pertama dia berduaan dengan seorang lelaki di dalam mobil.
Mobil Range Rover Velar hitam memasuki gerbang rumah mewah bercat putih, seorang satpam paruh baya mengangguk dan menyapa Ammar.
Ammar menghentikan mobilnya dan meminta Jihan keluar.
“Turun!”
“Iya, Mas.” Jihan bergegas turun.
“Mang Jaja, keluarkan tas yang di mobil terus letak di kamar tamu.” Pinta Ammar tegas.
“Iya, Den.” Mang Jaja segera melaksanakan perintah anak majikannya itu.
“Kau masuk!” Ammar melangkah mendahului Jihan, wanita itu pun membuntuti sang suami.
Jihan terkesima begitu memasuki rumah yang akan mereka tempati, rumah bergaya mini malis itu didominasi warna putih dan coklat, barang-barang mewahnya tertata dengan rapi. Rumah dua lantai itu terasa cukup besar untuk mereka berdua.
Tapi lamunan Jihan buyar saat suara Ammar menyambar gendang telinganya, dan dia baru sadar kalau Ammar sedang menatap tajam dirinya.
“Kau tahu, dari awal aku enggak menginginkan pernikahan ini, aku sudah punya kekasih. Tapi paksaan dari Papa membuat aku mau tak mau harus menyetujuinya.”
Jihan terkesiap mendengar kata-kata Ammar, merasa ada batu besar yang menghantam dadanya, mendadak hatinya perih dan kecewa. Andai dia tahu dari awal jika Ammar terpaksa, dia pasti menolak pernikahan ini walaupun dia menyukai lelaki itu.
“Jadi kau jangan berlagak menjadi istriku, karena sampai kapan pun aku enggak akan menganggapmu. Bersikap dan berlakulah dengan tahu diri. Jangan mencampuri urusanku, karena aku juga enggak akan peduli dengan urusanmu.” Lanjut Ammar.
“Tapi ....” Hati Jihan semakin sakit, dengan cepat cairan bening menggenangi matanya.
“Dan satu lagi. Jangan coba-coba mengadu kepada siapa pun terutama orang tua kita, atau kau akan menyesal.” Ancam Ammar tanpa memberikan kesempatan untuk Jihan bicara.
“Ini berlaku juga untuk Mang Jaja! Awas kalau berani mengadu ke Mama atau Papa!” Ammar menatap tajam Mang Jaja yang berdiri diambang pintu.
“I-iya, Den.” Mang Jaja mengangguk patuh.
Ammar pun melangkah naik ke lantai dua.
Jihan tak kuasa menahan tetes air matanya. Kecewa? Tentu saja.
Istri mana yang tidak terluka jika tak dianggap oleh suaminya sendiri. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Jihan sadar, kini dia seorang istri dan sudah sepantasnya mematuhi suami serta melakukan kewajibannya.
“Yang sabar, ya, Neng. Sejak kecelakaan dan bangun dari koma, Den Ammar memang jadi pemarah, tapi aslinya dia baik, kok.” Mang Jaja mencoba menghibur Jihan.
“Iya, Mang. Aku tahu.” Sahut Jihan sembari menghapus air matanya.
☘️☘️☘️

Komento sa Aklat (228)

  • avatar
    afrinaqaireen

    sangat best dan sngat berpuas hati best sangat Nanti ada episode lain saya Nak baca lagi

    3d

      0
  • avatar
    AmiraNoor

    padam muka Ammar

    20d

      0
  • avatar
    Iksanfauzi

    keren

    18/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata