logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 2

Kiana baru saja menerima nampan makan siangnya. Matanya menjelajah ke seluruh kantin untuk mencari tempat kosong. Ia bersyukur masih ada satu meja yang kosong. Ada cewek berambut pirang yang duduk di sana, terlihat mengecek ponsel tanpa minat.
Kiana menghampirinya dan berdeham. "Maaf, gue boleh duduk di sini?"
"Hmh, silahkan." kata cewek itu acuh tak acuh.
Kiana duduk di hadapannya, mereka hanya dihalangi oleh meja kayu persegi panjang dan makanan yang ada di atasnya. "Nama gue Kiana, lo?"
"Angel, Angelina Kay Putri." sahutnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.
"Salam kenal."
"Ya."
Di antara hening yang menyelimuti meja itu, Arkan tiba-tiba datang dan langsung duduk di sisi meja lainnya. Tak menyapa atau semacamnya, Angel sendiri tak peduli.
"Oy, lo nempatin tempat gue lagi." Ian yang sudah ada di samping Kiana berkata sambil merotasikan bola mata.
"Eh?" Kiana hanya menatapnya bingung--bukannya ini tempat umum?
"Sebenernya, tempat duduk ini bisa muat buat dua orang kalau lo mau geser." Kali ini Revan yang bicara dengan gaya santai yang khas.
Kiana tersentak dan langsung menggeser tubuhnya. "Maaf." bisiknya.
Revan duduk di sampingnya seraya tersenyum ramah. "Makasih."
Ian mendengus lalu duduk di samping Angel--di pojok dekat tembok. Meja mereka ada di sudut kantin, satu sisinya menempel pada tembok.
Kiana diam-diam memerhatikan Revan dari samping. Cowok itu bahkan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di masa lalu.
"Eh, Arkan." panggil Ian membuat Kiana tersentak panik dan buru-buru mengalihkan pandangan dari Revan.
Ian yang dari tadi diam-diam melihat Kiana yang memerhatikan Revan. Matanya memicing sebal, ia punya firasat buruk, tapi memilih tak ambil peduli. Ia memilih kembali menatap Arkan. "Ambilin tisu, dong!"
Arkan menghela napas. "Ribet."
"Itu ada di samping lo!" Ian mulai berdecak.
"Ambil aja sendiri."
"Lebih ribet lagi kalau gue yang ambil!"
Kiana ingin sekali melerai pertengkaran kecil mereka. Tangannya terulur untuk mengambil kotak tisu yang tepat di samping Arkan. Tetapi Revan terlebih dahulu meletakkan telapak tangannya di atas kotak tisu itu.
Kiana tersentak, seraya segera menarik kembali tangannya yang sempat terulur.
Revan menyadari itu dan menyodorkan kotak tisu pada Kiana. "Mau ambil tisu?"
Meski ragu, Kiana mengangguk dan mengambil beberapa helai tisu seraya meletakkannya di atas nampan.
Revan kemudian melemparkan kotak tisu itu tepat di depan wajah Ian. "Makan, tuh, tisu, ribet kalian."
"Lagian si Ian marah-marah mulu," Angel yang dari tadi diam mulai bersuara. "Gue yang lagi PMS aja gak segitunya."
"Suka-suka guelah!" Sergah Ian sambil melirik Kiana sinis.
Kiana menyadari bahwa ia tidak diinginkan di sini, ia hanya mengulum bibir sambil menunduk dalam. Kemudian memilih bangkit membawa nampan makanannya. "G-gue duluan, makasih."
Keempat orang itu hanya diam, tak ingin berkomentar ataupun mencegahnya pergi.
Kiana salah mengenai sekolah dan kelasnya itu. Siswi baru bukanlah berlian di sini, orang-orang terlalu cuek. Kiana pun melangkah pergi, membuang sisa makan siangnya tak berselera dan menghilang di koridor.
Revan tersenyum kecil sambil terus memerhatikan punggung kiana yang mulai menghilang. Pikirannya beranjak pada momen 4 tahun lalu.
[.]
Seorang gadis kelas 7 SMP sedang menangis di kelas yang sudah kosong. Revan menghampiri gadis itu dan berlutut di hadapannya.
"Hei, kenapa nangis?"
Gadis itu berhenti terisak, tidak menjawab pertanyaan Revan dan malah menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Revan duduk di lantai di samping gadis itu sambil menatap langit senja di luar jendela. "Nama kamu siapa?"
"Kiana." Gadis itu menjawab pelan membuat Revan tersenyum.
Revan mengulurkan tangannya. "Nama aku Revan. Kiana gak mau pulang? Udah sore, loh."
Kiana hanya menggeleng tanpa menerima uluran tangan itu.
"Kenapa?"
"Takut."
Revan berdiri dan mengulurkan tangannya sekali lagi. "Ayo, aku antar kamu pulang. Aku bakalan jagain kamu, jadi gak usah takut. Besok-besok, kalau ada yang jahatin kamu lagi ... kasih tau aku. Aku pasti jagain kamu."
Kiana hanya mengira bahwa ucapan Revan hanyalah omong kosong. Namun ia tetap menyambut uluran tangan itu, setidaknya cowok ini mau mengantarnya pulang.
Revan tersenyum memamerkan lesung pipinya. Mereka berjalan sambil menggenggam tangan meninggalkan kelas dan kesunyian.
Revan tidak tahu apa yang mendorongnya untuk mengatakan hal itu, namun ia sama sekali tidak menyesal. Justru ia menjadi lebih bersemangat.
Semakin lama mereka semakin akrab. Kiana merasa aman di samping Revan. Dan Revan tak sekalipun berpaling dari Kiana. Sebuah persahabatan yang manis.
Sampai akhirnya ...,
.
.
"Revan, gue suka sama lo."
.
.
[.]
Revan memijit pelipisnya yang sedikit pusing karena mengingat hal itu.
"Oy, Van." Ian memanggil, ia bertanya di sela-sela makannya. "Katanya lo udah lama kenal sama Kiana?"
"Ya, kita satu SMP sampai akhirnya dia pindah gara-gara pekerjaan orangtuanya." jawab Revan, "Kenapa? Lo naksir?"
"Bukan gue, lo kali yang dari tadi merhatiin dia. Mana dia juga sempet merhatiin lo, jangan-jangan kalian pernah ada apa-apanya, ya?" cetus Ian panjang lebar.
Arkan menghela napas. "Ribet kalian berdua."
"Kalau lo kenal, kenapa tadi lo diem pas dia mau pergi?" Kali ini Angel bertanya, "Kasihan tau, selera makannya jadi hilang."
"Itu, sih, gara-gara si Arkan." Revan terkekeh. "Sama si Ian yang banyak omong."
Revan beralih memandang arah kepergian Kiana dengan senyum. "Dia kayaknya lagi mau menenangkan diri, mungkin syok pas ketemu gue."
Angel tiba-tiba menggebrak meja. "Pasti dia pernah lo apa-apain 'kan?!"
"Ya, enggaklah." Revan mencebik. "Lo nethink mulu jadi cewek."
"Drama queen lo dasar." Arkan ikut-ikut.
Mata Angel menyipit melirik Arkan.  "Diem lo, bocah Ribet."
Arkan lagi-lagi menghela napas. "Yang ribet, tuh, kalian, kalau gue tinggal ngomong ribetnya doang."
"Yang suka ngeribetin orang siapa, hah?!"
[.]
Kiana pergi ke kelas yang sudah sepi. Duduk di sana sambil menulis di buku catatan. Ia sudah biasa, kehadirannya sudah biasa tak diharapkan. Sendirian membuatnya lebih nyaman.
Ia kembali teringat akan Revan, laki-laki itu masih sama saja seperti dulu. Seolah memberikan harapan dengan senyuman.
[.]
"Sekarang lo suka ngadu, ya?" Seorang cewek bertubuh tinggi menyiram Kiana dengan air bekas pel. Kedua teman di belakangnya tertawa. "Kepedean banget, sih, lo mentang-mentang deket sama Revan jadi ngadu ke Revan."
"Gak tau diri lo dasar," Kini cewek berambut pendek mendesis. Menjambak rambut Kiana, ia mendekatan wajahnya dengan Kiana. "Eh, kayaknya sekarang hubungan lo sama Revan udah mulai renggang, ya? Huh, bagus, deh, dia ninggalin lo juga."
Cewek itu menghempaskan kepala Kiana, kemudian dijambak lagi. "Kalau lo gak mau gue suruh-suruh lagi, mati lo sama gue. Soalnya Revan gak bakal nolongin lo kali ini." Cewek itu tertawa keras, ia mengangkat sebelah tangannya ingin menampar Kiana untuk yang kesekian kali.
Kiana memejamkan mata rapat-rapat, berusaha mengebaskan pipinya. Tapi setelah beberapa menit tidak terasa apa-apa. Ia membuka mata sudah Revan berlutut tepat di depannya. Sudah tidak ada lagi cewek-cewek yang tadi sempat mengganggunya.
"Maaf, tadi gue ke lapangan basket, harusnya gue ajak lo." Revan menyampirkan jaketnya di bahu Kiana. "Jangan dengerin kata mereka, gue selalu jagain lo. Ayo, gue antar lo pulang."
Revan menuntun Kiana. Kiana hanya menatap cowok di hadapannya. Baru kemarin Ia menyatakan perasaannya pada Revan, baru kemarin juga Revan menolaknya. Ia tidak mengerti apa alasan Revan tetap berada di sampingnya.
"Kenapa?" Kiana menghentikan langkah membuat Revan menoleh. "Kenapa lo balik lagi? Kalau emang lo gak suka sama gue, kalau lo emang mau pergi ninggalin gue dan gak mau nolongin gue lagi, gue gapapa. Dari dulu juga gue gapapa, gue gak kenapa-kenapa sampe lo dateng. Apa harusnya lo gak dateng aja dari dulu?"
Revan memegang bahu Kiana. "Ki, udah gue bilang jangan denger--"
"Lo gak ngerti perasaan gue!" Kiana memotong ucapan Revan. "Mereka bener, gue emang pecundang yang gak pantes dapetin lo. Gue emang gak selevel sama lo, harusnya gue gak berharap lebih ...."
Kiana mulai terisak, Revan berusaha menenangkan sampai tangannya ditepis begitu saja.
"Kalau emang gak ada yang mengharapkan gue di sini, yaudah, gue pergi aja!"
Kiana kemudian berlari meninggalkan Revan. Hingga esoknya mereka benar-benar tidak bertemu lagi.
[.]
"Gue pikir gue udah bisa lupain lo." Kiana bergumam melihat ke luar jendela, hujan tiba-tiba saja mengguyur kota. "Tapi kata quote, kenangan itu seperti hujan, jika ia datang, maka gak ada yang bisa menghentikan."
"Emang."
Kiana tersentak dan menoleh ke samping, Revan sedang tersenyum miring. "Lama gak ketemu, Kiana. Gue pikir kita gak bakal bisa ketemu lagi."

Komento sa Aklat (206)

  • avatar
    UmayahSiti

    bagus

    25d

      0
  • avatar
    NovitasariChelsie

    bagus

    22/08

      0
  • avatar
    BarEraa

    bagus sekali cerita ini

    28/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata