logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Berpeluk Angan Mesra

Aku terpekur memandangi wajah suamiku yang tidur tenang dengan posisi telentang. Aku mulai menggambar guratan mukanya dengan tangan tepat setengah mili di atas wajah, meraba tanpa menyentuh. Ini menjadi rutinitas baru untukku.
Aku mendekatkan wajah sendiri setengah memeluk. Sepertinya aku sudah gila. Tapi ada sebuah dorongan kuat yang memaksaku untuk menyentuh bibirnya yang menggoda. Nafasku berhembus semakin tidak beraturan ketika bibir berhasil bersentuhan dengan bibirnya. Tubuhku menggelenyar seperti sedang mencecap buih lapisan Espresso yang lembut. Aku semakin menggelora.
Di saat aku sedang menikmati sensasi yang sudah lama ingin kurasakan sebuah dorongan kuat menghempaskan aku hingga membentur sisi tembok di belakang. Ranjang kami memang tidak berada di tengah ruang kamar. Demi menghemat tempat, ranjang harus merapat tembok agar menyisakan ruang lapang. Ada untung juga setelah kejadian ini, setidaknya aku tidak terjungkal yang bisa jadi menyebabkan dua cidera sekaligus. Kepala melayang, dan tulang punggung yang mungkin berhamburan.
Saat ini kepalaku hampir gegar otak kurasa. Mas Ros sudah terduduk dan menatapku dengan jijik.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu mau memperkosaku?" perkataannya sungguh membuatku merasa jadi wanita paling hina. Aku menguatkan diri agar tidak membalas kata-katanya dengan kasar.
"Apa aku salah jika aku menuntut hakku? Apa ada yang salah dengan tubuhku hingga kamu tidak mau menyentuh? Aku sehat Mas, aku tidak mengidap suatu penyakit, kenapa kamu memperlakukan aku seolah punya penyakit menular."
Bukannya tersadar, Mas Ros malah berdiri semakin menghindar.
"Kamu bisa menikah denganku bukan berarti kamu bisa memiliki hati dan tubuhku." ucapnya lalu keluar dari kamar.
Bergegas aku segera menyusul. Aku sungguh ingin tahu alasan kenapa dia begitu kejam padaku. Di mana letak salahku?
"Mas, tunggu!" panggilku tak dia hiraukan.
Dia segera masuk ke kamar lain dan mengunci pintunya. Aku harus mendapat penjelasan pikirku saat itu.
"Baiklah, aku memang tidak seksi, jadi apa itu yang membuatmu tidak bergairah? Lalu apa yang harus aku lakukan agar kamu mau menafkahi batinku. Atau adakah yang membuatmu tidak nyaman denganku. Tolong katakan!" aku berorasi panjang lebar di depan kamar tempat dia mendekam. Semua yang berkecamuk di dada sejak lama terlontar sudah.
Tidak ada jawaban. Bahkan suara jangkrik pun tidak terdengar.
"Mas Ros!" panggilku setengah mengiba. “Lalu apa alasanmu menikahi aku?”
Sunyi. Aku merasa sedang main drama monolog sendiri. Bicara pada pintu yang membisu.
“Tak bisakah, kita membicarakan ini dengan baik?” pintaku lagi.
Dengan sabar aku masih menunggu di depan pintu. Tubuh yang semula nyaris memeluk pintu kini jatuh terduduk dengan bersandar pada pintu tersebut.
Ada apa ini? Bukankah dulu dia yang mengajakku menikah? Lalu buat apa kami menikah jika ternyata dia hanya ingin menyakiti. Menyiksaku dalam rindu dekapan hangat sang terkasih. Aku mencoba mencerna arti dari pernikahan kami. Apakah aku hanya sebagai tempat pelarian? Tapi haruskah melarikan diriku hingga sejauh ini.
Tidakkah ini mencoreng keagungan pernikahan. Kesakralan ijab kobul yang menandai dua manusia menjalani fitrahnya demi memenuhi hasrat kasih sayang.
Sejak kejadian malam itu kami tidur terpisah. Mas Ros menempati kamar yang kami khususkan jika ada tamu. Kami bahkan jarang bertatap muka langsung. Aku pun enggan melihat wajahnya karena perasaan malu yang teramat dalam. Aku sungguh rendah, tidak tahu malu. Seperti wanita nakal yang berusaha menggoda suami sendiri. Tidakkah itu aneh? Menggoda suami sendiri menjadi sebuah kesalahan besar bagiku di hadapannya.
Kedua temanku ikut prihatin dan akhirnya menyerah dengan trik-trik meluluhkan suami. Bahkan mereka merasa bersalah sudah menyuruhku bertindak lebih berani untuk menyerangnya. Kenyataan yang kudapat, hanya kata-kata pedas yang meremas-remas hatiku.
"Lalu apa yang akan kamu lakukan, La?" tanya Cecil.
Oh ya, aku lupa cerita tentang duo sobatku ini. Cecil dan Nita. Dulu, mereka ini adalah teman main band-ku saat SMA. Band ‘Cute Girls’ yang manggung dari festival ke festival. Cecil sebagai pemetik gitar, sementara Nita mengetuk-ngetuk organ. Ada dua orang lagi yang telah terpisahkan oleh jarak. Mereka itu Lala si vokalis yang merantau ke Kalimantan, dan Festi memegang bas yang berada di lain kota.
Jadi jangan heran kalau kami bertiga yang kumpul sekarang memiliki profesi yang beda. Setelah lulus SMA kami menempuhi minat kami masing-masing. Nita menjadi ahli gizi di salah satu rumah sakit. Adapun Cecil mengambil peran sebagai ibu rumah tangga yang baik.
"Entahlah, mungkin meminta maaf lagi sampai dia mau memaafkan." kataku menjawab pertanyaan Cecil. Aku sendiri juga tidak tahu mau melakukan apa selain minta maaf.
"Tidak seharusnya dia berlaku begitu padamu, La." Nita tampak kesal. "Apa dia tidak sadar kalau kewajiban suami adalah memberi nafkah lahir dan batin. Bukan hanya nafkah lahir saja yang harus dia berikan. Kamu berhak menuntut nafkah batinmu, La!" Nita tampak berapi-api.
"Aku tidak apa-apa Nit, rasa cintaku padanya membuatku kuat bertahan."
“Kamu itu bucin, atau gimana sih?” sambar Nita.
"Mungkinkah ada wanita lain?" gumam Cecil.
Aku terhenyak. Selama ini aku tidak berpikir tentang hal itu. Aku begitu percaya padanya. Percaya seratus persen dia sebenarnya juga mencintaiku. Percaya dua ratus persen tidak mungkin ada wanita lain dalam hatinya setelah kami menikah. Percaya tiga ratus persen pasti ada alasan yang lebih masuk akal kenapa dia belum juga mau menyentuhku.
"Entahlah, setahuku selama kami menikah, dia selalu pulang tepat waktu. Menurut perhitunganku sih. Dia memang banyak memberi les privat.”
“Nah, itu!” tunjuk Cecil. “Les privat sebagai alibi.”
“Dia memberiku jadwal les privatnya lho.” belaku.
“Tapi kamu enggak tahu, kan. Dia memberi les privat beneran atau tidak. Itu bisa saja cuma di atas kertas. Aslinya dia mengunjungi wanita lain.” reka adegan Cecil.
“Jangan mengarang cerita keterlaluan.” tegur Nita sembari memberi kode agar Cecil tidak membumbui masalahku dengan sesuatu yang masih serba halu. Aku tidak sengaja menangkap kode tersebut.
“Selama ini tidak ada yang mencurigakan, sih.” klarifikasiku lagi. “Cuma sikap dinginnya yang kelewatan. Dan setelah kejadian itu menjadi sangat parah. Dia akhir-akhir ini pulang pada jam aku sudah tidur. Berusaha menghindariku. Wajar, karena dia pasti masih marah padaku. Aku harap tidak terlalu lama."
"Dead end. Maaf La, sepertinya kami tidak bisa membantu. Masalahmu terlalu rumit." ucap Cecil akhirnya. Dia pun menghempaskan tubuhnya ke sofa.
"Memang ada baiknya kami tidak akan ikut campur lagi. Semua harus kamu selesaikan sendiri ya?" tambah Nita penuh simpati. "Maaf, kemarin kami malah menambah runyam masalah rumah tanggamu."
"Kalian ngomong apa sih, aku yang harus berterimakasih. Kalian bersedia meluangkan waktu mendengar masalah rumah tangga yang seharusnya tidak aku ceritakan dan melibatkan kalian."
"Tetap semangat ya, Girl! Pasti ada jalan keluar. Semoga dia sadar telah menelantarkan mutiara hitam yang banyak di cari orang." kata Nita membuatku kembali segar.
Ya tentu saja. Aku bukan wanita yang cengeng. Meski hatiku telah menjadi puing-puing, aku pasti akan menyusun ulang. Perlahan saja, sambil mencari bentuk asli cinta dari seorang Rosid Mawardi.
Langkah pertama jelas, aku harus meminta maaf lagi. Lalu berharap kami bisa seperti sebelum kejadian malam itu. Aku berjanji tidak akan menuntut apa-apa, asal dia bersedia bicara lagi denganku.
Malam ini sengaja aku menunggunya pulang di ruang tamu. Sejak malam itu, setiap hari Mas Ros selalu pergi pagi dan pulang hingga larut malam. Aku tak berani bertanya, dan hanya bisa menunggu di ruang studio bermain gitar sesekali mengintip keluar menantikan dia datang. Tapi malam ini, aku sungguh ingin bicara padanya.
Rumah tangga macam apa ini, tidak pernah bertemu dan bertegur sapa. Padahal setiap pagi aku selalu menyiapkan sarapan, dia sama sekali tak melirik hidangan di meja. Saat aku tawari makan dia melenggang tanpa kesan. Hanya air panas yang dia pergunakan jika aku telah menyiapkan.
Aku tidak mau hidup berdua dalam satu atap namun seolah aku hidup sendiri. Seperti hidup bersama dengan orang asing. Serasa tinggal di hotel yang tidak kenal dengan tetangga kiri-kanan kamar.
Aku benar-benar ingin berdamai. Aku bahkan akan bersedia melakukan apa saja asal dia mau menerima maafku dan memulai semuanya dari awal.
Suara mobil Mas Ros terdengar masuk garasi. Aku segera turun membukakan pintu untuknya. Ada ekspresi terkejut dari wajahnya seperti melihat setan, ketika pintu tiba-tiba membuka. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, bahkan mengucap salam pun tidak.
Aku mengikuti langkahnya menuju lantai atas. Membiarkan dia tertelan kamar karena aku tahu dia akan termutahkan lagi untuk masuk kamar mandi. Aku hafal kebiasaannya. Aku tinggal menunggunya keluar dari kamar mandi dan mengajak bicara.
"Mas Ros, bisa kita bicara sebentar?" pintaku ketika pintu kamar mandi terbuka.
"Mau bicara apa?" aku sangat lega mendengar dia menanggapi permintaanku kali ini. Bibit perdamaian nampaknya mulai berkecambah. Semoga ia nanti menjadi sekuntum bunga mewangi.
"Maaf tentang kejadian waktu itu," kataku sedikit menggantung.
Hening, tidak ada tanggapan. Gerak selanjutnya dia sudah berjalan menuju kamarnya.
"Tunggu!"
"Apa lagi? Bukankah kamu sudah mengatakan itu berkali-kali?" tanggap Mas Ros sambil membuka pintu kamarnya.
"Iya, aku mengatakan itu berkali-kali. Tapi apa Mas Ros sudah memaafkan aku?" sambarku langsung.
"Tentu saja," katanya namun arah sorot mata tidak tertuju padaku.
"Apa Mas Ros begitu menderita kerugian atas perlakuanku itu?"
Tak ada jawaban. Dengan tenang dia memasuki kamar dengan pintu yang setengah terbuka.
"Lalu, apa tujuanmu menikahi aku?" cecarku sebelum dia menghilang ke balik pintu.
Akhirnya hanya debam pintu yang menjawab pertanyaanku. Kalau saja aku tidak begitu mencintainya pasti sudah aku dobrak pintu itu kemudian aku maki-maki dia sampai puas.
Tapi yang terjadi aku justru mendekat ke pintu kamarnya dan memohon. "Mas Ros, tidak bisakah kita berdamai seperti saat sebelum kejadian itu? Aku janji tidak akan mengganggumu. Tapi setidaknya karena kita hidup serumah, aku ingin kita bercakap-cakap seperti dulu. Tak bisakah?"
Aku menempelkan telinga ke pintu menanti jawaban indah, 'tentu saja bisa'. Sayangnya, hanya suara binatang malam yang menjawab seruanku dengan suka cita.
Pertanda apa ini?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (14)

  • avatar
    Joanna San Patricia

    keren.

    18/02/2023

      0
  • avatar
    TrianVahri

    good

    29/12/2022

      0
  • avatar
    123Kaubohong

    bguss

    17/07/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด