logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Rumah Pengantin

Pada hari keenam kami keluar dari rumah orangtua kami. Tepatnya setelah tiga hari di rumah Mas Ros kemudian tiga hari terakhir di rumah ayah-ibu. Kami sepakat akan menempati rumahku.
Rumah yang sementara ini hanya sekedar menjadi pos singgah sekaligus studio musik bagi murid-muridku. Rumah yang letaknya tepat di belakang sekolah. Rumah yang masuk dalam lingkup perumahan, dengan rumah yang berdempet-dempet.
Oh ya, kenapa aku menyebutnya rumahku. Bukan rumah kami. Tentu karena rumah itu sudah ada sebelum kami menikah. Rumah itu merupakan hasil dari jerih payahku sendiri.
Tabungan hasil sertifikasi selama empat tahun berwujud rumah dan untuk menutupi kekurangan dana aku harus 'menyekolahkan' SK pengangkatan PNS ke bank. Hei, tahukah kalian? Sangat menyenangkan sekali lho, bisa membeli rumah tanpa meminta sokongan dana dari orang tua. Ada kepuasan menggelegak ketika bisa bernaung dalam gubuk yang terbangun oleh tangan sendiri.
Jadi ini tidak bisa jadi harta gono-gini ya. Harta benda bawaan sebelum menikah mutlak punya istri atau suami. Barulah setelah menikah, bila nanti kami membeli sesuatu bersama, benda tersebut merupakan benda yang wajib dibagi ketika terjadi perceraian.
Ups! Ngomong apa sih aku ini. Kenapa malah bicara tentang kata yang pamali, ora ilok, dan berbahaya bisa menjadi doa.
Bicara mengenai studio musik aku sengaja membuat satu ruang khusus kedap suara untuk latihan musik anak-anak. Tentu saja dengan maksud agar tidak mengganggu tetangga kiri kanan saat mereka menggenjreng gitar dan kawan-kawan.
Aku cukup beruntung bisa dapat rumah ini. Selain letaknya di pojokan, rumah ini sudah mengalami pengembangan. Ceritanya orang yang punya rumah sebelum aku sedang butuh uang karena terbelit hutang. Kepepet tidak punya dana cadangan selain aset rumah itu, dia pun menjual murah asal hutang bisa tertutup. Dan yang terpenting lagi rumah ini dekat dengan sekolah tempat aku bekerja. Berangkat tinggal jalan tidak sampai ngos-ngosan. Ibaratnya tinggal lompat pagar bisa langsung duduk di ruang kantor guru.
Rumahku mengalami pengembangan bangunan ke atas, karena tanah kiri-kanan sudah mentok. Lantai pertama meliputi ruang tamu, ruang makan yang menyatu dengan dapur, kamar mandi, sebuah kamar kosong dan satu kamar yang menjadi studio musik langsung terhubung keluar garasi. Sedang lantai dua terdapat ruang keluarga untuk menonton TV, dua buah kamar yang mengapit kamar mandi.
Untuk mebeler memang belum lengkap. Hanya ada satu set meja tamu, satu buah tempat tidur di kamar atas dan satu lemari pakaian. Melihat kondisi interior rumah yang masih super minimalis, aku dan Mas Ros berencana melengkapi sambil jalan.
Setelah membeli rumah waktu itu yang kupentingkan memang studio musik untuk latihan anak-anak. Di dalamnya ada seperangkat alat band lengkap, koleksi buku-buku lagu, aneka kaset, MP3, CD lagu, bahkan piringan hitam yang berhasil aku dapat dari berburu selama beberapa tahun.
Aku belum secara resmi menempati rumah ini. Aku masih bolak-balik ke rumah orangtuaku. Sebenarnya lebih tepat dikatakan jika aku numpang tidur di rumah ayah-ibu. Biasanya siang hari sepulang sekolah aku habiskan di rumah sendiri atau di sekolah bersama anak-anak. Menjelang maghrib aku baru pulang ke rumah ayah-ibu kalau tidak terlalu capek.
Lagipula, ayah-ibu selalu khawatir kalau aku menginap sendirian di rumah tersebut. Pernah suatu kali karena kemalaman mengajar anak-anak, aku memutuskan menginap. Orang rumah sampai berkali-kali menelpon dan mengirim adikku untuk menjenguk. Sungguh bikin tidak nyaman.
Baiklah, kembali pada kepindahan kami sebagai sepasang pengantin baru. Nampaknya sudah menjadi tradisi bila anak-anak pindah orang tua mengikuti. Maksudnya mengantar dan memperkenalkan dengan tetangga kiri-kanan.
Kami seperti sedang menyelenggarakan hajatan lagi, karena kepindahan kami dikawal oleh kedua orangtua masing-masing beserta saudara dekat. Ada acara makan-makan semacam syukuran atas penempatan rumah baru dan yang terpenting untuk rukun tetangga.
Tampak sekali ayah-ibu, mama-papa tidak rela meninggalkan kami hanya hidup berdua. Mereka begitu berat berlalu meski acara syukuran pindahan sekaligus perkenalan pada tetangga kiri-kanan selesai. Banyak sekali pesan-pesan yang harus kami dengarkan sebelum mereka akhirnya naik mobil menuju rumah masing-masing.
Tempat tinggal orang tua kami memang bertolak belakang dan berjauhan. Memakan waktu setidaknya setengah jam perjalanan dari rumah Mas Ros dan setengah jam dari rumah orangtuaku. Rumahku berada di tengah-tengah antara dua besan.
Begitu rombongan menghilang di tikungan kami saling pandang dan mendesah lelah. Tentu saja kami berdua masih harus membereskan 'kekacauan' di rumah. Malam harinya kami kembali merangkum mimpi masing-masing.
Sepertinya dua hari ini agenda kami masih beres-beres rumah. Sempat terlintas sih, kapan bulan madunya? Kalau pekerjaan rumah seakan tidak pernah berakhir. Tapi biarlah, yang penting rumah sudah rapi baru kami bersenang-senang. Seperti kata pepatah klasik, berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian.
Sudah dua minggu lebih aku menjadi Nyonya Rosid. Kami pun kembali menjalani rutinitas sebagai pengajar. Aku mengajar di SMA Swadaya sebagai guru seni musik dan Mas Ros mengajar di SMA Harapan sebagai guru Bahasa Inggris dengan status honorer.
Aku kembali mulai sibuk dengan murid-murid yang sering memintaku mengajari mereka bermain musik di luar ekstra kurikuler. Apalagi kalau di sekolah ada event yang harus menampilkan nyanyian. Tentu aku dengan senang hati akan melatih mereka sampai layak tampil. Belum lagi jika ada perlombaan band atau paduan suara. Waktuku benar-benar tersita untuk mereka. Tapi aku senang menjalaninya.
Akan tetapi setelah menikah, rasanya aku harus sedikit mengerem aktivitasku dengan murid-murid. Harus ada prioritas! Jangan sampai suami sendiri merasa terabaikan. Tidak terlayani dengan benar.
Sama sepertiku yang menjalani masa lajang sibuk dengan urusan anak-anak. Mas Ros sebagai seorang guru Bahasa Inggris juga sibuk dengan les-les privatnya. Mas Ros termasuk orang yang telaten mendatangi rumah murid-murid lesnya. Seperti tidak kenal lelah. Sebenarnya aku cukup terkejut melihat jadwalnya yang padat.
Suatu kali ada kesempatan bicara aku menawari agar garasi yang ada dimanfaatkan saja untuk ruang les. Tapi dia menolak dengan alasan, mobilnya nanti mau dikandangkan di mana. Sebenarnya jika harus mengorbankan ruang tamu, tidak masalah. Mengatur ruang tamu sedemikian rupa, hingga menjadi tempat nyaman buat mengajar les. Tapi Mas Ros bilang kurang nyaman.
Aku terus mencari cara bagaimana agar Mas Ros bisa buka les di rumah saja. Tidak sering berkeliaran hingga melupakan aku yang sering menunggu sendirian.
"Kalau ruang tamu dijadikan tempat les, kalau ada tamu mau duduk di mana?" dalihnya saat aku berusaha mengungkapkan konsepku lagi.
"Bagaimana kalau kita mengubah teras jadi ruang tamu?"
"Terserahlah. Lagian memangnya kamu punya uang?"
"Itu bisa diusahakan. Tapi sepertinya untuk dua tahun ke depan ya? Tidak apa-apa kan?" tawarku. "Kita masih harus membeli mebeler untuk mengisi kamar yang masih kosong.
"Kenapa bertanya padaku, yang ingin membuat ruang tamu dan tempat les, kan kamu."
"Tapi yang memberi les kan, Mas." selorohku. "Aku merasa tidak adil, karena aku punya studio musik. Sementara Mas yang juga mengajar les tidak punya tempat dan harus berkeliling ke anak-anak. Aku ingin Mas Ros merasa nyaman di rumah."
"Tenang, tidak usah khawatir. Aku senang kok menjalaninya." katanya menyungging senyum tipis.
Mendengar itu aku jadi sedikit tenang. Meski kata hatiku yang lain berkata, kapan kita punya waktu untuk berduaan lebih lama kalau kamu terus keluar memberi les.
“Lagipula aku tidak mau merepotkanmu dalam urusan keuangan.”
Aku segera memaling pada Mas Ros yang duduk tepat di sampingku. Kata-katanya barusan terdengar sangat manis di antara ribuan kata-katanya yang selalu ketus dan pahit.
“Mas Ros, memang baik hati ya.” kataku. “Di luar dingin tapi di dalam hangat.”
“Apa sih?” tolehnya merasa jengah dengan ucapanku tadi. “Aku pergi dulu.”
“Kemana?” tanyaku yang yakin hari ini tidak ada jadwal memberi les. Hari Minggu yang kosong.
“Ada anak baru yang minta les padaku. Berhubung hari lain sudah penuh, terpaksa kuambil hari Minggu.”
“Oh,” tanggapku langsung kelabu. Padahal kami baru mau mengobrol panjang.
Oh ya, selain sibuk dengan les tiap malam Selasa, Kamis dan Sabtu. Mas Ros juga sibuk mengajar di sekolah paket C pada hari selain tiga hari yang aku sebutkan tadi kecuali hari Minggu tentu saja. Sekolah bagi anak-anak yang putus sekolah dan ingin mendapatkan ijazah SMA sederajat. Aku jelas tidak bisa melarang aktivitas yang sudah biasa dia lakukan. Sebagaimana dia juga tidak terlalu peduli jika aku pulang telat karena harus memberi pelajaran tambahan pada muridku.
Praktis waktu pertemuan kami hanya efektif jika malam hari sesudah jam delapan. Biasanya Mas Ros sudah mengeluh lelah dan kemudian mendahului tidur. Aku hanya bisa gigit jari jika dia sudah mulai menguap dan meninggalkan aku sendiri menonton televisi dengan ber-angan tentang kemesraan.
Aku tidak tahu apakah ada yang salah denganku. Tahukah kalian, hingga detik ini Mas Ros belum pernah menyentuhku. Sempat bertanya-tanya apa ada sesuatu yang kurang berkenan dengan tubuhku? Tapi aku hanya berpikir positif mungkin Mas Ros masih terlalu lelah karena seharian mengajar di sekolah, memberi les dan juga mengajar di kelas paket.
Pada suatu kesempatan lain di Minggu malam, setelah hampir satu bulan dia tak mengacuhkan tubuhku. Selepas dia memberi les, aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
"Mas Ros, bukankah kita ini suami istri?"
"Iya, kita punya surat nikah" sahutnya singkat masih sambil membaca koran.
"Mas Ros menganggap aku istri Mas, kan?" tanyaku lagi.
"Bukankah kita hidup serumah, dan mulai bulan depan meski pendapatanku jauh di bawahmu aku akan memberi separuh dari gajiku untukmu. Yah, semoga itu cukup?"
"Bukan itu maksudku,"
"Oh ya, sepertinya kita harus cari orang buat beres-beres rumah ya, biar kamu tidak lelah mengurus rumah sendiri." sambungnya.
"Aku masih bisa mengerjakan semua itu sendiri kok," tolakku.
"Tidak, kamu tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Bukankah kamu juga sibuk dengan murid-muridmu."
"Baiklah, aku akan menolak anak-anak yang ingin belajar musik padaku."
"Aku tidak melarang kamu beraktivitas di luar. Aku tidak mau mengekangmu. Sebaliknya aku juga tidak mau jika kamu tiba-tiba merengek memintaku untuk lebih sering di rumah meninggalkan apa yang sudah lama aku kerjakan."
Aku menggeleng, "Tentu saja tidak suamiku sayang." ucapku tersenyum semanis-manisnya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (14)

  • avatar
    Joanna San Patricia

    keren.

    18/02/2023

      0
  • avatar
    TrianVahri

    good

    29/12/2022

      0
  • avatar
    123Kaubohong

    bguss

    17/07/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด