logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Perempuan Menyebalkan

Karma Dibayar Kontan
Part 6
***
Keesokan pagi di hari berikutnya, sekira pukul 8 pagi, Eka datang dengan diantar oleh Reza dengan mengendarai sepeda motor. Saat itu aku dan Meli sedang menyuapi Satria dan Rizki di teras depan rumah. Eka sudah memakai baju setelan seragam dinas warna putih. Sepertinya pakaian seragam dinas semasa dia kuliah kemarin.
Mereka berdua lantas berjalan menghampiri aku dan Meli, begitu Reza selesai memarkirkan sepeda motornya di halaman. Aku, Meli, Reza dan Eka kemudian berbincang sebentar, sekadar basa basi. Tak lama setelah itu Reza lalu pamit pulang. Sebelum pergi, tak lupa lelaki berwajah bopeng tersebut 'menitipkan' calon istrinya itu padaku dan juga pada Meli. Dia meminta agar aku tak segan untuk mengajari Eka jika sekiranya ada hal yang belum diketahui oleh calon istrinya itu, yang berkaitan dengan pekerjaan barunya sebagai asisten bidan di rumahku. Karena menurut Reza, Eka baru saja lulus dari kuliah kebidanan dan masih belum punya pengalaman kerja. Aku dan Meli hanya tersenyum menanggapi permintaan Reza tersebut.
Setelah lelaki bermata juling itu pergi dari hadapan kami, aku kemudian mengajak Eka masuk dalam ke ruang periksa. Aku lalu meminta dia untuk duduk di salah satu kursi yang ada. Kami duduk berhadapan dengan dibatasi oleh sebuah meja tulis yang ada di dalam kamar periksa itu.
"Eka, apa sebelum kerja di sini kamu sudah pernah kerja di tempat lain?" tanyaku, mengawali percakapan. Meskipun tadi Reza bilang kalau calon istrinya ini baru saja lulus dari bangku kuliah, tapi barangkali saja Eka sudah pernah bekerja sebelumnya, karena sudah lebih dari 6 bulan dia lulus dari kuliah bidan. Masa iya selama 6 bulan itu dia betah tinggal di rumah dan tak berusaha untuk mencari pekerjaan? Sedangkan tenaga kesehatan terlebih lagi seorang bidan, tenaganya masih sangat dibutuhkan oleh banyak orang.
Perempuan di depanku itu mengangguk, seperti dugaanku kalau dia memang sudah pernah bekerja di tempat lain sebelum di rumahku.
"Saya sudah pernah kerja sebelumnya, Bu," jawab Eka, pandangannya tajam menatap mataku. Entah kenapa, aku merasa seperti ada sesuatu dalam diri calon istri Reza ini, tapi aku tak tahu itu apa.
"Di mana?" tanyaku lagi, sambil membalas tatapan matanya. Dalam hati aku menduga-duga, ada apa gerangan dengan perempuan yang sedang duduk di depanku ini. Kenapa aku seperti merasakan ada sesuatu dalam diri Eka.
Eka kemudian menyebutkan nama seorang bidan senior, yang kebetulan bidan itu adalah temanku ketika kuliah di Akademi Kebidanan dulu.
"Sejak kapan kamu kerja di sana? Berapa lama kamu kerja di rumah Bidan Siska? Kenapa kamu kok berhenti kerja di sana?" tanyaku menyelidik.
"Waktu baru lulus kuliah saya langsung melamar kerja di sana. Tapi nggak lama kok, Bu. Cuma sebulan saya kerja di rumah Bu Siska. Soalnya saya kan mau persiapan nikah sama Mas Reza," jawab Eka, yang menurutku tak masuk akal dan malah membuatku merasa aneh. Eka bilang kalau dia berhenti kerja dari tempat Bidan Siska karena mau mempersiapkan pernikahan dengan Reza, tapi kenapa sekarang dia malah mencari pekerjaan di rumahku? Kan aneh dan tak masuk akal.
Meskipun merasa heran dan aneh dengan alasan yang Eka berikan, tapi aku tak menanyakan hal tersebut lebih lanjut. Sebab menurutku sama sekali tidak penting dan bukan urusanku. Aku pikir semua itu sepenuhnya hak dia, mau tetap bekerja atau berhenti bekerja dari suatu tempat, aku tak punya hak untuk ikut campur dalam hal ini.
Aku kemudian menanyakan tentang beberapa hal pada Eka, yang berhubungan dengan pekerjaannya. Selama kami mengobrol, aku semakin merasakan ada sesuatu hal yang tak aku mengerti dalam diri Eka. Entah apa, aku tak tahu, tapi aku merasakannya.
Aku seakan ikut terhanyut dalam setiap ucapan asisten bidanku yang baru ini, padahal dalam hati kecil aku tak setuju dengan apa yang Eka katakan. Tapi anehnya, di mulut aku membenarkan setiap ucapan perempuan itu. Aku merasakan ada hal yang aneh dalam diri Eka, tapi aku tak tahu apa keanehan tersebut.
Misalnya ketika Eka bercerita, saat Bidan Siska meminta Eka untuk menjemput anak lelaki Bidan Siska yang masih duduk di bangku TK pulang sekolah, karena kebetulan Bidan Siska sedang ada pekerjaan di puskesmas yang belum bisa dia tinggalkan. Eka bilang kalau dia tak tahu jalan ke sekolah anak Bidan Siska tersebut, padahal sebetulnya dia sangat tahu. Eka bilang padaku, kalau dia sengaja mengatakan hal itu pada Bidan Siska, agar dirinya tak dimintai tolong lagi oleh Bidan Siska. Dalam hati aku membatin, ternyata Eka orangnya tak mau jika dimintai tolong dan selalu berhitung untung rugi, padahal tak setiap hari Bidan Siska minta tolong padanya. Lagipula Eka kan bekerja di rumah Bidan Siska. Apa salahnya dia membantu menolong menjemput anaknya yang masih sekolah TK itu. Tapi anehnya, aku ikut membenarkan semua apa yang Eka katakan itu.
"Saya kan sekolah bidan, Bu. Masa suruh antar jemput anak sekolah? Yang bener aja. Udah kayak pembantu aja dong. Mana gajinya kecil. Nggak sesuai sama bayaran waktu saya kuliah dulu," kata Eka, di akhir ceritanya. Padahal jelas-jelas Bidan Siska hanya sekali saja meminta dia untuk menjemput anaknya. Itu pun karena Bidan Siska sedang ada pekerjaan di puskesmas yang tak bisa dia tinggalkan.
Aku hanya manggut-manggut mendengar cerita Eka. Tak mengatakan sepatah kata pun. Padahal dalam hati aku ingin sekali bilang, kalau apa yang dia lakukan itu salah. Tapi entah kenapa, mulut ini seperti terkunci. Sangat sulit untuk dibuka.
"Jadi untuk selanjutnya, kamu mau pulang pergi atau nginap di sini?" tanyaku, setelah aku merasa cukup menanyai Eka tentang beberapa hal yang berhubungan dengan tugasnya sebagai asisten bidan.
"Untuk sementara ini saya mau pulang pergi aja ya, Bu. Nanti mungkin selanjutnya baru saya akan nginap di sini," jawab Eka.
"Ohh … ya sudah kalau gitu."
Kami berdua kemudian keluar dari kamar periksa. Lalu menghampiri Meli yang masih menemani Satria dan Rizki bermain di halaman.
"Eka, apa kamu udah pernah jalan ke daerah sini?" tanya Meli.
"Sudah beberapa kali, Bu. Memangnya kenapa?" Eka balik bertanya.
"Dari sini ke perkampungan penduduk jauh nggak?" tanya Meli lagi.
"Nggak sih, Bu. Mungkin sekitar 10 menit kalau kita naik motor akan sampai di sana."
"Apa di sana rumah warganya padat?" Kembali Meli bertanya.
Aku menautkan kedua alis seraya menerka, apa maksud dari pertanyaan Meli tersebut pada Eka. Apa ibu dari Rizki itu memang serius bertanya atau dia hanya sekadar basa basi saja agar ada percakapan di antara kami bertiga. Sebab sebelumnya kan Meli sudah pernah mendengar cerita tentang desa ini dari Bu Bayan dan Bu RT, ketika mereka membantu memasak untuk acara selamatan rumahku beberapa waktu yang lalu.
"Kalau kata saya sih padat, Bu. Soalnya kan memang pusat desa ini ya ada di sana."
"Eka tahu nggak, tempat untuk berobat di sini ada di mana saja?"
"Yang saya tahu, kalau dari jalan depan sana itu ada rumah bidan sama mantri. Mungkin Bu Ayu sama Bu Meli pernah lihat, yang rumahnya tingkat warna putih deket pasar itu kan ada rumah bidan. Terus apotek yang ada di sebelah kiri kantor pos itu rumah mantri. Dia juga buka praktik, soalnya dia juga kerja di puskesmas.Tapi kalau dokter yang saya tahu kayaknya belum ada yang buka praktik di sini," jawab Eka dengan panjang lebar.
Aku dan Meli manggut-manggut. Kalau rumah bidan praktik memang aku pernah baca papan namanya. Tapi kalau mantri yang buka praktik aku baru tahu, yang aku lihat memang ada apotek di samping kantor pos, tapi tidak tahu kalau ternyata pemiliknya seorang mantri yang juga membuka praktik. Berarti memang masih jarang tenaga kesehatan di daerah ini. Besar kemungkinan, tempat praktikku ini akan ramai, seperti di tempat yang lama, aku membatin.
***
Setelah aku dan Meli selesai salat zuhur, lalu makan siang bareng Eka, aku memperbolehkan Eka untuk pulang. Sekitar 15 menit kemudian, Reza datang menjemput. Eka tak ikut salat zuhur bersama aku dan Meli tadi, dia bilang akan salat di rumah saja, sebab dia tak membawa baju ganti. Padahal baju seragam yang dia pakai sama sekali tak kotor, karena sepanjang siang dia tak melakukan pekerjaan apa pun. Atau itu hanya alasan dia saja untuk tak salat, entahlah.
"Yu, aku kok ngerasa ada yang aneh sama Eka ya. Tapi aku nggak tahu apa," kata Meli, begitu bayangan sepeda motor yang dikendarai oleh Reza dan Eka tak tampak lagi.
"Aneh gimana maksudnya, Mel?" tanyaku.
"Ya aneh aja. Aku ngerasa nggak suka aja sama dia. Kamu perhatikan nggak tadi tatapan matanya. Menurutku kok serem gitu ya," jawab Meli sembari bergidik.
"Akh … kamu itu ada-ada aja, Mel. Mungkin itu cuma perasaan kamu aja," kataku, agar Meli tak lagi mempunyai pikiran yang aneh tentang asisten bidanku itu. Meskipun aku sendiri merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh Meli.
[Ternyata bukan cuma aku saja yang merasakan keanehan dalam diri Eka. Meli juga ngerasain hal yang sama. Tapi aku nggak akan cerita ke Meli kalau aku juga ngerasa seperti dia. Nanti dia malah khawatir. Terus minta pulang. Wah … bakalan repot urusannya kalau Meli sampai minta pulang. Aku nggak ada lagi teman selain sama Satria di sini]
"Ya semoga aja nggak terjadi apa-apa dengan kita ya, Yu. Soalnya kita kan orang baru di desa ini. Belum paham situasi daerah sini," kata Meli, lebih mirip dengan gumaman.
Aku mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mel. Nanti coba kita tanya ke Devi, apa dia kenal sama Eka atau Reza. Dia dan suaminya kan udah lumayan lama tinggal di sini. Mungkin aja mereka tahu siapa Eka dan Reza sebenarnya."
***
Bersambung

หนังสือแสดงความคิดเห็น (646)

  • avatar
    SaputraRamli

    bagus sekali

    9h

      0
  • avatar
    KhansaAdinda nabillah

    Cintaku

    2d

      0
  • avatar
    Mhmmd Asril Syarif

    sangat bagus

    14d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด