logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Bertemu Gadis Angkuh

"Maaf, Bos, meja Mbak yang di sana itu minta didatangi Bos sendiri," ujar pegawai yang Luka perintah tadi.
"Oke." Luka segera meninggalkan laptopnya yang masih menyala dan bergegas melangkah menuju meja di mana sekumpulan gadis duduk di sana. Ia tidak mau mengecewakan pengunjung kafe miliknya siapapun itu.
"Permisi. Ini daftar menu yang kami sediakan di sini, Nona-nona cantik."
Luka menyodorkan daftar menu ke meja Renata Syailendra bersama teman-temannya itu. Sekejap Luka melirik ke arah gadis yang tampak angkuh itu kemudian beralih ke wajah teman-teman semejanya.
Renata meraih daftar menu itu, kemudian menatap Luka yang memakai celemek dengan tatapan meremehkan.
"Om ini ganteng, sih? Istri Om kenapa ngebolehin, Om terjun langsung begini?" tanya Renata penuh selidik.
"Jangan-jangan ... Om, single, ya? Atau abis ditinggal istrinya, jadi terjun langsung sambil tebar pesona?" imbuh Renata. Mulut lemes gadis itu memang tak tahu aturan.
Luka hanya terdiam dengan wajah dinginnya. Ia tak menanggapi pertanyaan gadis angkuh itu yang dianggapnya hanya iseng belaka.
"Nona, jadi pesan gak, nih? Kalau gak, saya akan melanjutkan pekerjaan yang lain atau ke meja pengunjung lainnya," ujar Luka yang sengaja membalas dengan sedikit arogan juga. Namun, ia tetap tenang dengan tatapan tajam, tersenyum ke arah Renata dan teman-temannya.
"Jadi, Om. Kami akan pesan kue tiramisu dan cappucino," sela salah satu teman yang sepertinya tidak ingin terlibat dengan keisengan Renata yang meremehkan Luka.
"Hanya itu saja, Nona?" tanya Luka lagi dengan sopan dan ramah. Ia tidak terpancing sama sekali dengan kelakuan angkuh Renata.
Gadis-gadis lainnya kemudian berbicara menu yang dimintanya. Luka hanya memerhatikan mereka dengan tersenyum.
"Om, jus mangga dua, jus jeruk satu dan es lemon tea satu juga. Kue tiramisunya tambah empat ya, Om. Udah itu saja, Om. Jangan lupa tambahi senyum Om yang manis itu," celetuk teman Renata yang lain dengan centilnya.
"Ish, ganjen amat, lo! Gak sekalian ciumannya juga!" pekik Renata menyela ucapan temannya.
"Udah, Nona-nona! Kalian ke sini untuk menikmati menu di kafe ini sambil nongkrong santai, kan? Bukan untuk membicarakan saya juga, kan?" tegur Luka sedikit menaikkan intonasi suaranya.
"Lo?!" Renata terperangah dengan teguran Luka barusan.
"Kalo masih ingin menikmati menu dan duduk santai di kafe ini, silahkan, Nona. Kalo, gak, Nona bisa pergi dari sini!" balas Luka lebih tegas dan dingin lagi membuat teman-teman Renata tersentak. Mungkin mereka tidak menyangka, di balik Luka yang ramah dan sopan, kini berubah tegas terkesan dingin.
Luka lantas pergi dari meja mereka dengan menahan senyum. Ia sebenarnya hanya memberikan sedikit pelajaran agar Renata dan teman-temannya tidak meremehkan siapapun itu.
Kedua manik hitam Renata seketika membulat. Ia menatap punggung Luka yang pergi begitu saja. Hal itu membuat gadis angkuh itu semakin penasaran terhadap Luka.
Luka menyiapkan sendiri pesanan Renata dan teman-temannya itu. Ia menghela napas dalam berusaha bersikap sabar dan tenang menghadapi gadis sombong itu. Sebagai pemilik kafe bersikap ramah terhadap pelanggan memang diharuskan, tetapi jika pelanggannya meremehkan, ia pun harus bersikap tegas.
Pesanan telah selesai disiapkan oleh Luka sendiri. Ia lantas meminta salah satu pegawainya untuk mengantarkan ke meja Renata.
"Randi, tolong antar ini ke meja paling sudut, ya!" seru Luka.
Randi segera menghampiri Luka dan sigap meraih nampan untuk diantar ke meja si gadis sombong bersama teman-temannya.
Luka lantas melanjutkan pekerjaannya menatap layar laptop yang masih menyala itu. Ia yang harus menangani sendiri laporan keuangan dari usaha kafe dan restoran miliknya itu. Bukan tidak ingin memperkerjakan orang lain, tetapi Luka ingin menyibukkan diri agar tidak terjerumus dan menghabiskan waktu di klub-klub malam seperti beberapa bulan yang lalu.
Ketika Luka sedang sibuk dan serius menatap laptop, ia mendengar kegaduhan yang begitu menarik perhatiannya. Suara pegawai kafenya yang baru ia perintah untuk mengantar pesanan ke meja gadis angkuh itu, terdengar hingga ke telinganya. Randi sepertinya sedang berdebat dengan seseorang, membuat Luka yang penasaran segera menghampiri.
"Randi! Ada apa?"
Randi menoleh ke arah Luka, kemudian menceritakan yang terjadi dengan kepala tertunduk.
"Maaf, Pak, gadis ini gak mau bayar pesanannya. Ia pura-pura lupa gak bawa dompet."
Renata yang berdiri di samping meja semakin melotot kesal ke arah Randi. Sebelah tangan gadis angkuh itupun mengepal seakan-akan ingin melayangkan bogem mentah ke arah pegawai Luka.
"Heh, gue bukan pura-pura, tau! Dompet sama hape gue di dalam tas ketinggalan entah di mana, tau! Bukan gue gak mau bayar. Gue cuma mau pinjam hape sebentar dulu. Gue mau hubungi bokap atau nyokap gue buat transfer ke sini," jelas Renata masih dengan tatapan dongkol ke arah Randi dan Luka.
"Bukan begitu, Mbak. Di sini sudah terlalu sering kejadian begini. Jadi, bisa saja, kan, Mbak juga sama?" balas Randi.
"Dasar, lo, ya! Lo, gak tau siapa gue? Banyak mulut, lo, ya!" umpat Renata sambil mendorong dada Randi.
"Maaf, Nona! Pegawai saya hanya mengingatkan. Saya harap Nona mengerti," ujar Luka berusaha mendamaikan keadaan. Sebagai atasan dan pemilik kafe, ia tidak ingin ada kericuhan antara pegawainya dengan pengunjung.
Renata masih tak terima dengan ucapan Luka. Gadis sombong itu mendongak, menatap Luka dengan wajah menantang. Sorot matanya begitu sinis, menukik manik hitam milik Luka.
"Kalo gitu, gue mesti gimana ini? Pinjam hape gak boleh, terus apa yang harus gue pakai buat jaminan? Mana temen-temen gue udah pada kabur lagi," gerutu Renata. "Oke deh, ini ada jam tangan mahal branded, merek luar negeri punya. Bisa gak buat jaminan?" imbuh Renata masih dengan lagaknya yang angkuh.
Luka hanya tersenyum menanggapi Renata. Laki-laki tampan itu menolak jam tangan yang disodorkan Renata.
"Saya gak menerima jaminan barang ataupun KTP, Nona. Yang bisa Nona lakukan hanyalah membayar dengan uang tunai atau sebagai gantinya Nona membantu pegawai kami di bagian belakang. Pilih saja!" ujar Luka membuat pegawainya yang berdebat tadi melirik ke arah Luka sambil menahan senyum.
"Maksud, lo, apaan nih?" Seketika Renata mengernyit bingung.
"Nona bisa pilih menyiapkan pesanan pengunjung kafe atau mencuci gelas dan piring bekas di kafe kami," balas Luka sambil tersenyum bernada mencibir.
"Apa?! Oh no, Om! Gue bukan babu kali, om!" pekik Renata berusaha menolak pilihan yang dilontarkan Luka. "Gila, kali, Om. Sekelas Renata Syailendra menjadi pencuci piring di kafe?" imbuh Renata.
"Karena Nona terus saja melawan dan tidak mau membayar, dengan terpaksa saya membawa Nona ke belakang. Pilih saya seret atau jalan sendiri mengikuti langkah saya, Nona?" ulang Luka dengan tegas.
Renata tampak menghela napas kasar dan mendengus kesal. Ia lantas terpaksa menuruti Luka. Apalagi teman-temannya sudah meninggalkan kafe dan tinggallah dia sendiri menanggung semua pesanan yang tak terbayar itu.
Luka dan Renata berjalan beriringan menuju ruang di bagian paling belakang bangunan kafe.
"Tunggu dulu di sini!" seru Luka begitu sampai di depan dapur berukuran lumayan luas.
Renata mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia lantas tersentak begitu melihat tumpukan piring dan gelas kotor. Bahunya bergidik seketika, merasa jijik. Seumur hidupnya Renata belum pernah mencuci piring atau gelas kotor. Bahkan untuk bekasnya sendiri pun tidak pernah.
"Pakai ini!" seru Luka menyodorkan lipatan celemek ke arah Renata.
Renata yang cemberut segera mengenakan celemek. Bayangan bekas minyak dan busa dari sabun pencuci piring jika menempel di tangannya, membuat bahunya bergidik jijik lagi.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (38)

  • avatar
    DamiaShelly Ramadhani

    enak banget membaca novel ini.

    31/01/2023

      0
  • avatar
    Yenchiey

    good

    09/08/2022

      0
  • avatar
    Cahaya Mata Hari

    kkkkkk

    26/07/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด