logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Ibu Pasti Doakan

Brakk...
Dika masuk kamar lalu membanting pintu, tubuhnya mengigil kedinginan, “Yunia, ampun!” teriak Dika semakin ketakutan.
“Dika, kau ini kenapa?” teriak Duma dari luar kamar untuk menenangkan kekasih hatinya itu, “Kakakku itu sudah mati, dia tak mungkin lagi muncul!”
“Pergi, Duma. Pergi. Jangan ganggu aku,” Dada Dika sesak mengingat semua kejadian yang baru saja menimpanya, “Aku tak mau dia terus menghantuiku begini!” teriak Dika lalu bergegas berpakaian.
“Penakut kau!” hardik Duma lalu berjalan menuju kamarnya, dia tak menyangka Dika yang bertubuh tinggi besar ternyata memiliki nyali yang ciut hanya karena penampakan kakaknya yang bahkan hanya hayalan Dika sendiri.
Saat Dika tak mau lagi mengingat penampakan dari mendian istrinya, Yunia malah duduk disamping Dika dengan wajah senang, “Kau tak akan aku biarkan menikah semudah itu dengan adikku!” bisik Yunia sambil menatap Dika dengan sorot mata tajam.
**
Keesokan Harinya.
Braaak...
Dika terbangun karena suara pintu kamarnya yang jelas-jelas kemarin dia kunci terbuka sendiri.
“Yunia, cukup!” ujar Dika dengan mata yang masih sangat mengantuk.
Dika lalu duduk di samping tempat tidurnya lalu melangkah menuju pintu kamarnya yang terbuka begitu lebar.
“Mmmm, kalau tau kau akan semarah ini, aku tak akan membiarkan adikmu mendorong tubuhmu,” bisik Dika menyesali semua yang terjadi pada Yunia.
Mendengar perkataan suaminya, Yunia yang sedang berdiri tepat di samping pria tampan itu langsung tersenyum dan berusaha meraih tubuh suaminya yang masih saja terpaku melihat pintu kamar yang terbuka sendiri.
“Harusnya kita mengikuti sarap orang tuamu untuk mengontar rumah saja dan bukannya tinggal satu rumah dengan adikku yang gatal itu!” tutur Yunia namun tak dapat didengar oleh suaminya.
Kreekkk...
Dika bergegas menutup pintu kamarnya lalu kembali ke pembaringanya karena kantuk di matanya masih sangat berat.
“Aku tidur dulu, nanti kita bicara lagi!” tutur Dika pada Yunia yang tetap setia berdiri di sampingnya.
Yunia mengangguk lalu membiarkan Dika tertidur sesaat sebelum jam menunjukkan 9:15 yang merupakan waktu suaminya kembali bekerja.
Kreeekkk...
Sekali lagi pintu kamar Dika terbuka, dengan mata yang sangat berat Dika memaksa kelopak matanya terbuka dan segera duduk di samping tempat tidur untuk mengusir kantuknya.
“Terima kasih kau sudah membangunkanku, aku akan segera bersiap!” tutur Dika lalu menggosok matanya beberapa kali sebelum akhirnya dia bergegas masuk kamar mandi.
Byuur.... Byuuurr...
Gayung berisi air segera di angkat Dika tepat di atas kepalanya dan rasa segar mulai memenuhi tubuh Dika.
“Huuuft, segar sekali ternyata mandi dengan air dingin.” Dika lalu menyabuni tubuhnya yang atletis mulai dari perut hingga seluruh tubuhnya.
“Heeehm!” dehem Duma yang mencoba mengintip kakak iparnya itu dari lubang udara di tepat di atas kepala Dika.
“Duma! Apa yang kau lakukan?” geram Dika yang segera menempelkan tubuhnya di dinding kamar mandi menghindari pandangan nakal adik iparnya itu.
“Ih, aku hanya melihat tubuhmu saja, masa tak boleh!” gerutu Duma yang kecewa Dika malah bergegas membersihkan sabun di tubuhnya lalu mengenakan kaos oblong dan celana pendeknya.
Dengan kesal Dika keluar kamar mandi lalu menarik tangan Duma menjauh dari lubang anak tangga menuju ke dapur.
“Kau ini, bagaimana jika ibumu melihat kita seperti ini!” lanjut Dika dengan marah.
“Hey, kau sudah meniduriku. Apa kau lupa?” jelas Duma lalu meronta agar Dika melepas genggaman tangannya, “Jadi apa salahnya kau melihat tubuhmu yang gagah itu, lagi pula kau sudah janji menikahiku, kan!”
“Sabarlah sedikit, setelah sebulan atau paling tidak seminggu kematian kakakmu barulah kita membicarakan masalah itu lagi!”
“Tidak, aku tak mau menunggu. Besok kau sudah harus bicara kepada orang tuaku soal hubungan kita!” tegas Duma lalu mengelus perutnya, “Aku tak mau orang tuaku sampai tau jika aku hamil di luar nikah!”
Dika menggelengkan kepalanya, tentu ini semua juga salahnya, tapi meminta ijin kepada keluarga Duma untuk menikahi gadis cantik ini sekarang juga sebuah keputusan yang terburu-buru.
“Iya, ok. Tapi aku kerja dulu, jangan buru-buru begitu. Sabar sedikit!” Dika menurunkan nada bicaranya lalu membuat Duma sedikit lebih tenang setelah kemarin sempat di tolak Dika dengan kasar.
“Kau jangan berubah pikiran, kalau sampai kau membatalkan pernikahan ini aku akan mengadu pada ibuku soal pembunuhan, Yunia, olehmu!”
“AH. AKU!” teriak Dika tak terima, “Kau yang mendorong, Yunia. Masa kau lupa!”
“Aku! Apa ada saksi yang lihat?” Duma memasang wajah meyebalkan membuat Dika membelalakkan matanya.
“Kau mau memfitnahku?” tegas Dika mulai ketakutan.
“Kalau kau tak mau menikahiku, aku akan melaporkan kejahatanmu pada polisi. Mau apa kau?” serang Duma membuat Dika semakin ketakutan.
“Ok, tenang dulu. Aku tak akan melupakan janjiku,” Dika kembali menurunkan nada bicaranya, rasanya percuma jika dia harus berdebat dengan Duma yang terkenal pandai membulak balikkan fakta.
“Jadi sekarang bagaimana rencanamu?” tanya Duma mencoba membuat kesepakatan dengan kakak iparnya ini.
“Iya, aku akan segera membicarakan pernikahan kita dengan orang tuamu, tapi ijinkan aku kerja dulu. Jangan sampai mereka curiga!”
Duma mengangguk setuju lalu tersenyum,
Muaacah...
Dengan liar Duma mengulum bibir Dika yang masih terpaku menatapnya.
“Sudah, nanti lagi. Aku tak mau terlambat bekerja, pokoknya kau tanggung jawab soal ini!” tunjuk Dika pada perut Duma yang memang belum nampak membesar.
“Iya, jangan lupa. Ini juga benihmu, kau juga tak boleh menolakku seperti kemarin.”
Dika mengangguk lalu berjalan meninggalkan Duma menuju kamarnya untuk bersiap pergi kerja.
Tak lama kemudian Dika keluar kamar dengan hem biru dan celana hitam yang biasa dia gunakan saat bekerja, “Aku kerja dulu. Jangan bikin masalah selama aku pergi!” tutur Dika pada Duma lalu menuruni anak tangga menuju lantai satu.
Duma hanya tersenyum sinis melihat Dika yang kini mulai percaya jika dia sudah berbadan dua.
“Ibu, saya pamit kerja dulu!” ujar Dika pada ibu mertuanya yang sedang duduk di sofa ruang tengah sambil terus memandangi foto Yunia di tangannya.
“Iya, Nak. Hati-hati!” jawab Ibu singkat sambil memutar bola matanya kearah Dika, “Tadi Ibu sempat memimpikan Yunia, ada apa ya?” tanya Ibu membuat jantung Dika seperti tertusuk sembilu.
“Yunia bilang apa?” tanya Dika dengan nada kaget.
“Entahlah, dia sepertinya tak rela kau pergi. Aku tak mengerti apa yang dia maksud!” lanjut Ibu sambil menatap wajah menantunya itu lekat-lekat.
“Mmmm, mungkin maksudnya keluar dari keluarga ini, Bu. Bukan pergi kerja!” ujar Dika mencoba menenangkan ibu mertuanya.
“Iya, mungkin begitu. Ibu cuma cemas saja, kau tau kan aku sudah menganggapmu seperti putraku sendiri,” Ibu menurunkan pandangannya dari wajah Dika yang juga mulai ketakutan, “Jadi wajarkan kalau aku cemas!” tutur Ibu lalu membiarkan Dika mengecup tangannya dengan lembut.
“Iya, Bu. Dika pamit dulu, doakan pekerjaan putramu ini lancar!” pinta Dika lalu menghela nafas panjang.
“Iya, Nak. Pasti Ibu doakan, jangan khawatir!”

หนังสือแสดงความคิดเห็น (34)

  • avatar
    KasmisantyAndi

    semangat nulisnya thor... sy suka ceritanya gak serem2 amat

    24/02

      0
  • avatar
    Darma Darma

    bagusss

    03/04/2023

      0
  • avatar
    Claudya Sawai

    good

    03/03/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด