logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Uang Duka Dika

“Kau sudah kembali?” tanya kepala produksi saat Dika tiba di gudang peti mati tempat dia tadi mengambil antarannya.
“Sudah, Pak. Ada kiriman lagi, kah?” Dika lalu turun dari kursi kemudinya lalu menyerahkan beberapa berkas dari rumah sakit tempatnya mengatar peti.
“Sudah selesai, kau pulanglah. Besok siang kau ada kiriman ke Kediri, jadi tidurlah yang cukup!” perinta kepala produksi lalu membiarkan supirnya itu pulang.
Dika kemudian menginjak pedal gas untuk segera pulang, memang seperti itulah pekerjaannya beberapa bulan ini. Mengantarkan peti kemudian pulang.
Memang pekerjaan ini terbilang langka karena kabarnya banyak supir yang tak bersedia bekerja di posisinya saat ini, tapi karena 6 bulan lalu dia sudah terlanjur janji pada Yunia untuk menikahi perawat cantik itu akhirnya dia mau menerima pekerjaan yang tak biasa ini.
“Dika!” panggil kepala produksi sambil melambaikan tangan kearah Dika.
Melihat kepala produksi yang melambaikan tangan kearahnya, Dika lalu menginjak rem lalu memundurkan mobilnya untuk kembali ke tempat awalnya.
“Iya, Pak!” sahut Dika dari jendela supir.
“Ini, ada santunan dari perusahaan. Ini uang duka atas berpulangnya istrimu!”
Dika tersenyum simpul, memang semenjak Yunia meninggal dia justru kebanjiran santunan dan tentu uang santuan ini sangat berarti baginya.
“Terima kasih, Pak!” jawab Dika sambil meraih amplop coklat berisi lembaran uang seratus ribuan yang entah berapa totalnya.
“Jangan kamu pakai kawin lagi, ya!” canda kepala produksi membuat Dika tersipu.
“Ah, masa aku kawin lagi! Makam istriku saja masih basah!” tutur Dika lalu kembali berpamitan kepada kepala produksi.
“Ya, sudah. Pulanglah, ingat besok kau ada jadwal antaran lagi!” ujar kepala produksi kepada Dika yang terus saja menatap pada uang duka yang baru saja dia terima.
“Baik, Pak. Terima kasih perhatiannya!” Dika lalu kembali ke kursi kemudi lalu menginjak gas untuk kembali ke rumah.
**
Rumah Yunia.
“Dika, kau sudah pulang!” sambut Ibu saat menantunya ini baru memasuki rumah.
“Iya, Ibu. Saya sangat lelah, jadi saya langsung naik, ya!” tutur Dika sambil melangkah menuju anak tangga menuju kamarnya.
“Iya, Nak. Apa kau perlu air mandi, biar Ibu siapkan!”
Penawaran ibu mertuanya itu membuat Dika teringat akan Yunia, mendiang istrinya tapi karena sungkan akhirnya Dika menolak tawaran mertuanya.
“Dika naik saja, tak apa nanti mandi air dingin saja!” tutur Dika lalu mulai menaiki anak tangga dengan perlahan.
Tiba-tiba dia teringat saat kemarin terjatuh dari tangga ini, sambil kepala tertunduk akhirnya dia tiba di lantai dua rumah Yunia yang nampak sepi.
“Duma, kemana?” tanya Dika sambil melirik kearah lorong kamar adik iparnya yang tertutup rapat.
“Kenapa mencari, Duma? Bukannya mencariku?” Suara asing kembali terdengar di telinga Dika, karena kaget pria bertubuh kekar ini langsung memutarkan matanya menuju asal suara namun sekali lagi tak ada siapapun di sana.
“Yunia, maaf. Aku lupa membersihkan tempat jatuhmu!” ujar Dika lalu buru-buru turun kembali ke lantai satu berharap setelah dia membersihkan tempat jatuh mendiang istrinya, Yunia tak lagi menghantuinya.
Byuur...
Dika menyiramkan air ke tempat jatuhnya Yunia, sesekali matanya memutar berharap sosok mendian istrinya itu tak menampakkan diri tiba-tiba.
“Sudah aku bersihkan, jadi jangan ganggu aku lagi!” tutur Dika lalu kembali masuk ke dalam rumah tanpa bertemu siapapun.
Dika lalu memasuki kamarnya dan mengeluarkan amplop coklat pemberian perusahaanya yang dia selipkan di dalam kemeja biru yang dia kenakan.
“Dapat amplop!” serunya merasa sangat beruntung atas kematian istrnya.
Braak....
Tiba-tiba pigura yang terpajang di atas tempat tidurnya terjatuh tanpa sebab.
“Ah, Yunia. Sudah, kau sudah mati jadi jangan ganggu aku lagi!” ketus Dika lalu kembali sibuk menghitung uang di dalam amplop coklat.
“Lima juta!” seru Dika dengan mata berbinar, “Aku harus memberitahu, Duma. Aku akan segera menikahi adik iparku itu!”
“TIDAAK!” teriak Yunia tak ikhlas dengan keputusan yang baru saja di ucapkan suaminya, namun percuma, suaranya tak sampai ke telinga Dika.
Dika lalu segera memasukkan lagi uang itu ke dalam amplop lalu menyembunyikannya di antara bajunya di dalam lemari.
Kreek...
Duma membuka pintu kamar Dika lalu memasukkan sedikit wajahnya agar pria yang sedang membuatnya mabuk kepayang itu mengetahui kedatangannya.
“Dika!” tuturnya pelan.
“Hey, kau dari mana saja. Ada kabar baik!” seru Dika dengan riang.
“Kabar baik apa?” tanya Duma lalu membuka pintu kamar Dika lebih lebar.
“Aku sudah dapat modal untuk menikahimu!”
“Sungguhkah!” ujar Duma bahagia lalu menghampiri Dika yang terus tersenyum meyakinkan.
“Aku mau, kapan kita nikah. Tak usah tunggu seminggu atau sebulan. Aku sudah tak sabar meresmikan pernikahanku denganmu!” tutur Duma bersemangat.
“Kapan? Terserah, besok juga boleh!”
Brak...
Pintu kamar Dika tiba-tiba tertutup membuat Dika dan Duma saling pandang.
“Ah, angin!” tukas Duma membuat Dika menghela nafas.
“Iya, lagi banyak angin.” Dika mulai dapat mengendalikan dirinya lalu kembali menatap Duma yang hari itu begitu cantik mengenakan daster kuning corak bunga-bunga yang membuat imajinasi Dika kembali melayang tanpa arah.
“Aku mandi dulu, nanti malam kita uhuy lagi!” tutur Dika seperti sudah lupa akan kematian Yunia yang belum seminggu.
“Baiklah, kau mandi dulu saja biar segar. Habis itu temui aku di kamarku,”
Dika mengangguk lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan peluh di tubuhnya selepas bekerja tadi.
Dengan perlahan dia mulai melepas bajunya dan mengguyurkan air ke kepalanya namun tiba-tiba...
Tuk...
Gayung yang dia pegang seperti bergerak sendiri dan memukul kepalanya dengan cukup keras.
“Aduh!” teriak Dika lalu menatap tajam kearah gayung di tangannya.
Mata Dika mulai berputar-putar untuk melihat siapa yang sekiranya ada di dalam kamar mandinya tapi tak ada siapapun di sana, “Ah, aku ceroboh sekali!” tutur Dika lalu melanjutkan mandinya.
Selesai mandi, Dika lalu mengeringkan tubuhnya denga handuk putih yang dia bawa dari kamar, namun saat handuk dia usapkan tiba-tiba titik-titik darah terlihat di handuk.
“Aaaah... apa ini!” teriak Dika lalu melempar handuk putih yang masih dia pegang.
“Yunia, cukup. Apa maumu? Cukup?” teriak Dika yang mulai ketakutan.
“Dika, kau kenapa?” teriak Duma yang kebetulan melintas di depan kamar mandi.
“Aku tak akan rela kau menikahi adikku, Dika!” ujar Yunia yang wajahnya kini hanya berjarak beberapa centimeter dari wajah Dika.
“AAAH!” Dika berteriak lebih kencang lalu berlari keluar dari kamar mandi tanpa selembar kainpun di tubuhnya.
“Dika, ada apa denganmu. Tingkahmu seperti orang gila!” teriak Duma yang melihat kakak iparnya itu berlari memasuki kamar.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (34)

  • avatar
    KasmisantyAndi

    semangat nulisnya thor... sy suka ceritanya gak serem2 amat

    24/02

      0
  • avatar
    Darma Darma

    bagusss

    03/04/2023

      0
  • avatar
    Claudya Sawai

    good

    03/03/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด