logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Salah Sebut Nama Panggilan

Salah Sebut Nama Panggilan

Nisa Noor


Bagian 1 - Salah Sebut Nama Panggilan

“Bun, Bunda… kaos kaki ayah dimana ya?”
Nirmala yang sedang menyuapi anaknya tiba-tiba terdiam mendengar suaminya, Heru menyebut panggilan yang bukan biasa ia ucapkan untuknya. Dahinya mengernyit, menandakan tanda heran. Ia mencoba mendengarkan dengan saksama, di taruhnya mangkuk itu lalu berjalan menuju kamar dimana suaminya berada.
“Bun…”
Suara Heru terhenti ketika yang muncul adalah Nirmala, wajahnya mendadak pucat pasi. Nirmala semakin menaruh curiga.
“Manggil siapa pa?” tanya Nirmala
Pertanyaan Nirmala membuat Heru gelagapan, Nirmala memandang suaminya dengan lekat.
“Manggil mama lah, siapa lagi,” ujar Heru mencoba menutupi rasa groginya karena kepergok salah menyebut nama panggilan
Nirmala semakin bergelut dengan rasa curiga, ia menelisik ada sesuatu yang aneh dalam diri suaminya itu.
“Tapi tadi…”
Nirmala menghentikan kalimatnya, ia merasa perlu berhati-hati dalam menghadapi persoalan ini, instingnya merasa suaminya sudah tak setia, panggilan itu jelas bukan untuknya.
“Papa cari apa tadi?” tanya Nirmala
“Kaus kaki yang hitam Ma,” jawab Heru
“Oh, itu. Sini Mama bantu mencarikan, Papa sarapan dulu aja ya.”
“Oke deh, Papa sarapan dulu ya.”
Heru bergegas meninggalkan Nirmala seorang diri, dikecupnya pucuk kepala Nirmala sesaat sebelum ia keluar. Nirmala tersenyum malas, ia sudah tak merasakan kehangatan dari kecupan itu. Ada aroma perselingkuhan yang ia rasakan.
Nirmala mencari kaus kaki Heru, namun ia hentikan ketika mendengar ponsel suaminya berbunyi. Ia melangkahkan kaki menghampiri ponsel suaminya yang tergeletak di atas nakas.
Bunda Alea.
Nirmala mengernyitkan dahi melihat nama kontak yang memanggil suaminya itu, dadanya semakin berdekup kencang, firasatnya semakin menajam, tanpa berpikir panjang ia segera mengangkat panggilan itu.
“Hallo, Ayah. Jangan lupa mampir untuk bawa bekal makan siang ya”
Nirmala terpaku, nyaris ponsel yang dipegangnya terjatuh ketika mendengar suara di ujung sana. Suara seorang perempuan dengan panggilan ayah pada suaminya. Perempuan itu terus memanggil nama ayah pada suaminya.
Nirmala menutup panggilan itu dengan segera dan dia menyimpan kembali ponsel suaminya. Dia mencoba menenangkan hatinya yang sudah berkecambuk dengan kemarahan yang ia pendam, dia mencoba mengulas senyum dihadapan suami dan anaknya yang baru berusia 3 tahun itu.
“Ada, Ma?” tanya Heru.
“Ada dong, Papa kayaknya bukan lagi nyari kaus kaki tapi lagi nyari istri muda,” celetuk Nirmala.
Sontak Heru mendadak batuk karena tersedak makanan yang tengah ia kunyah, sikapnya menjadi kikuk dan tak dapat menyembunyikan perasaan ketakutan akan terbongkarnya apa yang ia lakukan di belakang istrinya.
“Eh, iya Pa. Mama buatin bekal ya, kok kayaknya Mama kangen bikini bekal buat makan siang Papa,” timpal Nirmala.
Kali ini Heru dibuat kelimpungan dengan sikap istrinya, dia semakin merasa tak enak dengan sikap Nirmala yang membuatnya terpojok. Memang sejak satu tahun terakhir Nirmala jarang membuatkan bekal untuk suaminya, awalnya hanya mencoba memberikan keleluasan pada suaminya untuk membeli makanan merasakan makanan lain selain masakannya, tapi Nirmala kebablasan dia keenakan tidak menyiapkan bekal hal ini membuat Nirmala terperangkap dalam situasi dimana ternyata ada perempuan lain yang membuatkan bekal untul suaminya itu.
“Wah, boleh banget tuh Ma. Papa juga kangen makan siang masakan Mama, bosen makan makanan kantin terus,” ujar Heru.
Apa dia bilang? Kantin? Nirmala tersenyum sinis, dia membaca suaminya tengah berpura-pura menyembunyikan semua yang sebenarnya terjadi.
'Baiklah Pa, jika kamu mau bermain api denganku jangan salahkan aku jika kamu lebih terbakar dariku.' batin Nirmala.
Nirmala mengurungkan niatnya untuk member suaminya bekal, ia mengubah niatnya untuk langsung mengantar makanan itu langsung ke tempat kerja Heru siang nanti.
“Ma, gak jadi bekelin Papa?” tanya Heru.
“Nggak Pa, nanti saja ya Mama anterin langsung ke kantor.”
“Nggak perlu repot-repot Ma, nanti Kania kepanasan lagi kalau kamu ajak ke kantor. Nanti Papa makan di kantin lagi aja ya,” ucap Heru datar.
Nirmala semakin penasaran dengan sikap suaminya itu, niatnya untuk mendatangi suaminya siang nanti semakin membulat. Nirmala terus meyakinkan suaminya, hingga akhirnya Heru mengalah dan menuruti apa mau Nirmala.
“Pokoknya Papa tenang aja, tiba waktu makan siang nanti makana sudah siap disantap di hadapan Papa,” ucap Nirmala meyakinkan Heru.
Heru hanya tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih dan mendaratkan kecupan di kening Nirmala. Tidak ada yang berubah memang sejauh ini, sikap Heru masih sama bahkan Heru masih suka pulang ke rumah jika malam tiba meski terkadang pulang larut malam namun Nirmala tidak pernah merasa curiga, jika bukan suaminya yang salah menyebut nama panggilan itu mungkin tidak akan tumbuh rasa curiga di hati Nirmala.
“Ya sudah, Papa berangkat dulu ya.”
Nirmala mencium tangan suaminya penuh takzim, dia melipat dulu rasa curiga dan hal lain yang bertengger dalam benaknya, Heru mencium putri kesayangannya. Lalu ia berlalu dari dua perempuan yang sangat ia perhatikan.
Selepas Heru pergi, Nirmala bergegas merapikan diri. Diraihnya tas kecil miliknya, ia pakaikan Kania jaket, ia ambil kunci sepeda motornya lalu bergegas menjalankan kendaraan roda dua itu dengan menggendong Kania di depan.
“Ma, mau kemana Ma?” ucap Kania dengan nada gemasnya.
“Kita ke rumah nenek ya, nak.”
Anak itu tak bersuara lagi, Nirmala mencoba mencari mobil Heru dengan ketajaman matanya dan yang pasti berkat keyakinannya yang kuat akhirny Nirmala bisa mengikuti mobil Heru, Nirmala berjalan dengan pelan penuh hati-hati agar Heru tak mencurigainya.
Hingga sampai di gerbang tempat Heru bekerja bahkan hingga mobil Heru masuk pun Nirmala tak menemukan tanda-tanda Heru singgah di tempat lain.
‘Lho, bukannya perempuan tadi menyuruh Mas Heru mampir untuk memberi makan siang? Tapi kok Mas Heru langsung ke tempat kerja’ batin Nirmala.
Nirmala kembali menjalankan kendaraannya dengan lemas, terkaannya meleset, Heru tak menunjukan apapun yang mencurigakan. Kadung janji pada anaknya untuk mengunjungi neneknya, Nirmala pun mengarahkan kendaraanya menuju rumah orang tuanya.
“Tumben, Mala hari kerja kamu ke sini?” tanya Ibu Nirmala.
“Ada perlu Bu, titip Kania ya,” ucap Nirmala.
“Ada apa? Kok kayaknya kamu kelihatan bingung gitu?”
“Nggak ada apa-apa Bu, cuma bingung mikirin menu rencananya hari ini mau bikin kejutan sama Mas Heru, mau nganterin makan siang Bu, sudah lama Nirmala nggak masakin makan siang.”
Nirmala mencoba menyembunyikan prasangka akan suaminya pada Ibunya, dia perlu banyak bukti untuk mengungkap semua kelakuan suaminya itu, hanya karena Nirmala mendengar Heru salah menyebut nama pangglilan saja itu belum cukup untuk membuat Mas Heru terpojok dan mengakui kesalahannya.
“Kania, Kania main sama nenek dulu ya. Mama mau ada kerjaan dulu, ya sayang.”
Anak kecil itu hanya mengangguk dan tetap fokus pada boneka-boneka kecil yang sedang ia mainkan. Nirmala pamit dan mengecup kepala anaknya itu.
***
Nirmala mencoba mencari bukti di rumahnya, tempat kerja Heru, kamarnya dan temapt-tempat yang sering Heru kunjungi di rumah semua sudah Nirmala geledah tapi hasilnya nihil, Nirmala lagi-lagi tak menemukan bukti apapun. Dia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, ia merasa telah terpengaruh dengan pikiran negatifnya. Bisa saja Heru hanya salah menyebut saja bukan berarti dia selingkuh.
“Tapi, arghh…”
Nirmala mengusap wajahnya, mengacak rambutnya. Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya dan terburu-buru merogoh ponsel di saku bajunya.
“Lukman,” gumamnya.
Ditekannya kontak dengan nama itu dan ia letakan ponselnya di telinga, nampaknya Nirmala punya acara lain untuk mencari bukti atas kecurigaan yang bersarang pada suaminya.
Nirmala terus mencoba menghubungi nomor itu, beberapa kali Nirmala nampak gusar Karena tak kunjung mendapat jawaban. Akhirnya dia memlih untuk berhenti melakukan panggilan itu, kemudian bergegas menuju dapur. Ia segera menyiapkan makanan untuk ia bawa ke kantor suaminya, pikirannya masih terus berkecambuk. Ia sebetulnya ingin membuang rasa curiga itu namun entah kenapa panggilan Heru dan panggilan perempuan itu pada suaminya sungguh selalu membayangi pikirannya.
Ponsel Nirmala berdering, segera ia meraihnya di atas meja makan. Melihat nama “Lukman” tertera di layar dengan penuh semangat Nirmala segera mengangkat telepon itu.
“Ada apa tante?” ucap seseorang di seberang sana.
“Lukman, bisa bantu Tante?”
“Bantu apa?”
“Ajarkan Tante bagaimana menyadap telepon dan mengetahui posisi sebuah nomor telepon,” ujar Nirmala.
“Buat apa Tante? Wah, Tante mau jadi mata-mata ya,” ledek Lukman.
“Nanti Tante jelaskan, sore nanti sekalian Tante mau ketemu Ibumu ajari Tante ya,” pinta Nirmala.
“Oke siap Tante,” ucap Lukman.
Nirmala mengakhir percakapannya dengan Lukman, dia adalah keponakan dari kakak pertamanya. Nirmala melanjutkan masaknya hingga semua selesai tepat waktu.
***
Laju sepeda motor yang Nirmala kemudikan tak terasa sudah mengantarkan Nirmala sampai di depan gerbang tempat di mana suaminya bekerja.
“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” tanya Satpam penjaga pintu gerbang.
“Selamat siang Pak, saya mau bertemu dengan Bapak Heru Hermawan,” tutur Nirmala.
“Lho, bukannya tadi jam 10 beliau pamit izin keluar karena ada acara keluarga. Maaf ibu siapa?” tanya Satpam.
Nirmala tertegun mendengar ucapan Pak Satpam, dadanya bergemuruh. Keluarganya? Bukankah dia keluarganya? Atau maksud Pak Satpam keluarga Heru sendiri? Lalu kenapa Pak Satpam tak mengenali Nirmala, bukankah biasanya setiap karyawan akan saling mengenali keluarga karyawan lainnya.
Nirmala terkesiap ketika Pak Satpam terus memanggil namanya.
“Sa…sa..saya… saya temannya Pak,” tutur Nirmala bergetar.
Kali ini dia memilih untuk berbohong, jika dia mengaku kalau dia istrinya bukan tak mungkin penyeledikannya akan berakhir begitu saja sebelum ia mengetahui kebenarannya. Segera Nirmala pamit dan pergi meninggalkan tempat itu, ia menepi sejenak di tempat yang teduh. Panasnya terik matarahari itu belum seberapa dibanding dengan panas hatinya saat ini.
Terduduk lemas di atas jok motor, pikiran Nirmala sudah tak menentu. Dia sama sekali tak menemukan bukti apapun di rumahnya, tapi dengan hal ini membuat Nirmala kembali menaruh curiga pada suaminya itu. Dia membuka ponselnya memastikan jika mungkin ada pesan dari Heru mengabarkan berita tentang keluarganya tapi hasilnya nihil, tak ada pesan yang masuk atas nama Heru.
Nirmala kembali melajukan kendaraannya, kali ini tujuannya adalah rumah kakaknya sendiri, janji bertemu sore dengan segera ia batalkan dan bertemu saat itu juga.
***
“Aku nggak tahu Kak, apa yang sebenarnya terjadi. Semua nampak semu, di rumah sikap Mas Heru baik padaku dan Kania tak ada yang berubah, bahkan Mas Heru nyaris selalu pulang setiap hari,” tutur Nirmala.
“Kamu tenang dulu, mungkin semua memang hanya ketakutanmu semata. Suamimu kan orang baik mana mungkin berlaku seperti itu,” ucap NIlam, kakak Nirmala yang paling tua.
“Tapi, Kak…”
“Tak baik berprasangka buruk terlebih pada suami nanti jatuhnya dosa. Tenangkan pikiranmu jangan sapai setan menang atas nafsumu yang tak terkenali,” ucap Kakaknya sendiri.
Nirmala menenggelamkan kepalanya di dalam pelukan Kakak perempuan pertamanya. Ia menumpahkan segala rasa yang menyesakan jiwanya. Nilam mengusap lembut rambut hingga punggung adiknya.
“Tante sudah datang?”
Suara Lukman membuat Nirmala melepaskan diri dari pelukan Kakaknya, ia mengusap air mata yang mengenang dan tersisa di pipinya.
“Ayo Tante, mau belajar di mana?” tanya Lukman.
Nilam mengernyitkan dahinya, dia mencoba menerka atas sikap anak dan Tantenya itu.
“Di sini aja,” singkat Nirmala.
Lukman duduk di tengah, di antara Ibu dan Tantenya. Dengan piawai Lukman mengajari Tante dan Ibunya soal penyadapan dan cara mengetahui lokasi dari sebuah nomor. Nirmala memperhatikannya dengan saksama, dia tak berkedip lalu mencoba mempraktekannya. Ia masukan nomor Heru pada aplikasi peninjau lokasi nomor, karena Nirmala penasaran jika bukan di kantor lalu saat ini dia sedang ada dimana?
Tercengang Nirmala melihat hasilnya, nomor suaminya terlacak berada di sebuah kawasan perumahan elit di kotanya, dadanya kian sesak melihat hasil pelacakan itu, tangannya bergetar, Nilam mencoba menguatkan adiknya, ia terus mengirimkan kalimat-kalimat positif pada adiknya dan terus meminta Nirmala tetap bersabar.
Nirmala mencoba menguatkan hatinya, ia pun mencoba melakukan penyadapan terhadap nomor telepon suaminya.
[Ayah, terima kasih sudah antar Bunda ke dokter. Nanti sore mampir ya]
[Iya Bunda, pasti dong. Kan mau kangen-kangenan dulu. Beberapa hari kita gak akan ketemu, aku pasti kangen sama kamu]
[Ayah lebay ih, kayak anak muda aja]
Tak kuasa Nirmala meneruskan isi pesan antara suaminya dengan kontak bernama “Bunda Alea” matanya memanas, dadanya bergumuruh, ia jauhkan ponsel itu dan kembali dalam dekapan Kakaknya, tangisnya pecah. Bak di sambar petir disiang bolong meluluh lantahkan semuanya itulah yang dirasakan Nirmala.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (32)

  • avatar
    RismanDede

    bgs

    19/06/2023

      0
  • avatar
    Dewi27Anggita

    bgus ceritanya

    05/04/2023

      0
  • avatar
    WardanaWisnu

    sangat menarik

    10/02/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด