logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Air Mata Sally

Air Mata Sally

Shalys Chan


1. Perjodohan

Jam menunjukkan pukul 01.00 WIB. Sudah lewat tengah malam, tapi ia masih saja terjaga. Sally gelisah dalam tidurnya, jauh dari kata nyenyak. Berkali-kali mencoba ganti posisi, tapi kantuk masih belum juga menghampiri.
Pikirannya sedikit terbang pada kejadian tadi pagi, saat sang ibu berkata ingin menjodohkannya pada dengan pria pilihan ayahnya.
"Namanya Raffi. Besok mereka akan ke sini bersama keluarganya. Mama percaya, kamu tidak pernah mengecewakan kami."
Begitulah kalimat penutup dari Airin -ibunya Sally-, ia hanya menginformasi, tanpa menerima interupsi sang pemilik hati. Terlihat egois memang. Tapi Sally tahu, semua yang keluarganya lakukan, pasti demi kebaikan.
Ia bangkit dari ranjang, memilih duduk di depan meja rias. Dipandangi wajah ayunya lewat pantulan cermin, sambil sesekali mengusap pipi yang terlihat sedikit berisi.
"Apa aku terlalu jelek? Apa umurku terlalu tua sampai harus menikah dengan cara dijodohkan?" ucap Sally bermonolog.
Selama ini ia selalu mengikuti kemauan keluarganya. Bukan ia tidak dibebaskan untuk memilih jalan hidup sendiri, tapi lebih pada menjaga sang putri dari rusaknya duniawi. Ia tetap bisa mengutarakan keinginannya pada keluarga, selama itu masih pada garis yang benar. Seperti saat ia ingin mendirikan butik syar'i impiannya. Semua keluarga mendukung, dan impiannya terealisasi.
Malam semakin larut, pikirannya pun semakin kalut. Sebenarnya kejadian seperti ini sudah bukan hal baru lagi, sejak kecil sampai berusia 23 tahun hidupnya selalu diarahkan. Tapi kenapa baru kali ini ia begitu tersiksa dengan pilihan keluarga?
Ia putuskan untuk mengambil susu dingin di lemari es. Sepertinya susu dingin akan mampu mendinginkan pikiran dan hatinya. Menurut tulisan yang pernah ia baca, manfaat susu dingin juga dapat membuat tidur semakin nyenyak. Meski ia belum bisa tidur, tidak ada salahnya ia mencoba.
***
"Sally, bangun. Sudah subuh, Nak."
Ketukan pintu dan panggilan Airin begitu mengusik tidur yang sedang nyenyak-nyenyaknya. Tidak tahukan sang ibu jika ia baru saja tertidur dua jam yang lalu?
"Sally ...."
"Hhmmm," sahut Sally dengan nada malasnya.
"Eeh, siapa yang ngajarin begitu? Ayo bangung."
"Iya, Bund." Dengan mata yang masih belum melek sempurna, ia berjalan membukakan pintu.
"Mandi dan wudhu, sana. Bunda dan Ayah tunggu di mushala." Tentu saja yang Airin maksud adalah mushola rumah. Berjamaah bersama keluarga di rumah lebih efisien daripada harus keluar ke masjid. Toh pahalanya juga sama-sama 27 derajat.
Benar saja, Sally segera mandi, mengambil air wudhu dan sholat subuh berjamaah bersama ayah dan bundanya.
***
Belum jam delapan, tapi makanan sudah tersaji sempurna di ruang tamu. Di dapur juga masih ada beberapa kue, makanan dan hidangan penutup yang belum sempat dihidangkan.
"Makanan segini banyak, buat apa, sih, Bunda? Mubadzir."
Sally sedikit memprotes acara Airin. Yang ia tahu, Tuhan tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan. Kalaupun ada acara lamaran, kenapa tidak sekadarnya saja?
"Kamu ini gimana, sih? Calon suami beserta keluarganya mau datang, masih juga nanya," celetuk Nayra, kakak Sally.
Nayra ini sudah berkeluarga. Ia mempunyai 2 anak dari hasil pernikahannya.
"Ya nggak harus kayak gini juga, kan, Kak?"
Airin yang melihat perdebatan kecil putrinya hanya tersenyum tanpa berniat melerai. Baginya, ini adalah hiburan gratis tersendiri di sela masa tuanya.
"Bund, nih anak belum siap nikah kayaknya. Urusan begini aja pake protes. Nanti kalau suaminya minta jatah terus dia protes, gimana?" goda Nayra.
"Apaan, sih, Kak. Gini-gini aku juga udah khatam ngaji Qurrotul 'Uyun, Fathul Izar, Fathul --"
Belum sempat Sally menuntaskan cerocosannya, Nayra sudah menimpali, "Fathul Adi?"
"Yeee ... itu mah suami Kakak."
Gelak tawa pun tak terbendung, suasana bahagia sangat kentara di antara mereka. Hanya saja mereka tidak tahu, hati Sally tak sebahagia wajahnya. Jiwanya masih ingin bebas. Ia belum mau terkekang dengan dengan peliknya masalah rumah tangga.
"Sudah ... sudah. Jangan goda terus Sally-nya," ucap sang ibu menengahi. "Sally, benar jika berlebih-lebihan itu tidak boleh. Tapi yang kita lakukan ini adalah sebagai bentuk dalam memuliakan tamu. Dan itu hukumnya wajib."
"Sebanyak ini?" tanya Sally dengan mengedarkan pandangan ke semua penjuru dapur.
"Memangnya kenapa? Tidak akan ada yang mubadzir. Semua makanan ini tahan lama dan layak dimakan. Kalaupun tersisa, bisa kita sumbangkan."
Jika Airin sudah berorasi, Sally hanya bisa diam dan menerima. Ia memang tipe orang yang sedikit ngeyel, tapi tidak pernah membangkang orang tua.
"Nanti kalau Raffi dan keluarganya datang, kamu suguhin minumannya, ya." Airin menunjuk tatanan gelas yang sudah berisi air berwarna orange.
"Lha kenapa nggak ditaruh meja sekarang aja?" protes Sally.
"Udah, jangan banyak nanya." Lagi-lagi, Nayra menyambar dengan gaya bar-barnya.
***
Saat yang dinanti telah tiba. Rombongan Raffi dan keluarganya sudah berada di rumah Sally. Mereka duduk di ruang tamu ditemani Airin, Hikam (Ayah Sally) dan Adi, suami Nayra.
"Silakan dicicipi." Airin mencoba berbasa-basi.
Tidak lama, Sally datang membawa nampan berisi minuman seperti yang diperintahkan Airin. Ia menata minuman tersebut di meja.
"Ini?" tanya ibunya Raffi dengan suara berbisik, sambil melirik Sally.
Airin menjawabnya dengan anggukan penuh senyum.
"Cantik."
***
"Tumben jam segini baru dateng!" ucap Bella, teman sekaligus pegawai butik Sally.
Heran saja, biasanya temannya ini selalu datang pagi-pagi sebelum ia sampai. Tapi hari ini, Sally datang terlambat. Bukan terlambat lagi, bahkan sebetar lagi sudah mau tutup.
Tadi, setelah semuanya selesai, ia langsung memacu mobil maticnya menuju butik. Airin sempat melarang, dengan alasan 'sebentar' akhirnya Sally bisa keluar juga.
"Kacau!" jawab Sally.
"Kacau kenapa?"
Sally menyandarkan tubuhnya di sofa, terlihat sangat lelah. Dengan tarikan napas panjang ia menjawab, "Aku dijodohkan."
Hening sejenak. Beberapa detik kemudian tawa Bella jebol, membuat Selly berdecak sebal.
"Ada yang lucu?"
"Sos--sory."
Bella pun mengubah ekspresinya menjadi sedikit serius, melihat lawan bicaranya seperti sedang tidak bercanda.
"Kamu beneran dijodohkan?"
"Hm." Ditangkupkan kedua tangannya ke muka, tanda frustasi.
Bella beranjak, mengambil minuman untuk sahabatnya.
"Minumlah. Biar sedikit lebih tenang."
"Makasih."
Keduanya sama-sama diam, sebelum pertanyaan Bella kembali menyapa, "Sudah tahu penampakannya?"
"Kamu pikir hantu?"
"Ya maksudnya, sudah pernah ketemu orangnya?"
"Hm. Tadi pagi. Mereka ke rumah tadi pagi," jawab Sally lemas.
"Wah, cepet juga, ya"
"Hm."
Sally mulai menitikan air mata. Entah apa yang sedang ia tangisi.
"Udah, dong, jangan sedih. Lagian kamu juga nggak punya pacar, kan?"
"Hm."
Bella memeluk erat sahabatnya, menyalurkan sebuah kekuatan yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang.
"Yakinlah, semua akan baik-baik saja. Jika menurut Om dan Tante dia baik, pasti faktanya juga demikian."
"Iya, Bel. Semoga saja." Kali ini jawaban Sally bukan sekadar 'Hm'.
"Eh, dia ganteng, nggak?" goda Bella.
"Iya," jawab Sally spontan, membuat Bella kembali cekikikan.
"Desar, Sally!"
=====
Shalys Chan
www.shalyschan.com
=====

หนังสือแสดงความคิดเห็น (63)

  • avatar
    LinataSelvi

    sangat bagus

    10h

      0
  • avatar
    SiwokOland

    tidak membuat bosan karena ada sisi lucunya

    13d

      0
  • avatar
    Kadek

    sangat bagus

    17d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด