logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

DIBLOKIR SUAMI_5

#DIBLOKIR SUAMI_5
"Kok, teleponnya tiba-tiba putus?" tanya Mas Didi saat ia meneleponku lagi.
"Oh, i-iya, Mas. Tadi kepencet nggak sengaja." Lagi dan lagi aku beralasan yang menurutku masuk akal.
"Oh, iya, nggak papa. Oiya, Mir, tadi sepertinya ada suara anak kecil panggil Mama?"
Benar dugaanku, Mas Didi tadi pasti mendengar suara Rasya. Aku harus tenang agar kegugupanku tidak terasa oleh Mas Didi.
"Namanya juga di luar, Mas. Banyak orang, dong." Aku berusaha melepaskan tawa agar tidak tegang. Untung Mas Didi menerima alasanku.
Selepas ngobrol bareng Mas Didi, kembali aku menemui Rasya di kamarnya. Kemudian mengajaknya makan siang bersama.
"Ma, hari Minggu besok aku pengin jalan-jalan sama Mama dan Papa, dong. Papa mau nggak, ya, Ma?" tanya Rasya di sela makan siang kami.
Aku mendongakkan wajah, menatap Rasya—putriku. Sudah lama memang kami tidak lagi jalan bersama seperti dulu. Semua berubah ketika Mas Didi naik jabatan di kantornya dan mulai sering lembur.
"Ma, kok, bengong?" Rasya membuyarkan lamunanku.
"Ah, nanti kita tanya Papa, ya, Nak. Sudah lanjutkan makanmu, setelah itu kamu tidur siang! Mama mau ke kamar dulu." Rasya hanya mengangguk sambil menatapku beranjak pergi.
Sementara itu aku kembali merenungi tentang perjalanan rumah tangga bersama Mas Didi. Sebelas tahun sudah aku dan Mas Didi menjalani suka duka. Selama itu pula belum pernah sekali pun Mas Didi berkhianat kepadaku. Perlakuan Mas Didi selalu saja manis. Ia juga sangat menyayangi aku dan Rasya. Tak pernah sedikit pun aku berpikir bahwa Mas Didi akan menyakiti hatiku. Akan tetapi harapan tak seindah kenyataan. Pada akhirnya Mas Didi ketahuan belangnya. Ia berselingkuh di belakangku.
Aku meraih ponsel jadul milikku. Berencana mengirimkan SMS pada Mas Didi. Biasanya dulu aku dan Mas Didi saling bertukar kabar saat ia sedang istirahat kerja. Namun, dua tahun belakangan ini rutinitas itu jarang sekali ia lakukan. Bahkan nyaris tidak pernah. Berbagai alasan Mas Didi katakan bahwa ia tidak sempat mengirim SMS kepadaku. Awalnya aku bisa menerima dan percaya. Tetapi setelah aku melihat dan tahu semua kelakuan Mas Didi, kepercayaan yang awalnya utuh kini mulai pudar.
💔💔💔
Menjelang isya Mas Didi baru saja pulang. Biasanya dulu Mas Didi selalu pulang tepat waktu pukul empat sore. Tetapi semua berubah ketika ia naik jabatan. Lagi dan lagi alasan sama yang ia ucapkan, banyak rapat dadakan di kantor.
"Mas, mau makan dulu apa mau mandi dulu?" tanyaku pada Mas Didi yang menjatuhkan bobot tubuhnya ke kursi depan televisi.
"Aku sudah kenyang. Kamu dan Rasya saja, ya, yang makan!" ucap Mas Didi tanpa rasa bersalah. Tak biasanya Mas Didi makan di luar. Meski kadang ia ada acara dan makan di luar, di rumah pun Mas Didi selalu mencicipi masakanku walau sedikit. Katanya ia berusaha untuk mengejar apa yang sudah kukerjakan
"Oiya, sebentar lagi aku akan bertemu klien, kamu nggak usah nunggu aku pulang. Aku bawa kunci cadangan," imbuh Mas Didi di saat aku masih merasakan sakit hati karenanya.
"Mas, kenapa kamu akhir-akhir ini berubah?" tanyaku basa-basi.
Mas Didi mengalihkan pandangannya kepadaku. Tampak keningnya berkerut. Kemudian, ia membenarkan posisi duduknya lebih menghadap ke arahku.
"Maksudnya? Berubah gimana, sih?" tanya Mas Didi balik.
"Ya, banyak sekali perubahanmu yang aku rasakan. Kamu sering telat pulang, nggak pernah lagi meluangkan waktu seperti dulu buat keluarga." Sebisa mungkin aku mengungkapkan apa yang aku rasakan.
Dasar orang kalau berselingkuh, ada saja cara mengelak dan menutup kebusukannya.
"Aku ini kerja, Ma! Cari uang buat kamu dan Rasya. Seharusnya kamu bersyukur, dong, punya suami giat bekerja."
💔💔💔
Satu jam kemudian Mas Didi telah pergi meninggalkan rumah tanpa berpamitan kembali kepadaku. Sepertinya Mas Didi tersinggung atas apa yang sudah aku ucapkan kepadanya.
Biarkan saja apa maunya. Sekarang aku akan memberi kebebasan. Namun, nanti aku pastikan Mas Didi akan menyesal telah berbuat sesuatu hal yang bodoh.
Sambil berbaring di kasur, aku kembali berselancar di dunia maya. Baru saja membuka aplikasi biru mataku terbelalak melihat foto unggahan Mas Didi lima belas menit lalu.
Sebuah cincin berlian dengan kata-kata hadiah spesial untuk yang tersayang. Entah untuk siapa cincin berlian itu, yang jelas selama sebelas tahun pernikahan, Mas Didi belum pernah menghadiahkan benda seistimewa itu kepadaku.
Hatiku berdebar kencang menanti kepulangan Mas Didi. Aku berharap cincin berlian itu memang akan diberikan Mas Didi kepadaku.
Entah sudah berapa lama aku terlelap. Aku terbangun saat mendengar suara petir menggelegar. Jam di kamarku menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Berarti sudah sangat lama aku tertidur dari Mas Didi pergi tadi. Namun, hingga sepagi buta ini, ranjang sebelahku masih kosong.
Keadaan rumah tampak sepi. Aku menyusuri setiap ruangan mencari keberadaan suamiku. Siapa tahu ia sedang tidur di kamar Rasya atau sedang ke dapur sekadar mengambil air minum. Memang kebiasaan Mas Didi, jika terbangun tengah malam, ia sering sekali pergi ke dapur mengambil air. Apalagi saat cuaca panas. Mas Didi selalu membawa air minum ke kamar tidur kami.
Baru saja aku melangkahkan kaki hendak masuk ke kamar Rasya, terdengar suara dengkuran halus mirip seperti dengkuran Mas Didi. Maka kuurungkan niat masuk ke kamar Rasya. Benar saja, Mas Didi tertidur di kursi ruang tamu. Tampak gurat lelah di wajah lelaki yang telah menjadi imamku. Ada rasa iba di dalam hati melihat Mas Didi seperti itu. Namun, semua yang kulihat dengan mata kepalaku tidak mengurangi rasa benciku terhadap lelaki yang berstatus sebagai Ayah dari anakku.
"Kenapa kamu tega sama aku, Mas? Terutama sama Rasya. Dia masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan ini. Kamu tega berkata pada wanita lain bahwa statusmu duda tanpa anak!"
Kembali aku tergugu ketika mengingat ucapan Mas Didi saat kami berkomunikasi lewat telepon. Tanpa rasa bersalah sedikit pun Mas Didi mengatakan bahwa ia belum memiliki anak.
Tangisku mendadak reda saat melihat ponsel Mas Didi berkedip. Ternyata ada panggilan masuk di sana. Namun, nama yang tertera membuat hatiku semakin tak keruan. Haruskah aku terima telepon dari Tejo? Agar aku tahu siapa sebenarnya di balik kontak bernama Tejo tersebut.
Aku terus menatap wajah Mas Didi. Sepertinya ia benar-benar pulas. Dengan tangan gemetar aku meraih ponsel Mas Didi. Kemudian menggeser layarnya menerima telepon dari Tejo.
"Halo, Mas! Ke mana aja, sih, kok, lama jawab teleponnya? Pasti lagi tidur sama perempuan nggak berguna itu kan?"
Deg!
Jantungku terasa seperti berhenti berdetak. Ternyata nama kontak Tejo di ponsel Mas Didi seorang wanita. Bisa-bisanya Mas Didi berbuat demikian? Dan, apa yang sudah Mas Didi katakan pada wanita bernama Tejo KW itu tentang aku istrinya? Sehingga Tejo KW bisa menilaiku sebegai perempuan nggak berguna?
Next ....

หนังสือแสดงความคิดเห็น (95)

  • avatar
    DroopNoo

    bagus

    14d

      0
  • avatar
    RifandiAch

    sangat bagus dan nyaman

    08/08

      0
  • avatar
    HarsonoToto

    mantapp

    23/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด