logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Part 5

Madu di Pernikahan Kedua
#balasan_cantikku_sang_mantan_janda
🌟🌟🌟
"Ribut apaan sih, Bu. Ganggu orang lagi tidur aja." suara Nini menggema protes, mungkin tidurnya yang masih lelap terusik.
Umurnya saja yang sudah dewasa, tapi tingkahnya seperti bocah kalau tidur masih dibangunin sama ibunya. Aku yakin jika tidak ada keributan mana mungkin mata minus itu akan terjaga. Bisa-bisa dia akan molor sampai waktu Sholat Dhuha abis.
"Itu, kakak ipar kamu yang bikin ribut. Dia maksa Bendu buat ngontrak. Gaji Bendu juga dikuasain."
Feeling ku ibu pasti sedang duduk di ruang tamu.
"Ih, ogah ah punya ipar macam dia. Mana udah pernah jadi janda lagi. 'Kan aku sedari awal emang nggak restuin Mas Bendu nikah sama dia, Bu. Ibu aja tuh yang kasih restu. Apa Bu? Gaji Mas Bendu mau dikuasain sama dia. Dasar matre memang." tuduhnya.
Matre? Kalau aku matre pasti aku mencari lelaki yang lebih kaya akan harta. Dasar pemikiran dangkal, gaji segitu dicerecokin. Apa dia nggak nyadar kalau gaji Mas Bendu cuma sebesar UMR, syukur-syukur lembur bisa dapat tambahan.
Bukannya ingin menyombongkan diri, tapi kalau dibandingin, gajiku di tempat yang lama jauh lebih besar dari Mas Bendu. Posisi terakhirku adalah Supervisor di salah satu perusahaan obat kecantikan.
"Ibu juga terpaksa ngizinin Bendu, Ni. Kamu pikir ibu seneng punya menantu pengangguran kayak dia yang bisanya cuma meras Mas kamu aja. Apalagi mata duitan kayak begitu."
Ya ampun, tuh nenek-nenek dicocolin juga nanti mulutnya pake cabe rawit setan .
Mereka bersahut-sahutan bagai suara mercun yang diledakkan, sungguh membuat telingaku sakit. Ku atur nafas lalu melepasnya perlahan. Berusaha menjaga kewarasan otakku dalam mengontrol emosi meski jantungku semakin berdebar kencang. Mas Bendu melihat lirih padaku.
"Maafkan ibu dan Nini ya, Dik." pintanya berbisik seraya menggenggam erat tangan kananku.
"Maaf katamu, Mas? Dayamu hanya bisa berucap maaf padaku dengan gampangnya karena kamu tidak merasakan betapa teririsnya hatiku dihujat seperti itu." gumamku dalam hati.
Ku lempar senyum tipis pada Mas Bendu, mulutku terkunci untuk mengatakan iya padanya. Bukankah setiap kita punya batas toleransi, manusia mana yang harus diberi toleransi lebih dan manusia mana yang harus diberi pelajaran.
Aku pura-pura terpaku dekat lemari di depan Mas Bendu, akan kubuat dia semakin merasa bersalah padaku atas perlakuan ibu dan adiknya sendiri. Pintu kamar masih terbuka, ketika Mas Bendu hendak menutupnya. Nini datang bagai petir disambar gledek, mendorong paksa.
"Mas, apa-apaan sih pakai ngontrak segala. Kamu jangan manut saja sama istri macam dia, bukannya untung malah bikin rugi. Gaji bulanan juga kamu stor ke dia semua. Buka mata kamu, Mas." erangnya pada Mas Bendu sambil menatapku tajam.
Dia pikir aku takut dengan tatapannya, kalau bisa bakal ku congkel manik-manik matanya yang berwarna hitam pekat itu.
"Udahlah, Ni. Ini urusan rumah tangga Mas, kamu nggak usah ikut campur. Lagian kamu juga sudah dewasa sebentar lagi juga mau nikah katanya dengan Tito. Harusnya kamu giat cari kerjanya biar pas nikah nanti ada tabungan untuk biaya."
"Payah ngomong sama kamu, Mas. Dasar perempuan matre." semburnya sebelum meninggalkan kamarku.
Selepas Nini pergi meninggalkan kamarku, Mas Bendu pun menutup kembali pintu kamar.
Aku ingin sekali tahu kemana Mas Bendu pergi semalam, tapi biarlah ku tahan kekepoan akan itu. Ada hal lain yang penting dibahas.
"Mas, sekarang kebetulan hari Minggu, kita nyari kontrakan yuk siang. Man tauan dapat langsung sesuai keinginan dan harga sesuai kantong." ajakku pada Mas Bendu yang sedang memindahkan bajuku di dalam koper ke lemari, sedangkan aku sedang rebahan santai di atas ranjang.
Bukan berlaku tidak sopan, aku sebagai istri tentu memanfaatkan segala celah yang muncul ke permukaan bumi. Anggap saja kebaikan Mas Bendu seperti itu sebagai tebusan perlakuan ibu dan Nini.
"Apa tidak terlalu cepat kalau nyari sekarang, Dik?" tanyanya lalu menatapku mengharap iba.
"Oh tidak bisa Mas. Aku mau carinya tidak ada tawar menawar lagi. Lagian juga kamu udah gajian. Ibu dan Nini bisa kamu bohongi Mas, tapi tidak padaku.
"Yasudah, nanti siang selepas Sholat Ashar kita cari kontrakannya." jawabannya penuh pasrah.
Sudah kuterka, Mas Bendu pasti sudah gajian dari hari Jumat. Aku sebenarnya sudah curiga ketika dia bilang belum gajian dua hari yang lalu.
Tapi tak apa, nanti juga bakalan ketahuan belangnya jika berbohong denganku.
🌟🌟🌟
"Bu, kami pamit keluar sebentar ya." ujar Mas Bendu."
"Mau kemana kalian emangnya? Kok rapi bener?" tanya ibu penuh curiga.
"Nyari angin aja, Bu." jawabku semringah sengaja berbohong.
"Saya tidak sedang nanya sama kamu, Lio." raut kekesalan semakin bersinar di wajahnya yang sudah senja, tetapi masih suka julid. Aku hanya tersenyum padanya.
"Udah ya, Bu. Bendu pamit dulu." ucap Mas Bendu lagi seraya meraih tangan ibu.
Aku pun ikut meraih tangannya, walaupun aku sudah feeling ibu pasti akan menyentak kasar tangannya.
Dan benar saja, ibu menyentak kasar tangannya ketika kuraih.
🌟🌟🌟
"Aku pamit ya, Bu." tambahku biar hatinya semakin marah padam.
Biar semakin sesak rasa dalam dadanya, kugandengan tangan Mas Bendu ketika kami berjalan ke arah pintu depan.
Tidak ada satupun kata lagi yang keluar dari mulutnya. Jika ada Nini di luar, akupun akan melakukan hal yang sama membuatnya sesak nafas seperti ibu. Rupanya kurang seru, anak bau kencur itu tidak ku temukan batang hidungnya.
Sepertinya berlaku pura-pura lembut seperti ini lebih mengesankan untuk bergelut dengan manusia seperti ibu dan Nini. Tetapi aku memang harus banyak menghela nafas untuk mengontrol emosi supaya tidak terpancing.
Eeiiitttsss, tapi bukan berarti ini akan permanen. Seperti yang aku pernah katakan tentu batasannya pengontrolan emosiku. Jika mereka lebih melunjak, oh tentu aku akan memberi pergelutan yang sebanding.
"Mas, nanti kita cari kontrakannya dekat kantor kamu saja ya. Jadi kamu bisa agak nyantai dikit di pagi hari." ucapku ketika aku sedang memakai helm.
Mas Bendu hanya mengangguk pelan, dilihat dari pancaran ultraviolet yang terpancar dari wajahnya agak murung dan tak bersemangat.
"Kamu masih keberatan, Mas kalau kita ngontrak? Kalau iya, yasudah kita pisah saja. Daripada aku terus dihina dan diinjak sama ibu dan adikmu itu." ucapku pura-pura mengancam, walaupun aku tahu Mas Bendu sedang berada dipihakku.
"Nggak kok, Dik. Udah yah, jangan sebut kata-kata itu lagi ya." jawabnya dengan nada lirih.
Aku memang sengaja, sengaja mengulang kata itu agar dia semakin merasa bersalah padaku.
🌟🌟🌟
"Mas, kita makan bubur ayam dulu yuk. Aku dari kemarin pengen bubur ayam." ajakku pada Mas Bendu.
"Bubur ayam yang dimana, Dik?" tanyanya sambil menunggangi sepeda motor.
"Ya aku nggak tau tempatnya, tapi bukannya kamu pernah bawain aku bubur ayam yang lokasinya nggak jauh dari kantor kamu tuh Mas, aduuh siapa yah nama penjualnya aku nggak ingat."
"Oooo, Bubur Ayam Kang Gogon."
"Haa iyaa, Kang Gogon yaa. Eh pokoknya bubur ayam yang pernah kamu bawa pas kita baru-baru nikah itu lho Mas."
"Ya sudah kita mampir dulu ke sana abis itu baru cari kontrakan."
Entah kenapa hatiku membara bahagia, terbayang dipelupuk mata semangkok bubur ayam yang rasanya lebih syahdu daripada mulut julid mertua dan ipar.
Ini namanya yang tidak rezeki, ternyata bubur ayam Kang Gogon nggak buka. Ada sebuah kertas terpampang di gerobak buburnya "Sedang Pulang Kampung"
Aku terasa ditimpuk reruntuhan batu kerikil, sakit sekujur tubuhku, padahal tadi semangkok bubur ayam sudah terasa diujung lidahku.
"Besok Mas coba mampir ke sini lagi ya, Dik. Siapa tahu Kang Gogonnya udah jualan lagi. Berdoa saja ya." ucap Mas Bendu seraya menenangkanku, mungkin dia melihat wajahku tadi ceria berubah lesu dan diam seribu bahasa.
"Iya, kita lanjut cari kontrakan aja Mas. Biar cepat juga pulangnya, tiba-tiba badanku agak kurang enak." jawabku kesal.
Kami memasuki sebuah gang yang di dalamnya terdapat komplek perumahan. Siapa tahu ada rumah kontrakan yang cocok. Menyisir jalan dari blok 1 sampai blok 4 ada beberapa rumah yang di kontrakan tapi aku nggak srek sama biayanya, ada juga harga cocok tapi fasilitas rumahnya yang kurang memadai.
Ada satu blok lagi yang akan disisir, blok terakhir di gang komplek ini. Aku berharap ada sesuai kriteria yang kucari. Biaya kontrakannya dibayar perbulan, air PDAM, listrik 1300watt, dan juga kalo bisa dua kamar jadi jika ada tamu yang menginap di rumah kamar satunya bisa dipake, tamu yang ku maksud bukan mertua dan ipar. Mana tauan ibu dan sanak saudara ku yang berkunjung ke sini.
"Mas, kamu tengok bagian kiri, aku bagian kanan ya." perintahku, seperti menyisir blok 1 sampai blok 4 tadi. Mas Bendu menunggangi sepeda motor dengan kecepatan pelan sangat pelan.
"Mas, Mas itu tuu ada rumah yang dikontrakanya." tunjukku dengan memukul pundak Mas Bendu pada sebuah rumah petak persegi bercat dinding warna Lilac dengan pagar besi berwarna hitam, terlihat indah dimataku. Ada tulisan "DIKONTRAKAN" yang ditempel pada kaca rumah tersebut.
Mas Bendu pun menghentikan motornya tepat di depan pagar rumah berwarna Lilac itu.
"Coba kamu telfon Mas nomor yang tercantum disitu." serayaku. Pada kertas yang ditempel tertulis juga nomor handphone mungkin itu nomor pemilik rumah ini.
Setelah sekitar lebih kurang setengah jam Mas Bendu berbicara dengan pemilik rumah melalui sambungan telfon, akhirnya kami 'DEAL' untuk mengontrak rumah tersebut. Entah kebetulan entah ini yang namanya rezeki semua kriteria kami cari cocok dengan pemilik rumah. Aku tentu tidak berpikir lama, langsung bungkus pastinya, dan Mas Bendu akan janjian bertemu dengan pemilik rumah.
Aku dan Mas Bendu memutuskan untuk langsung pulang ke rumah apalagi kami berdua belum Sholat Ashar. Ketika memasuki halaman rumah ada sebuah mobil Honda Jazz berwarna biru metalik terparkir.
Hatiku sedikit bertanya-tanya, siapa tamu yang sedang berkunjung ke rumah ibu. Pasalnya selama aku tinggal di sini belum pernah ada tamu yang datang, kecuali undangan syukuran kecil-kecilan yang diadakan pasca seminggu kami menikah.
"Mas, itu mobil siapa?" tanyaku pada Mas Bendu, siapa tahu dia kenal atau mungkin ada kerabatnya yang datang.
"Euumm, nggak, nggak tahu juga Mas, Dik." jawabnya terbata. Ku perhatikan dengan seksama wajah yang memiliki seuprit bulu-bulu halus pada bagian dagunya itu tampak gelisah, seperti orang yang sedang takut kepergok akan sesuatu hal.
Aku melangkah pelan memasuki rumah, tapi sampai di ambang pintu mataku terfokus pada sepatu high heels berwarna kuning emas, melihat tumit sepatu yang begitu runcing membuat gigiku terasa ngilu.
"Assalamualaikum." sahutku memasuki rumah.
Di ruang tamu ada ibu, Nini, dan seorang perempuan berambut coklat lurus, cantik. Itu yang muncul dibenakku ketika melihatnya.
Hmm, siapa ya perempuan di rumah mertua Liodra?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (51)

  • avatar
    NoepRoslin

    👍👍👍

    08/01

      0
  • avatar
    Nur Ashikin Nasir

    hmm itsokay

    13/07/2023

      0
  • avatar
    MohamadNazlia

    terbaik

    01/04/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด