logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

05

Mata pelajaran pertama kelas X IPA-2 hari ini adalah olahraga. Dan wajah Kanaya yang seputih susu itu kian terlihat memerah ketika dijemur di bawah terik matahari, berpeluh-peluh yang menuruni pelipisnya membuat anak rambut menempel di mukanya.
Olahraga, itulah kelemahan Kanaya. Dia selalu mendapat nilai jelek di bidang ini dari SMP. Entah itu saat ujian maupun praktik langsung di lapangan. Makanya, tak heran jika nilai di raportnya selalu pas KKM, alias kriteria ketuntasan minimal.
"Aduhh.. panas banget sih,"
Untuk kesekian kali, Kanaya terus mengeluh. Sambil lari kesana-kesini ikut mengejar bola basket tapi tidak kunjung mendapatkan. Lain hal-nya dengan Elsha yang sering mendapat umpan dari teman satu timnya dan begitu cekatan nan energic membawa lari bola basket itu sambil mendribble.
Gesit.
Rambut pirangnya yang dikuncir kuda bergoyang ke kanan dan ke kiri, Elsha terlihat cantik meski napasnya sudah ngos-ngosan. Dan, dalam sekali tembakan, dia berhasil memasukkan bola itu ke dalam ring.
Mulus.
"Wooooo!"
"Suit-suit!"
"Elsha keren!"
Rame dan heboh. Elsha mendapat berbagai sorakan dari para cowok yang asik duduk lesehan di pinggir lapangan. Pun diiringi tepuk tangan meriah dan siulan-siulan menggoda. Elsha menanggapinya hanya dengan senyuman kecil, sambil bertos-ria dengan kawan-kawan satu tim.
"Cielah! Yang lulusan kelas olahraga SMP 1! Empat jempol deh!"
Karenina Fauziah--atau kerap disapa Nina, yang semalem berdebat dengan Haikal di kolom komentar Instagram Kanaya--menyenggol lengan Elsha sambil mengerlingkan matanya jahil.
"Apaan si lo!" Elsha tertawa kecil karenanya. "..udah ayo maen lagi!"
Persis. Peluit terdengar melengking, pertandingan dimulai lagi, diawali dengan jumpball. Dan Kanaya masih sama seperti tadi, hanya ikut-ikut lari sambil pasang tampang ogah-ogahan, mengikuti kemana bola basket itu diperebutkan teman-temannya.
"HEH! OPER KEK BOLANYA KE GUE SEKALI AJA! MASA CUMA GUE DARI TADI YANG BELOM PEGANG BOLA!"
Tiba-tiba saja Kanaya meneriakkan uneg-uneg di kepalanya, dengan tangan memegang lutut dan napas menderu-deru saat langkahnya berhenti di pinggir lapangan.
Sialnya, tidak ada yang menggubris. Satupun. Semua sibuk berebut bola basket itu dan saling melempar. Kecuali sorakan 'huuuuuuu' dari para cowok. Membuat wajahnya semakin ditekuk super cemberut.
"Hadeehh.. Naya.. Naya.."
Pak Agus--sang guru, beberapa kali berdecak sambil menggeleng dengan senyum geli melihat Kanaya dari menit ke menit sama sekali tidak ada perkembangan. Di saat yang sama, di pagar pembatas lantai dua terdapat segelintir siswa yang menonton.
Andika, salah satunya.
Yang sedari tadi senyum-senyum sendiri saat memperhatikan Kanaya. Hingga kini, pandangan Kanaya tak sengaja menangkapnya. Dan, seketika mata mereka bertemu pada satu titik. Waktu seakan dihentikan tiba-tiba.
Area pipi dan punggung Kanaya menghangat, mengingat chatting semalam dan sekarang Andika melambaikan tangan di atas sana. Seakan membius waktu, Kanaya dibuat mematung melihat Andika.
"Semangat!" Dan, di sana Andika mengangkat kepalan tangannya ke udara. Disusul tepuk tangan sendiri.
Begitu fokus, Kanaya sampai tidak sadar ada bola melayang ke arahnya.
"Tangkep, Nay!"
Itu suara Elsha. Tapi Kanaya belum sempat mengumpulkan kesadaran. Tau-tau bola itu sudah tiba di depan mukanya, dan menghantam dahinya keras-keras. Sampai Kanaya ambruk, pusing tujuh keliling. Mungkin jika di film-film, ada bintang-bintang berwarna kuning yang berputar mengelilingi kepala Kanaya.
"Awhh,"
Semua terperangah melihatnya, terutama Elsha yang panik kini buru-buru menghampiri. "Naya!"
Untungnya, tidak pingsan. Tapi dia langsung dipapah beberapa orang teman menuju kelas. Kanaya hanya bisa memejamkan mata merasakan cenat-cenut di kepala, sampai pantatnya terduduk di kursi, dan salah seorang teman membawakan minyak kayu putih dari tasnya.
"Naya lo gak papa kan? Kepala lo baik-baik aja kan? Gak ada yang geser kan? Sori banget ya, gue tadi niatnya mau ngoperin elo tapi elonya malah gak siap." Elsha baru saja ingin mengoleskan minyak itu, tapi Kanaya langsung menahannya.
"Gue gak suka baunya, malah tambah pusing."
"Sedikit aja, biar baikan."
"Gausah, Elsha."
Keras kepala. Elsha menghela napas dan menutup kembali botol kecil itu lalu mengembalikan pada Nina.
"Ini nih, akibatnya kalau tidak fokus." Celetuk Pak Agus, yang juga ikut mengerubungi bangku Kanaya.
Kanaya hanya diam dan memijat kepala, sementara Elsha dengan perhatian lalu memberi botol minum berisi air putih yang tadi diambilnya dari tas, lalu membantu memegangi saat Kanaya meneguknya sedikit.
"Memangnya ada apa pak?"
"Itu.. Kanaya tadi tatap-tatapan sama kakak kelas kalian, saya juga kurang tau sama cowoknya yang mana. Soalnya orangnya langsung pergi."
Spontan, air menyembur keluar dari mulut Kanaya, dengan mata melotot ke arah pak Agus. Tidak menyangka guru itu ternyata melihatnya. Teman-teman Kanaya langsung menyoraki, bergidik dan bergerak menjauh.
"Huuuuu! Jorok banget si, Nay!"
"Muncrat ke baju gue anjir Naya!"
Lain halnya dengan Elsha yang justru matanya memincing penuh selidik, sambil memandang Kanaya yang mengelap basah di bibirnya dengan gusar. "Elo tatap-tatapan? Sama siapa, Nay? Apa kak Irsyad?"
"Yaelah, Nay! Udah putus juga lagian, mau ngapain lagi si ah elaaah,"
"Iye, mantan tuh sebaiknya dibuang pada tempatnya, bukan lo harepin."
"Pasti die baper tuh diliatin, makanya jadi kaga fokus tadi maen basketnya!"
"Move on, Nay! Move on! Ihh gemes deh gue lama-lama sama lo!"
Kanaya dihakimi. Padahal ia juga tidak melihat batang hidung Irsyad.
Hening beberapa saat, tak ada satu kata pun keluar dari mulut Kanaya. Sambil meremas celana olahraga, dia hanya tertunduk. Menyembunyikan wajahnya yang memerah padam. Dan, pak Agus bisa memahami apa yang sedang terjadi padanya. Malu.
"Sudah.. sudah.. waktunya masih empat puluh menit! Biarkan Naya istirahat, jangan diganggu. Sekarang giliran laki-laki yang bertanding."
"Woke pak! Meluncur!"
"Pak! Yang cewek main badminton!"
"Gue pengen voli! Voli boleh pak?"
"Asal alat-alatnya dikembalikan lagi ke tempat semula, silahkan digunakan."
"Pak, kalo jajan sebentar boleh gak?"
"Huuuuuuuuu! Kerjaan lo makan mulu lo tapi gak gede-gede!"
Berbondong-bondong mereka berjalan keluar meninggalkan kelas, meninggalkan Kanaya dan Elsha di bangku barisan ke-dua dari depan. Sepi, samar-samar yang terdengar hanya suara lantang guru yang sedang mengajar di kelas sebelah.
"Nay, lo gak liat ini gue udah kemaks.. a.k.a kepo maksimal?"
Alih-alih menjawab, Kanaya malah menyenderkan kepala di sandaran kursi dan memejamkan mata. "Pusing gue, El, gausah dibahas lagi lah gak penting. Lo lanjut olahraga aja sana, katanya pengen jadi atlet nasional?"
"Sialan lo, Nay, ah gak asik!"
Elsha keluar. Lengkap, sekarang Kanaya sendirian di kelas. Disaat pening menggerogoti kepala, dia malah terbayang-bayang Andika. Sungguh. Demi apapun Kanaya masih tidak percaya dengan tawaran Andika semalam; dibantuin move on.
Karena sejujurnya, hati Kanaya seutuhnya masih atas nama Irsyad. Rasa sayang dan cinta yang mungkin sudah terlalu mendarah daging pada cowok itu, membuat Kanaya enggan rasanya untuk berpaling. Dalam artian Kanaya masih berharap.
"Ya Tuhan.. kasih Naya petunjuk.. Naya harus gimana.."
Jam dinding menunjuk pukul delapan kurang sepuluh. Dari pada hanya diam di kelas, Kanaya memilih bangkit dan pergi ke loker untuk mengambil baju OSISnya. Sesekali meringis mengusap-usap dahinya yang malang. Untung tidak benjol.
Tapi, di satu koridor Kanaya tidak sengaja bertemu dengan Andika. Persis, cowok itu baru saja tiba di anak tangga paling bawah. Anehnya kaki Kanaya langsung mengerem, dan napasnya seoalah terhenti saat bertemu dengan mata elangnya.
"Naya, lo gak papa kan?"
Lima langkah Andika kian lebih mendekat, Kanaya seperti dibuat mabuk kepayang menghirup aroma parfum lelaki di baju seragamnya. Mengejutkan lagi ketika tangan kekar Andika tergerak untuk mengusap pelan dahi Kanaya yang membiru.
"Aww," tepat di situlah sakitnya. Ringisan Kanaya mampu mengusir tangan Andika cepat-cepat.
"Eh.. sori sori.."
Kanaya hanya tersenyum kecut. Setelahnya, mereka salah tingkah. Beruntung sekitar koridor itu sepi, karena masih jam pelajaran. Kecuali kelas Andika, yang kebetulan saja mendapat jam kosong. Karena guru yang bersangkutan sedang diklat.
"Itu.. jidat lo.. gak diobatin?" Andika mengarahkan telunjuk ke dahinya sendiri. "..memar gitu loh,"
"Enggak, ini gak papa kok. cuma ketimpuk bola doang."
"Yakin?"
"Iya, cuma pusing dikit aja."
"Terus sekarang lo mau kemana?"
Kanaya berdehem pelan. "Ganti baju."
"Ohh.. yaudah." dan kehadiarannya memang mengganggu, Andika cukup tau diri. Tapi, baru saja ingin berlalu pergi, Kanaya langsung berbalik dan memanggilnya dengan ragu-ragu.
"K--kak! Kak Dika!"
Kanaya menggigit bibir. Memang, ia ingin menanyakan soal DM semalam, tapi sekarang lidah rasanya kelu dan mendadak perut mulas. Berhadapan dengan cowok bernama Andika, Kanaya baru tahu sensasinya.
"Iya?"
"Gue.. gue boleh ngomong sebentar gak?" Kanaya mengusap tengkuk. "..soal, yang lo bilang semalem. Tapi gak di sini, kita ke taman depan aja ya?"
Tidak ada penolakan dari Andika, selain anggukan kecil. Sebelum akhirnya mempersilahkan Kanaya untuk berjalan terlebih dahulu menuju taman sekolah, disusul Andika mengekor di belakang.
Seakan menjadikan dirinya sebagai sosok pengawal untuk Kanaya. Tapi seperti itulah salah satu pencerminan cowok gantle, menurut Andika.
Ini saatnya Andika menanggung malu. Ketika mereka duduk bersama dan berhadapan di bangku beton itu. Kanaya sempat menarik napas dalam-dalam sebelum membuka suara.
"Kak, jadi gini.. soal DM lo yang semalem, sebenernya maksud lo gimana sih? Gue masih gak ngerti. Lo mau bantuin gue move on? Itu beneran?" tanyanya hati-hati.
".. kak Dika katanya belum pernah pacaran kan? Berarti, kak Dika juga belum pernah deketin cewek dong? Dan, sekarang.. kak Dika punya niat mau bantuin gue move on. Yang jadi pertanyaan gue, emang kak Dika ada alesan apa sampe mau repot-repot ngelakuin itu? Padahal, gue kan bukan siapa-siapanya kak Dika? Cuma adek kelas doang,"
Andika diam seribu bahasa. Akibat terlalu gercep--alias gerak cepet, Kanaya langsung menodongnya dengan pertanyaan pamungkas. Kini cewek itu mengerjap saat menatap Andika, sambil menunggu jawaban.
"Y--ya gitu, duh gimana ya gue ngomongnya?" gugup sendiri, Andika menggaruk belakang kepala. "..sebelumnya ya gue minta maaf Nay, kalo gue terlalu lancang, tapi.. gue kemarin udah bilang kan sama lo, gue gak bisa liat cewek patah hati."
Andika lalu menghela napas sejenak. ".. emang, gue selama ini belum pernah deketin cewek. Cuma, malem itu Irsyad mutusin elo tuh bener-bener di depan mata gue Nay. Sadis banget, sampe-sampe gatau kenapa gue bisa ikut ngerasain apa yang lo rasain. Jadi.. sekarang gue kalo liat lo murung tuh.. kasian aja bawaannya."
"Terus?" Desak Kanaya.
"Iya kaya yang gue bilang semalem, gue cuma pengen.. sebatas.. bantuin doang, iya bantuin lo move on dari Irsyad. Udah itu aja." ujar Andika dengan susah payah menetralisir degupan keras di jantungnya.
"Dengan cara gue deket sama lo?" Tembak Kanaya. ".. emang kak Dika gak takut sama resikonya?"
"Maksud lo?"
Sepertinya Kanaya harus lebih sabar.
"Kak, gini ya.. oke, gue menghargai niat baik lo. Tapi sekarang, perasaan gue sama kak Icad masih utuh, gak berubah. Dan, kalo lo mau masuk ke kehidupan gue, bantuin gue move on.. gue takut jatohnya ntar malah.. lo bakal cuma jadi pelarian gue kak. Ya gue gak mau kalo itu sampe terjadi, gue gak mau nyakitin hati orang."
Kening Andika berkerut-kerut saat menyimak tutur kata itu. Hingga sedetik kemudian terbit cengiran kecil di bibirnya. "Jadi lo mikir kalo.. gue bakalan gagal bikin lo move on, tapi gue udah jatuh cinta duluan sama lo, terus akhirnya lo nerima cinta gue karena terpaksa, buat pelarian. Gitu yang lo maksud?"
Kanaya cengo.
"Yee! Apaan si kak! Gue kan bilang takutnya, kalo perkara gagal apa berhasil gue move on kan semuanya tergantung sama.. usaha lo." Kanaya mengatupkan bibir sejenak. "Tapi, yang jelas sih, nama kak Icad berasa kaya udah terpatri di hati gue kak. Ya bener juga deng mungkin, apa kata lo tadi. Gue bakalan galon, alias gagal move on."
Tertunduk lesu, Kanaya hanya memainkan jari. Dan, Andika paling tidak suka melihatnya seperti itu.
"Kan.. kan.. galau lagi, ini nih yang berbahaya, Nay. Saat lo lagi down kaya gini, gue takutnya kalo lo sampe kalut gak bisa mikir lagi dan malah berbuat yang engga-engga, yang diluar kendali dan kesadaran lo."
Mungkin ini kali ketiga, Kanaya terkesiap dengan perhatiannya, meskipun itu secara tidak langsung.
"Pokonya, lo gak usah khawatir, ntar gue bakal minta ijin sama Irsyad."
"Ijin? Ijin apa kak?" beo Kanaya dengan tampang-tampang polos.
"Ijin buat bikin lo move on dari dia."
Deg!

หนังสือแสดงความคิดเห็น (66)

  • avatar

    ceritanya bagus kak !!! di tingkatkan lagi kak 💪🏻💪🏻 semangat buat ceritanya kak 😉😉

    26/01/2022

      3
  • avatar
    HasyimMUHAMAD

    sangat baik untuk dibaca

    29d

      0
  • avatar
    AhmadNayip

    bagus

    13/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด