logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 29 Ayah Jahat

Ayah, Jahat!
Selamat Membaca
Mizka tak habis pikir, mengapa ayah begitu jahat padanya. Selama ini, Mizka selalu menuruti segala keinginan ayah meskipun terpaksa. Kehangatan juga kasih sayang ayah telah hilang semenjak mengenal dan menikahi ibu sambungnya, sebelas tahun yang lalu.
“Boleh, mama masuk?” Santi masih berdiri di depan pintu sampai Mizka menoleh.
Mizka diam, ia hanya melirik dan menyeka airmata. Perempuan memakai daster batik itu mendekat dan duduk di samping Mizka.
Santi menepuk pelan pundak anaknya dan berkata, “Mizka tau apa yang membuat ayah begitu?”
Mizka menggeleng. “Ayah, jahat,” lirihnya.
“Mizka ... tidak baik berkata seperti itu. Bagaimanapun ayah hanya ingin membuatmu bahagia.”
“Bahagia? Apa ayah tahu bentuk bahagia itu seperti apa?” Mizka beranjak dari tempat duduknya. “Mizka sudah dewasa, Ma. Mizka berhak menentukan masa depan sendiri,” cecar Mizka.
Santi terkejut ternyata Mizka selama ini memendam kekesalan terhadap ayahnya. “Kalau boleh tahu, apa alasan Mizka tidak mau melanjutkan pendidikan?”
Mizka menghela nafas panjang. “Mizka hanya tidak ingin menyusahkan ayah lagi. Kalau Mizka kuliah, artinya Mizka masih menjadi beban ayah,” lirihnya.
“Eh, tidak betul itu. Ayah tidak pernah mengeluh selama menyekolahkanmu. Justru ayah selalu mendukung pendidikan anak-anaknya. Melanjutkan pendidikan itu kelak membuat masa depanmu terjamin, Nak.”
“Jika saja impian Mizka terwujud, maka Ayah tidak perlu payah lagi menjalankan alat-alat berat itu. Lagipula sekolah bidan itu mahal.”
Sinta tersenyum, anaknya sudah beranjak dewasa. Ia meraih tangan Mizka dan menatapnya dengan sendu. “Tidak ada yang salah dengan impianmu. Namun, utamakan pendidikan supaya masa depan terjamin. Lihatlah, betapa banyak anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan tetapi terkendala biaya. Ayah mendukung Mizka melanjutkan pendidikan karena ia sanggup memenuhi segala kebutuhanmu nanti,” jelas Santi.
Mizka menangis di dalam pelukan mamanya. Tak ada alasan lagi membenci perempuan yang selama ini telah membersamainya, Mizka menyesal telah salah menilai.
“Ayah selalu mengatakan bangga padamu. Ia selalu mencurahkan segala yang terbaik, hanya untuk Mizka.”
Mizka makin mengeratkan pelukannya ketika mendegar suara perempuan itu sedikit bergetar.
***
Akbar memanaskan mobil sambil menunggu Mizka selesai bersiap. Pagi ini, mereka akan berangkat menuju Poltekkes Kemenkes Palembang. Tak lama, Mizka ke luar membawa map plastik berwarna pink.
“Semua berkas sudah siap?” tanya Akbar.
“Iya,” jawab Mizka pelan.
“Ayo, kita berangkat!”
Mizka kemudian menyusul ayahnya masuk ke dalam mobil. Mobil keluaran pabrikan Jepang itu meninggalkan pekarangan rumah.
Akbar sesekali melirik Mizka yang begitu anggun. Gadis itu mengenakan kemeja berwarna kuning dengan celana panjang dan sepatu flat berwarna hitam. Penampilannya begitu cantik persis seperti Diana, almarhumah istrinya.
“Putrinya Ayah cantik sekali,” puji Akbar.
Mizka hanya melirik lalu membuang muka lagi, menatap jalanan yang padat. Kemacetan biasa terjadi pada jam delapan pagi, hiruk pikuk bunyi klakson kendaraan menjadi musik pengiring aktivitas pagi. Banyak pengendara diantaranya anak-anak sekolah dan karyawan seolah mengejar waktu. Mereka yang tak sabar ingin cepat sampai pada tujuan.
Akbar menghibur Mizka dengan cerita-cerita banyolan selama perjalanan. Namun, putrinya sedikitpun tak menghiraukan obrolan itu. Tampaknya Mizka masih marah, Akbar mencoba menyalakan musik dangdut kesukaan anaknya. Awalnya, Mizka tak tertarik tetapi begitu lagu milik Rita Sugiarto diputar tiba-tiba saja Akbar bernyanyi.
Mizka tersenyum sambil melirik ayahnya yang pura-pura tak melihat. Selalu ada saja tingkah ayah yang mampu meluluhkan hatinya. Kali ini, Mizka benar-benar tertawa.
Mobil itu masuk ke persimpangan sebelum melewati RSMH Palembang. Sekitar seratu meter, banyak mobil yang parkir di sepanjang jalan menuju Poltekkes tersebut. Seorang tukang parkir mengarahkan kendaraan dan berhenti sebelum gerbang.
Sekolah yang tampak luas, ada musala di sebelah kiri gedung utama dan juga pohon yang rindang di sekitar lapangan. Akbar dan Mizka berjalan masuk ke sekolah dan menuju meja pendaftaran. Dua orang perempuan yang duduk di meja pendaftaran menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
“Ada yang bisa kami bantu, Pak?”
“Saya mau mendaftarkan anak saya kuliah di sini, Bu.”
“Silahkan isi formulirnya dulu, Pak.”
Perempuan yang memakai baju blazer hitam itu menyodorkan formulir pendaftaran, Akbar menyuruh Mizka mengisi dengan benar dan menyerahkannya kembali. Setelah diberikan penjelasan yang cukup panjang mengenai pembayaran. Seseorang bernama Siska meminta Mizka mengikutinya ke dalam ruangan untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan.
Ruangan yang begitu besar, meja di depan ruangan di susun sesuai nama pemeriksaan. Kursi disusun rapi dan telah ditempati oleh beberapa peserta.
“Mizka, kamu duduk di sini dulu sambil mendengarkan arahan dari panitia.”
“Baik, Bu.”
Seorang gadis bermata sipit tersenyum ke arah Mizka dan menyapanya. Ternyata rumahnya tak jauh dari rumah Mizka. Mereka terlibat obrolan yang cukup panjang, sampai akhirnya obrolan terhenti karena kedatangan seorang lelaki dengan pengeras suara dalam genggamannya.
Mereka harus mengikuti serangkaian tes untuk dapat mengikuti tahap seleksi selanjutnya. Rupanya Mizka baru tahu kalau sekolah ini sangat diminati oleh masyarakat. Peserta yang mendaftar belum tentu diterima langsung sebagai mahasiswi kebidanan.
Calon peserta berbaris, mereka harus melewati galah panjang yang melintang. Peserta yang tingginya tidak mencapai galah tersebut dinyatakan gugur karena tinggi badannya tidak memenuhi syarat. Tentu saja Mizka dapat melewati tes pertama itu karena tingginya mencapai 170 cm.
Mizka maju ke tahapan selanjutnya yaitu tes buta warna, Mizka dapat membaca angka dan juga huruf dengan baik. Peserta tes yang telah melewati serangkaian tes dengan baik dinyatakan lulus tes administrasi dan juga tes kesehatan. Dengan begitu, Mizka dan peserta yang lain masih harus menunggu nomor ujian keluar.
“Hai, akhirnya kita lulus tes kesehatan ya! Eh, ngomong-ngomong namamu siapa?” sapa gadis bermata sipit itu terkekeh.
“Namaku Mizka, kamu?” Mizka menjabat tangan gadis di hadapannya itu.
“Aku Astrid. Aku senang deh, bisa sampai pada tahap ini dan berharap bisa lulus sampai akhirnya diterima menjadi mahasiswi.”
Mizka menatap lekat teman barunya itu. “Kenapa, kamu pengen banget jadi bidan?”
“Ayolah, semua orang juga tau kalo kuliah kebidanan itu mahal. Hanya di sini harapan satu-satunya orang sepertiku bisa menjadi bidan karena biayanya relatif terjangkau.” Gadis itu terdiam sejenak. ”Emakku bilang, kubur saja mimpimu kalo gak lulus di sini.”
Astrid menyeka airmatanya dan berusaha tersenyum. “Kamu beruntung, punya kesempatan lebih besar menjadi bidan.”
Mizka tersenyum kecut. “Kau hanya tidak tahu saja apa impianku sesungguhnya, Astrid,” gumamnya dalam hati.
Mereka berpisah setelah menerima nomor ujian dan bertukar nomor telepon. Mizka menyusul ayah yang telah lama menunggu di teras musala.
“Gimana lulus tes kesehatan, Nak?”
Mizka tersenyum memamerkan nomor ujian. “Iya, dong. Masih beberapa minggu lagi menuju tes lanjutan.”
“Good Job, Cantikku. Ayo kita pulang, hari ini Ayah mau traktir makan sepuasnya.”
“Jangan dong, Yah. Aku enggak mau jadi gendut.” Mizka mengerucutkan bibirnya.
Akbar tersenyum senang karena Mizka menjadi anak baik. Setelah hari ini, ia sangat berharap Mizka menjadi seperti yang ia inginkan.
Bersambung

หนังสือแสดงความคิดเห็น (42)

  • avatar
    EdiCarlos simbolon

    bgs

    6d

      0
  • avatar
    ElepJumani

    saya suka

    30/05/2022

      0
  • avatar
    Muhammad R

    asd

    15/05/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด