logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 Fitnah Buah Salak

“Ya ampun, kasihan kalau kamu sendirian di kampung ini, Cit. Kamu harus kenal dan baik sama tetangga, ya. Kalau ada apa-apa kamu bisa minta tolong sama mereka,” respon ibu mertuanya sambil menoleh kiri-kanan. “Nah, itu di depan rumah kayu itu ada ibu-ibu lagi nyapu halaman. Kamu kenal kan sama dia?” lanjutnya seraya melihatku. Aku pun otomatis melihat ke arah mereka. 
“Oh, iya itu tetangga udah lama tinggal di sini,” jawab Citra. 
Padahal aku berharap dia akan mengatakan bahwa aku ini kakak iparnya. Bukan karena aku sangat ingin diakui, tapi apa salah aku berharap dia mengatakan yang sebenarnya kepada ibu mertuanya? Kenapa harus berbohong segala? Apa Citra malu punya kakak ipar miskin sepertiku? 
Kumenangis, membayangkan kejamnya sikap adik iparku itu. 
“Sebentar lagi maghrib, Ibu dan Bapak harus segera pulang, nanti kemaleman di jalan,” kata Kirno menghentikan percakapan orangtua dan istrinya itu. Dia melihat dengan perasaan tak enak padaku. 
Bersamaan dengan perginya mertua Citra, Mas Bambang suamiku pulang tepat jam setengah enam sore. Aku menyambutnya dengan senyuman dan segera membukakan jaketnya. 
“Gimana jualannya, Mas? Laris?” tanyaku sambil meberinya segelas air hangat. 
“Alhamdulillah, gak laku, Dek,” jawab suamiku. “Jangan kecewa, ya. Hari ini jangankan untung, balik modal aja enggak. Kita rugi, Dek. Beberapa sayuran sudah mulai membusuk,” lanjutnya sambil duduk lemas di lantai kayu beralas karpet lecet. 
Aku menutup mulut, menahan diri agar tak mengeluarkan keluhan. Aku harus menerima kenyataan suamiku pulang tak bawa uang. 
“Tabungan kita masih ada kan, Dek? Oh iya, kemana Azfar?”
“Masih ada sedikit lagi, Mas. Mungkin cukup untuk bekal tiga harian lagi. Tadi sebagian sudah kubayarkan iuran mengaji Azfar, dia lagi ngaji sekarang,” jawabku. 
Mas Bambang terlihat kecewa. 
“Kalau jualan sayur sepi, bagaimana kalau Mas ikut Kirno aja jadi kuli bangunan? Dia mampu membangun rumah gedong dari hasil kuli bangunan, siapa tahu kita juga bisa menyusul jejaknya, Mas. Kudengar dia lagi ada proyek di kampung sebelah, pembangunan pabrik minyak kelapa. Siapa tahu masih butuh orang untuk bantu-bantu,” usulku.
“Apa kamu sudah tak mau lagi tinggal di rumah kayu ini?” tanya Mas Bambang. “Kamu menyesal menikah denganku, karena aku tak bisa memberimu rumah gedong seperti Kirno?” 
“Bukan begitu, Mas. Aku hanya ingin hidup kita meningkat. Kalau ada kesempatan pekerjaan yang lebih menjanjikan, kenapa tidak diambil?” jawabku. 
“Memangnya kamu sudah nanya sama Kirno soal pekerjaan itu?” 
“Belum, Mas. Kalau Mas setuju, nanti akan kutanyakan padanya.” 
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu disusul suara Kirno mengucap salam. Mas Bambang yang duduk dekat pintu membukanya. “Tuh orangnya datang, Mas,” ucapku. 
“Kamu rupanya, Kir? Ada apa, tumben berkunjung,” sambut Mas Bambang pada Kirno saat ia sudah duduk bersama kami. 
“Anu, Mas. Aku mau minta maaf sama Kak Dewi. Tadi Citra udah ngerepotin Kak Dewi,” ucap Kirno seraya melirikku. 
Aku tahu yang dimaksud Kirno adalah permintaan maaf atas sikap dan perkataan Citra tadi, namun aku memilih diam dan tak memberitahu Mas Bambang kejadian yang sebenarnya. Kirno mau datang ke sini untuk meminta maaf padaku saja, aku sudah senang.
“Merepotkan apa, memangnya?” tanya Mas Bambang. 
“Itu lho, Mas. Tadi kan orangtuaku datang, terus Citra minta tolong Kak Dewi untuk ngupasin buah salak dua kilo, dan juga membuatkan manisannya untuk jamuan Ibu. Maklum, Mas tahu sendiri Citra seperti apa sampai ngupas salak aja minta tolong Kak Dewi,” jawab Kirno. 
“Oh, kalau masalah itu ya gak apa-apa. Dewi memang harus membantu adikku. Kasihan Citra kan terbiasa dilayani Ibu, sekarang sudah nikah dibawa kamu suaminya, otomatis dia jadi keteteran ngerjain apa-apa sendiri. Ya, kita harus maklum lah, Citra itu ya kayak gitu anaknya.” Mas Bambang membela Citra di hadapanku, membuatku bertambah kesal. 
Seandainya Mas Bambang tahu bagaimana sifat Citra yang sebenarnya, aku yakin dia pun akan marah. 
“Ya begitulah, Mas,” respon Kirno. 
“Terus, sekarang mertuamu mana?” tanya Mas Bambang. 
“Sudah pulang, Mas. Tadi pas Mas datang, mereka pulang.” 
“Oh, yang mobil hitam tadi itu? Kenapa gak mampir dulu ke sini?” tanya Mas Bambang. 
Aku dan Kirno saling berpandangan sejenak. Mas Bambang menanyakan kenapa mertuanya Citra tak mampir ke sini, apa harus aku jawab saja yang sebenarnya bahwa Citra tak mau mertuanya mengungjungi rumah kayuku karena malu? 
“E—eh, itu … itu karena tadi sudah sore banget, Mas. Jadi aku nyuruh Ibu dan Bapak cepat-cepat pulang, takut kemaleman. Soalnya kalau malem, penglihatan Bapak buram, bahaya kalau Bapak nyetir malam-malam,” jawab Kirno secepat kilat. 
“Oh, begitu. Lain kali kalau ada saudaramu berkunjung, suruh mampir ke sini. Sesama saudara harus saling mengunjungi. Pintu rumah ini terbuka lebar kok untuk kalian. Mas bisa pahami, mungkin keluargamu belum tahu kalau aku dan Dewi adalah kakak iparmu, jadi sudah semestinya nanti kamu memberitahu mereka,” balas Mas Bambang dengan nada menasehati.  
“Iya, Mas. Lain kali akan kuajak mereka ke sini,” ucap Kirno. 
Wajah Kirno telihat sedih, mungkin kata-kata Mas Bambang menyentil hatinya. 
Selanjutnya Mas Bambang dan Kirno berbincang tentang pekerjaan, sementara aku minta izin untuk menjemput Azfar di tempat pengajian. 

Sepulang dari tempat pengajian Azfar, anak lelakiku itu langsung tidur pulas di kamarnya. Entahlah, tadi kupegang keningnya terasa hangat dan suaranya juga agak serak. Mungkin dia flu. Aku hanya memberinya minum air hangat dan menyuruhnya tidur. Kalau lagi sakit, Azfar tak seaktif biasanya, dia akan menurut setiap yang kukatakan. 
Setelah menidurkan Azfar, aku langsung menghampiri suamiku di dapur. Setiap malam, aku dan Mas Bambang membungkus sayuran ke dalam plastik kecil sesuai jenisnya. Misal buncis seperempat kilogram, wortel sperempat kilogram, dan lain-lain. Selain itu, kami juga membungkus sayuran mentah untuk sayur sop, sayur asem, capcay, dan jamur. Namun, rupanya malam ini berbeda, kami bukannya membungkus sayuran-sayuran itu, tapi malah mengeluarkan isinya. 
Hampir semua sayuran yang sudah dua hari gak laku itu mulai mengeluarkan lendir lengket dalam plastik. Bahkan, banyak pula yang membusuk. Kami mengeluarkannya, berusaha menyelamatkan sisa-sisa sayur yang masih bisa dimasak. 
“Besok Mas gak bisa jualan, Dek. Modal kita habis. Untuk makan ada uang tabungan, kan?” tanya Mas Bambang. 
“Ada, Mas. Tapi uang itu mau kupakai untuk berobat Azfar. Dia sakit, Mas. Batuk pilek,” jawabku. 
“Memangnya tabunganmu itu ada berapa?” 
“Seratus lima puluh ribu. Yang lima puluh ribu untuk berobat, lima puluh ribu lagi untuk membeli beras, sisanya untuk bekal makan kita. Itu juga kalau gak kepotong beli token listrik,” jawabku sambil membantu Mas Bambang mengangkat keranjang sayur dan menyimpannya ke atas bangku. 
Pikiranku sebenarnya kacau. Uang sisa sedikit dan itu pun akan segera terpakai, sedangkan Mas Bambang tak bisa jualan. Entah kapan kami punya modal lagi untuk berjualan. Kalau sudah begini, yang bisa kulakukan hanyalah pasrah. 
“Kuku jari tanganmu kenapa lecet-lecet begitu?” Tiba-tiba Mas Bambang memperhatikan kukuku. 

หนังสือแสดงความคิดเห็น (45)

  • avatar
    LesmanaGalih

    seru juga ceritanya

    3d

      0
  • avatar
    HafilahAzkia

    goodjob

    12/12

      0
  • avatar

    mantap

    06/01/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด