logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Secangkir Kopi Panas

Secangkir Kopi Panas

palupisekar20


Prolog

DAMARDJATI
Terlintas ragu untuk melanjutkan langkah memasuki halaman rumah mungil nan asri di depanku. Rumah yang serasa menjadi rumah kedua bagiku. Tempat berteduh selain di bawah atap keluargaku.
Dulu, ya dulu rumah mungil ini menjadi tempat menenangkan diri atau sekadar rehat sejenak melepaskan penat setelah melalui hari-hariku yang sibuk. Kini aku harus berpikir seribu kali untuk hanya sekadar bertandang. Setelah satu tahun lalu kutinggalkan rumah ini.
Bukan karena penghuni rumah mungil bercat putih ini tidak mau menyambut kehadiranku atau merasa terbebani dengan kedatanganku. Tapi lebih karena aku tidak ingin memberi citra yang tidak baik untuk pemilik rumah ini dengan kehadiranku.
Ragu masih menyurutkan niatku untuk bertandang. Tapi kaki sepertinya tidak mau mendengarkan perintah otak dan memilih untuk mengikuti kata hatiku. Kakiku terus melangkah membawaku untuk menyusuri jalan setapak yang dihiasi step stone menuju bagian samping rumah mungil itu.
Jalan setapak yang dibatasi dengan perdu berbunga ungu, membawaku ke bagian samping rumah yang merupakan dapur dan ruang makan dari rumah mungil ini. Langkahku terhenti di depan pintu kaca geser yang membatasi area halaman dengan dapur.
Di pagi buta seperti ini, belum ada aktivitas dari pemilik rumah. Itu terlihat dari pintu di hadapanku yang masih terkunci dan tertutup gorden berwarna biru yang cantik. Ingin kuguncangkan lonceng kecil di gagang pintu untuk memberitahu pemilik rumah akan kehadiranku.
Tapi segera kuurungkan meski tanganku sempat terulur menyentuh lonceng itu. Ini masih terlalu pagi untuk membangunkannya.
Aku tahu dia pasti baru terlelap beberapa jam lalu seperti biasanya. Akan sangat mengganggunya untuk membangunkannya di pagi buta seperti ini.
Tak ada pilihan lagi selain menunggunya terbangun. Sungguh aku tidak ingin mengganggunya, mengingat kedatanganku kali ini pun sudah pasti akan membuatnya tidak nyaman.
Aku tidak ingin membuatnya lebih tidak nyaman dengan membuatnya terbangun dan mencemaskanku. Sebaiknya aku menunggunya di sini. Toh dia pasti akan terbangun sebentar lagi dan menyadari kehadiranku.
Kuhempaskan badanku di kursi rotan beralas bantal empuk yang menghiasi teras mungil ini. Udara dingin dan mungkin juga karena lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, membuatku tanpa sadar merebahkan diri di kursi panjang dari rotan itu.
Dalam sekejap kantuk pun datang menyapaku. Lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dan juga penat dengan segala persoalan yang menderaku, membuatku segera terlelap saat kepalaku menyentuh bantal empuk yang menghiasi kursi rotan yang berada di teras rumah mungil ini.
Aroma pewangi yang sangat akrab di hidungku, udara sejuk dini hari dan aroma berbagai bunga yang tumbuh di halaman, membuatku nyaman dan melupakan semua problema yang tengah menderaku.
Aku lupa tujuanku untuk kembali pulang, aku lupa keraguan yang tadi sempat terlintas, aku lupa pemilik rumah ini bukan lagi orang yang pantas untuk kukunjungi.
Aku lupa semua itu. Aku hanya ingat, tempat ini adalah tempat ternyaman di mana aku selalu bisa kembali pulang kapan pun aku menginginkannya.
Kapan pun aku rindu dan menginginkan Semira-ku. Memeluk dan mencium aroma wanginya. Merasakan kehangatan sentuhannya.
Mendekapnya dalam kenyamanan yang tak pernah kudapatkan di tempat atau pun orang lain. Hanya pada Semira kutemukan semua itu.
SEMIRA
Aku terbangun di pagi hari seperti biasanya. Setelah merapikan tempat tidur, menyingkapkan gorden dan membuka jendela kamar yang berada di lantai atas, serta membiarkan matahari pagi yang masih setengah redup menyinarinya, aku segera memulai aktifitas keseharianku.
Tidak banyak yang menjadi rutinitas di pagi hariku dalam satu tahun terakhir ini. Selain mandi kemudian menyeduh kopi dan membuat roti bakar untuk sekadar mengganjal perutku, selebihnya hanya bersantai di rumah tanpa banyak aktifitas.
Putri tunggalku kini tinggal di Singapura, meneruskan pendidikannya sebagai ahli kecantikan dan aestetic. Belum tentu sebulan sekali dia kembali ke Indonesia.
satu tahun terakhir inj, aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Aku lebih memfokuskan diri untuk menulis dan mengelola coffe shop yang telah ku rintis bersama Damar.
Ah Damar. Mengingatnya menimbulkan berbagai perasaan dalam benakku. Seandainya dia di sini, tentu pagiku tidak lagi sepi. Biasanya dia masih berkutat dengan smartphone atau pun laptopnya di pagi hari seperti ini.
Meladeninya dari menyeduhkan kopi pahit favoritnya, menggorengkan singkong atau pisang untuk cemilannya di pagi hari serta menyiapkan sarapan dan makan siang menjadi rutinitasku setiap pria itu memilih menghabiskan waktunya di rumahku.
Aku tidak begitu mengingat sejak kapan Damar sering mengunjungi dan menghabiskan waktunya dengan menemaniku. Meski terkadang dia ku tinggalkan untuk bekerja, Damar tidak pernah mengeluh. Dia akan menunggu kepulanganku dan menyambutku dengan senyuman manisnya.
Apa dia tidak bekerja? Tentu saja dia bekerja. Setahuku dia seorang pembalap. Selain itu aku tidak tahu apa yang dikerjakannya. Karena ku lihat dia pun tidak pernah mengalami kesulitan keuangan. Dia tidak pernah merepotkanku dalam hal itu.
Kadang setelah beberapa hari tinggal di rumahku, dia akan berpamitan pergi entah kemana. Untuk beberapa lama dia akan menghilang bak di telan bumi. Kami hanya berkomunikasi via telepon atau WhatsApp dan sering juga video call.
Dia akan kembali datang, kadang tanpa berkabar terlebih dahulu. Aku tidak keberatan dengan polanya itu. Berhubungan dengan Damar bagaikan menggenggam bara api di tangan.
Jika tidak berhati-hati, suatu saat api itu bisa membakarku habis tak bersisa. Aku memilih untuk tetap mendapatkan kehangatan api itu tanpa terbakar olehnya.
Bukan suatu hal yang mudah untuk menjaga ritme hubunganku dengan Damar. Dia lebih muda hampir dua belas tahun dariku. Selisih usia yang sangat jauh dan pastinya menimbulkan berbagai kesenjangan juga gunjingan.
Namun pada faktanya, hampir lima tahun kami menjalin kebersamaan dan bisa dihitung dengan jari jika ada masalah di antara kami. Bisa dikatakan selama itu hubunganku dengan Damar baik-baik saja.
Kami jarang bertengkar, hanya sesekali saja kami berselisih pendapat. Selebihnya kami lebih sering akur dan sependapat.
Bagaimana dengan perasaan kami? Itu pun bukan masalah. Aku dan Damar saling mengerti posisi, status sosial, mau pun kondisi fisik kami masing-masing.
Kami tidak pernah dipusingkan dengan pertanyaan atau pun pernyataan mengenai cinta, kasih sayang dan asmara. Semua yang terjadi diantara kami berdua hanyalah semestinya.
Kami tidak mengelak, menghindar atau pun mencari. Semua terjalin begitu saja. Semua terjadi tanpa banyak kata. Tanpa janji dan tanpa ikatan.
Itu menjadi pola hubungan kami selama beberapa tahun terakhir. Namun setahun yang lalu, dia harus pergi meninggalkanku. Sebuah janji yang terlanjur dia ikrarkan pada seorang perempuan harus dia tunaikan. Aku tidak menahannya atau pun memintanya untuk tetap di sisiku.
Pun tidak memintanya untuk pergi dan meninggalkanku. Apa lagi memintanya untuk memilih. Aku membebaskannya untuk melakukan apa saja yang terbaik untuk dirinya.
"Kapan pun kamu ingin kembali, pulanglah. Aku selalu ada selama kamu menginginkannya." Hanya itu yang bisa kuucapkan saat dia bimbang untuk melangkah dalam sebuah ikatan.
Hingga kini, satu tahun setelah itu, dia memang tidak pernah benar-benar kembali. Hanya beberapa kali dia mengunjungiku. Bahkan dia menyerahkan semua urusan manajemen kafe padaku.
Meski begitu untuk berkomunikasi, dia sama sekali tidak memutuskannya. Damar masih sering berkirim kabar, cerita dan bercanda seperti biasanya denganku. Begitu pun aku.
Dan entah mengapa pagi ini aku rindu padanya. Rindu Damar-ku seperti dulu. Rindu untuk menghabiskan waktu bersama, bercanda, tertawa, dan terkadang merenungi nasib bersama-sama.
Perlahan ku langkahkan kaki ke dapur. Aku singkap gorden biru yang menutupi keseluruhan pintu kaca geser di ruangan itu. Aku tertegun, tak salah lihatkah mataku? Siapa yang pagi hari begini berkunjung ke rumahku dan kini dia terlelap di kursi rotan yang berada di teras rumahku?
Buru-buru ku buka pintu kaca geser dan menghampiri kursi rotan di mana ku lihat seseorang tengah terlelap di atasnya.
"Damar?" Bisikku tak percaya. Ya, dia Damar. Lelaki yang baru saja mengisi ruang rindu dan ingatanku.
"Damar, pindah ke dalam ya. Bobok di kamar saja. Di sini dingin." Pelan kuguncang bahunya.
"Eehhmm, nanti saja Mi. Aku masih ngantuk," gumamnya di tengah geliatnya.
"Eh, Bambang! Pindah noh, jangan di sini. Mana bisa bobok nyenyak kalau di teras." Dengan kesal kuguncang bahunya lagi agak keras.
Dia pun terbangun dan dengan mata setengah terpejam dia menatapku. Tiba-tiba dia memelukku.
"Aku kangen kamu, Mimi." Bisiknya lirih. Dan setelah itu dia kembali terlelap dengan kepala menempel di ceruk leherku.
DAMARDJATI & SEMIRA
Damar dan Semira, dua insan yang mencoba untuk menikmati takdir kehidupan mereka tanpa mengeluh. Meski sakit, kecewa, amarah dan cinta tak luput silih berganti hadir dalam benak dan nasib keduanya.
Damar dan Semira bertemu dan jatuh cinta di masa dan tempat yang salah. Meski semua itu bukanlah mutlak kesalahan keduanya
Semira seorang wanita dewasa yang telah melalui banyak hal dalam hidupnya. Semira memiliki cukup banyak pengalaman yang dipenuhi dengan segala macam bumbu kehidupan. Menjadikannya sebagai wanita yang tidak hanya dewasa secara fisik dan usia namun juga mental.
Semira cukup sukses dalam berkarir, meski tidak diikuti dengan kesuksesan dalam berumah tangga. Dia cukup lama menyandang status sebagai single parent setelah perceraiannya dengan mantan suaminya hampir sepuluh tahun yang lalu.
Bukan tanpa kesulitan atau pun kerumitan hidup sebagai seorang janda. Namun Semira tidak pernah pesimis. Dia sangat menikmati hidupnya dan kesendiriannya.
Dia tidak pernah meratapi nasibnya sebagai janda atau pun berkeluh kesah. Dia pun tidak pernah terjebak dalam kerumitan dan kemelut sehubungan dengan statusnya yang kerap membuatnya didiskreditkan sebagai wanita kesepian.
Bukannya mati rasa atau tidak lagi membutuhkan pendamping. Bukan pula dia tidak mencoba untuk menjalin hubungan baru. Bukan pula dia menafikan kebutuhannya sebagai seorang wanita.
Semira hanya ingin menikmati hidup dengan apa adanya. Hidupnya mengalir mengikuti takdir dan nasib. Meski terkadang terseok-seok, dia tetap menikmatinya. Toh kehidupan memang seperti itu.
Ada saat bahagia, ada saat sulit, ada saat sendiri dan ada saat membosankan. Semua itu dijalaninya dengan lapang dada. Termasuk di saat dia terjebak dalam hubungan antar lawan jenis.
Terkadang godaan datang dan tak mampu ditepisnya. Namun selalu saja Semira mampu untuk lepas dari jerat godaan kenikmatan sesaat dan tidak pernah terjebak terlalu lama.
Hingga suatu saat Semira terjerat hubungan yang rumit dengan seseorang yang tidak semestinya. Damar, seorang cassanova yang terlalu mempesona dan sulit untuk dihindari dan pastinya terlalu sayang untuk dilewatkan.
Damar dan Semira dua sosok yang kesepian dalam kehidupan masa kini yang kompleks. Mereka berdua terlibat dalam sebuah hubungan yang rumit. Terikat kuat dalam suatu simpul yang semu tanpa pernah berujung nyata.
Selisih usia Semira dan Damar yg cukup jauh, kesenjangan karir mereka dan terganjal restu kedua orang tua serta penyakit yang di derita Semira menyemarakkan kisah cinta dua insan ini.
Semira dan Damar, sepasang insan yang mencoba untuk mengikuti realita kehidupan tanpa mendramatisirnya dengan berlebihan. Mereka berdua cukup dewasa dalam menghadapi gejolak hati, hasrat dan gairah asmara mereka.
Mampukah Semira dan Damar melalui semua itu dan mendapatkan akhir manis, bak secangkir kopi panas yang terhidang di meja dan mereka nikmati bersama?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (79)

  • avatar
    AnandaMutiara

    sukaa

    11d

      1
  • avatar
    GustiGilang

    aplikasi ini sangat bagus

    16/08

      0
  • avatar
    Aziz Abdul

    cara naik duet nya gmna ygy

    21/01

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด