logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 6 Ketahuan

Lihatlah Hanum! Anak kita masih butuh kasih sayang kita, dia terharu hanya karena aku menyuapinya, sesederhana itu. Harusnya kau jangan tinggalkan kami terlalu cepat.
Aku segera tersadar dari lamunan ketika guru BP Rasya memberitahu bahwa Rasya sudah bolos dua hari. Hidup ini memang bukan hanya tentang dukaku, tapi juga duka anak-anakku.
Sesegera mungkin aku pulang ke Sidoarjo. Aku minta izin pada Nabila tentang kepulanganku. Dia mengizinkan, tapi dia juga mau ikut denganku. Aku pun mengiyakan, tak ada salahnya juga, mungkin dengan ini anak-anak bisa mendapatkan kasih sayang ibunya lagi.
Entah apa tujuan aku menikah, nyatanya sampai sekarang aku belum menjamahnya, bertegur sapa layaknya teman pun juga tidak. Bahkan kamar kami masih terpisah. Namun, kata ibu memang ada benarnya. Adanya Nabila, setidaknya bisa meredam emosiku akan kehilangan, membuatku merasa tidak sendiri, karena setiap pagi Nabila tanpa disuruh pun melayaniku dengan perhatian-perhatian kecil. Mulai dari membuat kopi dan menyiapkan sarapan. Adapun menyiapkan baju, dia masih belum berani, karena memang dia tak kuizinkan masuk kamarku.
Sampai detik ini juga, bibirku masih kelu untuk tersenyum. Dengan Nabila pun aku juga masih belum memberikan senyumku. Entah bagaimana perasaannya saat ini, mungkin dia merasa menjadi istri yang diabaikan. Berharap menjadi permaisuri namun rasanya hanya jadi selir yang tak punya jatah giliran. Aku hanya bisa memberinya jatah nafkah lahir, sedangkan nafkah batin, aku masih belum mampu memberikannya.
Pernah suatu saat di meja makan, aku menjelaskan hal itu, agar dia tak mengharap lebih padaku.
"Nabila, maaf jika hal ini ku bicarakan ketika makan. Mungkin kurang etis, tapi aku tak tahu kapan lagi waktu yang tepat untuk membicarakannya."
Kuhela napas yang agak berat untuk kuhembuskan.
"Maaf, jika sampai saat ini aku belum bisa baik denganmu, aku juga belum bisa menjamahmu. Sulit bagiku untuk mengganti almarhum istriku dengan orang lain di hatiku. Aku hanya mampu memberi nafkah lahir untukmu. Aku harap engkau mengerti."
Entah bagaimana perasaannya ketika aku mengatakan hal itu padanya. Namun menurutku itu lebih baik, daripada aku hanya diam saja dan dia mengharapkan sesuatu yang belum pasti. Dia pun hanya mengangguk dan sekilas kulihat matanya agak berkaca-kaca, tapi tak mengurangi kecantikannya.
Aku sebenarnya belum begitu mengenal kepribadian Nabila, karena memang sebelumnya aku tak pernah memperhatikannya ketika di kantor. Sehingga, aku tidak tahu apakah kalimatku tadi menyakiti perasaannya atau tidak. Siapa tahu dia hanya mau menikah denganku karena materi, maka kalimatku tadi tentu tak akan membekas di hatinya. Dan mata yang berkaca-kaca tadi mungkin hanya ilusiku atau mungkin dia habis mengiris bawang.
Sesampainya di rumah, aku menunjukkan kamar tamu untuk dia tempati. Kemudian aku duduk di ayunan yang dulu kuletakkan di taman samping rumah. Bunga-bunga yang dulu tertata indah, sekarang banyak yang mati kering. Bagaimana tidak, dulu Hanum selalu merawat dengan telaten, sepeninggalnya hanya ibu yang menyiramnya sesekali. Sudah seminggu ini, ibu pulang ke Tuban, tanaman-tanaman ini sepertinya layu merana ditinggalkan sang empunya.
Tiba-tiba Nabila menghampiriku dan bicara singkat,
"Mas, tadi aku di kasih ini sama Bu Rina. Katanya barang ini ada di saku celana Rasya."
Bu Rina adalah tetangga sini yang kuminta untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah ini. Termasuk mencuci baju anak-anak.
Kuamati sebuah plastik kecil yang ujungnya berwarna merah, berisikan obat yang berbentuk bulat kecil. Karena penasaran, aku pun menelpon salah satu temanku yang bekerja apoteker.
"Assalamualaikum. Pak Bahar, bagaimana kabarnya?" tanyaku basa-basi.
"Waalaikumsalam. Alhamdulillah sehat semua. Pak Dimas sendiri bagaimana kabarnya? dengar-dengar Bapak sudah menikah lagi, ya?"
"Alhamdulillah, sama pak, di sini juga sehat semua. Emmm begini, sebenarnya saya ada perlu dengan Bapak. Boleh mengganggu waktunya sebentar Pak Bahar?"
"Waaah untuk Bapak Direktur apa sih yang tidak?"
"Hahaha bisa saja kamu. Begini, aku sebenarnya penasaran dengan barang yang kutemukan. Bentuknya sih seperti obat. Bisa tolong kamu lihatkan obat apa itu? Aku takut Rasya sakit yang belum aku tahu."
"Baik, Pak. Kebetulan saya sedang di rumah, baru pulang dari kantor. Kalau bisa njenengan bawa sampelnya ke sini saja."
"Begitu, ya, Pak. Baik habis ini saya kesana. Assalamualaikum."
Tanpa sempat mendengarkan jawaban salamnya, aku langsung menutup ponsel. Ku stater sepeda yang biasanya dipakai Rasya sekolah menuju rumah Pak Bahar. Di perjalanan, aku lupa kalau aku belum pamitan dengan Nabila. Ah nanti lah, dia pasti mengerti.
Tak sampai dua puluh menit, aku sampai di rumah Pak Bahar. Rupanya dia sudah menungguku di teras rumahnya dan langsung memelukku sebagai tanda keakraban kami. Beliau mempersilahkanku untuk duduk.
"Ini, Pak, barangnya."
Pak Bahar menerima bungkusan plastik berisi obat dari tanganku. Dia membolak-bilik obat itu, kemudian membaunya. Keningnya mulai berkerut.
"Pak Dimas."
Nada suara Pak Bahar seperti tak bersemangat. Firasatku mulai tak enak.
"Iya, Pak. Bagaimana? obat apa itu?"
"Emmm begini Pak, kalau boleh saya tau Bapak menemukan dimana obat itu?"
"Istri saya yang menemukan, katanya di saku celana Rasya. Kenapa, Pak?"
"Sebenarnya obat itu termasuk obat terlarang."
"Maksud Pak Bahar apa?"
Sebenarnya aku mulai mengerti maksud pembicaraan ini. Namun aku berdoa dalam hati, semoga apa yang kupahami hanyalah suatu kemustahilan.
"Itu salah satu jenis obat terlarang golongan LSD atau Lysergic Acid. Efek obat ini akan bereaksi 30-60 menit setelah pemakaian dan berakhir efeknya sekitar delapan sampai dua belas jam. Selama itu penggunanya akan merasa berhalusinasi, dan sering terobsesi dengan apa yang ada dalam halusinasinya. Maaf jika ini mengagetkan Bapak, tapi memang ini faktanya."
Kebenaran apa lagi ini ya Tuhaaaan, apakah anakku adalah pemakai. Jika memang iya, sejak kapan dia memakai? Kenapa aku selama ini tidak tahu?
"Pak Dimas?"
"Pak Dimas?" Pak Bahar memanggilku lagi. Menyadarkanku dari lamunan.
"Oh i–iya, Pak. Terima kasih atas bantuannya, Pak. Kalau begitu, saya mohon pamit dlu ya. Assalamualaikum."
"Loh, Pak, kopinya belum njenengan minum?
"Lain kali saja, ya, Pak. Saya buru-buru."
Kutinggalkan rumah megah bercat kuning ini. Agak kupercepat laju motorku agar cepat sampai rumah. Saking ngebutnya, hampir saja aku menabrak salah satu pengendara di depanku. Kupinggirkan motorku, kucoba menarik napas dalam-dalam agar tenang. Semua tak bisa diselesaikan dengan hati yang mendidih.
Aku harus menanyai Rasya dengan hati-hati, salah langkah bisa-bisa dia akan semakin menjaga jarak denganku.
Bagaimana caraku mengorek keterangan dari Rasya? Benarkah Rasya sudah mengkonsumsi narkotika? Semoga saja tidak. Karena kalau memang itu terjadi, aku akan merasa sangat berdosa pada Hanum, sebab tak bisa menjaga amanatnya yang terakhir.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (65)

  • avatar
    RachmanAchmad

    sangat sedih

    20/08

      0
  • avatar
    MingAsmir

    cerita bagus

    17/07

      0
  • avatar
    Tantri Tantra Octaviani

    ceritanya bagus sekali, saya suka

    30/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด