logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Teganya Kau Bohongi Ibu Lagi, Mas?

BAB III
“Bu..Bu Suci.., maaf ada yang ingin menjenguk. “
Aku tersadar dari lamunanku. Kutatap suster di hadapanku.
“Siapa, Sus?”
“Apakah kenal dengan Bu Rini? Soalnya beliau mengaku sebagai mertua Bu Suci.
“Iya, Sus. Biarkan beliau masuk.”
“Baik, Bu. Tunggu sebentar!”
Ah, mas Jono pasti pergi ke rumah ibu. Kasihan ibu, sering menjadi sandaran terakhir mas Jono.
Seharusnya, di usianya yang menginjak enam puluhan, beliau pantas menikmati masa pensiunnya dengan tenang tanpa direcoki oleh anak kesayangannya itu.
“Aduh! Kok ya kebangetan to Jono itu! Ndak memberi kabar kalo kamu masuk rumah sakit.”
“Nggak papa, Bu. Mungkin Mas Jono belum tahu saya ada di sini.”
“Iya, tadi Jono cerita kalau habis di-PHK mendadak. Jono tidak terima dipecat sepihak oleh perusahaan.”
Aku hanya diam mendengarkan cerita ibu. Aku tidak akan pernah menyela ceritanya meskipun tahu pada akhirnya cerita itu hanya rekaan Mas Jono agar dapat simpati dari ibu.
“Bahkan, Jono sempat berantem dengan Vice Manager Pemasaran. Tangan kanannya berdarah kena pecahan meja kaca yang dipukulnya. Jono mau pulang ke kontrakan, e.. tiba-tiba vertigonya kambuh dan langsung mampir ke rumah. Jadi maafkan Jono ya?”
Aku hanya tersenyum getir. Bukan hanya sekali-dua kali mas Jono sering pulang ke rumahnya yang besar itu. Hampir tiap ada masalah pasti pergi menemui ibunya.
Memang, rumahnya itu dekat dengan kantor pusat show room mobil tempat mas Jono bekerja.
“Iya Bu. Namanya juga baru kena musibah, pasti Mas Jono terguncang pikiran dan jiwanya.”
“Yo, wis. Kalo kamu bisa nerima, atine ibu jadi ayem.”
Bu Rini mengelus dahiku dengan kasih sayang. Getarannya dapat kurasakan.
“Sing sabar, ya?”
“Insya Allah, Bu. Minta doanya saja.”
Kulihat Ibu tengak-tengok. Pandangannya terus mengitari ke seluruh pojok bangsal.
“Ada, apa Bu? Kok sepertinya kebingungan mencari sesuatu, atau ada yang ketinggalan?”
“Kamu sendirian di sini?”
“Iya, Bu.”
“Terus Rara mana?”
Astagfirullah, jadi mas Jono belum cerita tentang kondisi Rara kepada ibu. Mas Jono sengaja menyembunyikan kelakuannya kepada Rara.
“Ci, Ibuk tanya. Rara sama siapa sekarang?”
“E … sama Lina Bu.”
“Yo wis kalo sudah ada yang nemeni. Kalo tidak ada, mau tak ajak pulang saja. Ibuk wis kangen sama Rara. Ya udah, ibuk pamit dulu. Kalo kelamaan ganggu istirahatmu. Ini aku bawakan sayur dan lele mangut kesukaanmu. Dihabiskan lo, makan yang banyak biar cepet sehat!”
“Iya, Buk. Maaf jadi merepotkan Ibuk.”
Ibu mengecup keningku pelan. Senyumnya tersungging manis membuat diriku terharu dengan semua pengorbanannya membesarkan anak semata wayangnya.
Aku tak sampai hati menyakiti beliau.
Aku selalu menahan untuk jujur tentang mas Jono yang telah berubah perangainya. Aku selalu sabar untuk tidak menceritakan bagaimana mas Jono selalu menjadi orang lain di depan ibu. Itu semua kulakukan demi menjaga kesehatannya. Aku tak mau ibu tahu tentang keburukan mas Jono karena bisa memicu serangan jantungnya kambuh.
Namun, sampai kapan aku harus melakukan semua ini? Bahkan Ketika Rara telah menjadi korban kekerasan anak semata wayangnya itu. Akankah aku terus diam seakan semuanya baik-baik saja.
Sementara di sana, mas Jono selalu memainkan peran-peran baru layaknya seorang aktor yang pandai bermain sandiwara.
Kepalaku tetiba berdenyut dan nyeri di bagian bawah kepala belakang. Kupejamkan mataku meskipun kurasakan diriku terombang-ambing dalam kegelapan.
****
Aku terbangun saat kudengar Lina membawa kabar gembira. Rupanya aku bisa tertidur meski kulihat terakhir jam di tanganku menunjukkan angka dua.
“Alhamdulillah, Rara udah siuman.”
Aku bangun. Kulihat infus telah dicopot dari tanganku. Aku memaksa Lina untuk mengantarkan ke bangsal anak tempat Rara dirawat.
Lina mencoba menahanku, tetapi aku tetap memaksanya.
“Tegakah Kamu, menahan seorang ibu bertemu anaknya?”
“Tapi mbak Suci yang sabar, ya?”
Aku mengangguk cepat seraya menarik lengannya. Aku mengikuti Lina dari belakang. Bangsal anak terletak di pojok bangunan. Saat tiba di depan pintu bangsal, hatiku berdebar-debar.
Perasaanku tak enak. Mengapa tak ada tangis dari Rara meskipun telah melihatku. Rara diam. Lalu pandangannya menatap ke langit-langit. Kosong.
“Apa yang terjadi dengan Rara, Lin?”
“Aku nggak tahu, Mbak. Sebentar lagi ada visit dokter. Mbak Suci bisa lebih lega kalo bertanya lagnsung kepada dokter yang merawatnya.”
Kuciumi wajah Rara dengan lembut. Rara merespon dengan buliran air mata.
Badannya terasa dingin. Gerakan tangan dan kakinya seperti berat, tak bertenaga. Astagfirullah, ampunilah aku ya Allah! Aku tak kuasa untuk menahan tangis yang sejak tadi kutahan.
“Mbak, dokternya sudah datang.”
Aku beringsut dari bed. Aku berdiri di samping kepala Rara. Dokter memeriksa mata Rara juga detak jantungnya.
“Apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?”
“Maaf, ini dengan ibunya pasien anak Rara?”
“Iya, dok. Saya sendiri. Nama saya Suci.”
“Maaf ya Bu Suci. Dari hasil pemeriksaan CT-Scan. Gegar otak yang diderita anak ibu tidak membahayakan. Hanya mungkin ada sedikit gangguan di saraf motoriknya.”
“Maksudnya apa Dok?”
“Anak ibu mungkin akan lumpuh sementara.”
“Terus apa yang harus saya lakukan Dok, agar anak saya bisa kembali pulih?”
“ Nanti anak ibu akan menjalani terapi atau fisioterapi.”
“Tapi bisa sembuh kan Dok?”
“Iya, ibu tenang saja. Yang penting lakukan saran terapis dan rajin latihannya ya?”
“Alhamdulillah, terima kasih Dok.”
“Oh,ya. Anak ibu boleh pulang hari ini.”
“Iya, Dok.”
Aku bersyukur bisa pulang hari ini. Namun juga jadi bingung dan sedih. Haruskah uang yang baru kuterima dari bu Broto kemarin harus digunakan untuk biaya berobat Rara dan diriku? Terus bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari ditambah dengan transport untuk Rara tiap harinya ketika Kontrol ke rumah sakit?
Aku nggak bisa meminta klaim asuransi ketenagakerjaan kerena mas Jono sering menunggak iuran.
“Mbak Suci, jangan larut dengan keadaan. Kasihan Rara.” Suara Lina menggugah kesadaranku kembali.
“Iya, Lin. Aku ngerti. Hanya saja aku belum ngurus administrasi rumah sakit.”
“Oh, iya. Audah dministrasi Lina selesaikan.Nggak ada tanggungan lagi.”
“Alhamdulillah, makasih ya Lin. Semoga Allah membalas kebaikanmu berlipat.”
“Mbak Suci itu sudah Lina anggap kakak kandung sendiri. Terus rencana mau pulang kapan? Maksudku biar Lina bisa tukar piket dengan teman yang lain. Mau bantu-bantu mbak Suci pulang.”
“Habis Dhuhur saja Lin.”
“Nggak nunggu mas Jono atau bu Rini, mbak Suci?”
“Percuma nunggu, paling juga nggak akan datang.”?”
“Atau saya bel kan, no hape nya berapa?”
“Nggak usah Lin. Hapenya mas Jono kemarin rusak, jatuh pecah. Ibuk nggak pegang hape.”
“Ya udah kalo gitu. Nanti kalo dah siap semuanya, Lina pesenkan taksi online, ya?”
“Iya, Lin. Makasih.”
Aku mengemasi barang dengan pikiran yang tak karuan. Masih berharap mas Jono datang menawarkan bantuan. Tapi aku sadar itu tak akan mungkin terjadi. Seandainya tidak ada ibuk. Mungkin aku tak akan bertahan selama ini.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (70)

  • avatar
    RiswantiRini

    ceritanya menarik seru dan ending nya bikin penasaran. bagus lah.. jd pengen cepet ada kelanjutannya

    19/05/2022

      0
  • avatar
    helmizaid

    good

    10d

      0
  • avatar
    John WayneZahorine

    👍🏼👍🏼👍🏼

    28d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด