logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 7

Sore harinya bu Mira bersiap menuju rumah Bu Asih tetangganya sesuai janji mereka tadi pagi di tukang sayur. Beberapa saat lalu putra, menantu, serta kedua cucunya sudah balik ke rumah mereka. Sekarang rumahnya terasa sepi kembali.
Dirinya bingung, apa ia merasa senang dengan situasi ini atau lebih suka keluarganya semua berkumpul bersama dengannya di rumah ini. Ia membenarkan ucapan Feri, jika mereka tinggal di sini kedua cucunya tak hentinya akan membuat keriwehan. Tadi saja dirinya cukup dibuat pusing oleh keramaian yang dibuat oleh kedua bocah kembar itu. Belum lagi melihat menantunya, bawaannya sebal saja ia melihat wanita itu berada di rumahnya. Inginnya Sari juga bekerja seperti putranya.
Sejujurnya bu Mira sendiri heran dengan sikap dirinya selama ini pada menantunya itu. Sebenarnya Sari menantu yang baik. Wanita pilihan putranya itu tidak pernah melawan dirinya. Masakannya pun, enak. Tadi saja ia sampai nambah makan sayur asem dan teri balado buatan menantunya.
Namun, ia masih merasa tidak puas, masih ada yang terasa mengganjal di hatinya. Wanita itu belum sepenuhnya ikhlas Sari menjadi menantunya. Masa iya dirinya harus mencarikan istri lagi buat putranya? pikirnya mumet.
Dipakainyabgamis yang ia beli lebaran tahun lalu. Ia membelinya dari uang pemberian Feri tiap bulan. Selama ini putranya selalu rutin  memberinya uang sejumlah lima ratus ribu. Ia sudah wanti-wanti supaya jangan pernah putranya mengurangi jatah bulanannya.
Yang ia lihat, selama ini Sari tidak pernah protes jika putranya mengiriminya uang. " Coba-coba saja jika kudengar ia mau mengganggu jatah bulananku, akan kusuruh Feri menikah lagi!" batinnya.
"Fahri, ibu mau ke rumah Bu Asih sebentar," ucapnya pada putra bungsunya yang tengah duduk di dalam warung. Pemuda itu tengah sibuk memainkan ponselnya. Ponsel bekas pemberian kakaknya.
"Mau apa Bu ke rumah bu Asih, Bu? Mau cari istri kaya buat aku, ya?" timpal putranya sambil tersenyum meledek.
Bu Mira mendelik. "Mau tanya-tanya juga siapa tau ada lowongan kerjaan buat kamu! Biar gak ongkang-ongkang kaki terus kerjanya!" balasnya pada putranya.
Fahri memang berbeda dengan putra sulungnya. Kalau Feri cenderung kalem dan penurut, Fahri terkesan cuek dan suka membantah omongannya, yang sering membuatnya kesal. Sehingga mereka berdua jarang terlibat diskusi. Kalau ada hal yang perlu dibahas, dirinya akan menghubungi Feri.
"Ini Fahri juga lagi lihat-lihat lowongan kerja, Bu. Lagipula aku jaga warung kan, juga buat bantu Ibu," jawab pemuda itu merasa tersinggung.
Bu Mira melengos. "Ya sudah, Ibu jalan dulu!"
Rumah bu Asih tidak terlalu jauh dari rumahnya. Kira-kira berjarak seratus meter lebih yang cukup ia tempuh dengan berjalan kaki.
Kini ia sudah berada di depan pagar rumah tetangganya yang terkenal cukup berada itu. Rumah tipe minimalis dua tingkat bercat abu-abu. Sebelah kanan terdapat garasi. Sebelah kiri terdapat taman berukuran sedang dengan tanaman bougenvill di atasnya. Di bawahnya terhampar rumput hijau yang dirawat dengan baik. Terdapat pula beberapa pot bunga yang berjejer di depan teras. Sungguh suasana yang asri dan membuatnya iri.
Dipencetnya bel yang berada di samping kanan pagar. Tak lama keluar seorang wanita muda berkulit putih. Wajahnya cukup cantik. Ia memakai daster yang ia taksir bukan terbuat dari bahan yang murah. Ia melihat gelang kecil melingkar di pergelangan tangan wanita itu. Dialah menantu bu Asih. Ia langsung teringat menantunya sendiri. "Nasib ... nasib," keluhnya dalam hati.
"Assalammualaikum!" sapanya.
"Waalaikumsalam. Ibu Mira, ya?" tanya wanita itu ramah.
"Iya, Mbak," jawab bu Mira membalas dengan tak kalah ramah. Menantu bu Asih itu segera membukakan pagar untuknya.
"Silahkan masuk, Bu. Ibu sudah menunggu di dalam," ujarnya. Bu Mira pun melangkah masuk.
"Apa kabarnya Bu?" sapa bu Asih keluar dari ruang dalam.
Bu Mira yang belum dua menit duduk di ruang tamu yang terlihat elegan itu pun kembali berdiri.
"Baik, bu Asih. Maaf lho Bu, kalo kedatangan saya ini mengganggu," jawabnya sambil tersenyum basa-basi. Keduanya saling bersalaman.
"Ah nggak kok, Bu. Sore ini saya sudah santai," jawab wanita berjilbab panjang itu seraya tersenyum.
Bu Mira kembali duduk di sofa yang terasa empuk di bokongnya. Sebelum menyatakan niat tujuannya kemari, ia berbasa-basi dahulu menanyakan kegiatan bu Asih serta kabar anak dan menantunya. Ketika menceritakan perihal anaknya, bu Asih balik menanyainya soal kedua putranya.
"Putra Bu Mira gimana kabarnya? Kerja di mana?"
"Feri sekarang kerja jadi tenaga admin di kantoran, Bu. Ya Alhamdulillah, walau gajinya tidak terlalu besar cukuplah untuk biaya hidup kami," jawab bu Mira sambil tersipu.
"Tadi pagi saya lihat menantu Bu Mira, cantik juga, ya," ucap wanita itu memuji.
Bu Mira yang mendengar menantunya dipuji merasa tak senang. "Ah, biasa saja, Bu. Lebih cantik mantu Ibu, Mbak Rani," tukasnya cepat. "Sudah cantik, kerjanya PNS lagi. Ibu pasti bangga, ya," ucapnya memuji-muji menantu bu Asih.
"Ya, Alhamdulillah. Gak ada yang perlu dibanggakan, biasa saja. Yang penting bersyukur," ucap bu Asih sambil tersenyum.
"Tapi enak Bu, kalo suami istri dua-duanya kerja. Kebutuhan tercukupi dan kita sebagai orang tua tinggal duduk manis menerima pemberian dari anak-anak kita, Bu," jawab bu Mira tanpa malu-malu.
Raut wajah bu Asih sedikit berubah. "Omong-omong, menantu Bu Asih bukannya pernah kerja, ya?" tanyanya mengalihkan.
Mendengar pertanyaan wanita di hadapannya itu, bu Mira tercekat. "I-iya, Bu. Dulu kerja di rumah makan. Sekarang sudah gak kerja, fokus ngurus cucu, Bu," ucapnya merasa malu.
"Oh, gak papa tho, Bu. Biar anak-anak diasuh oleh ibunya langsung," timpal bu Asih.
Bu Mira hanya mencebik mendengar perkataan wanita yang usianya beberapa tahun di atasnya itu, yang terkesan membela menantunya.
"Oh ya, kalau putra ibu yang kedua di mana kerjanya?" tanya bu Asih lagi.
"Sementara ini Fahri masih bantu saya jaga warung sambil cari-cari kerja, Bu," jawabnya senang kerena topik itu yang akan ia utarakan.
Bu Asih manggut-manggut.
"Oya Bu, perihal kedatangan saya kemari mau minta tolong ke mantu Ibu kalau ada lowongan pekerjaan buat Fahri. Sukur-sukur kalau ada kenalan juga buat jodoh anak saya Itu." Ia berkata dengan malu-malu.
Bu Asih menaikkan alisnya, kemudian ikut tersenyum.
"Oh, ada perlu dengan menantu saya. Sebentar ya, Bu. Tak panggilkan." Kemudian bu Asih memanggil menantunya. Tak lama, wanita muda yang terlihat elegan itu keluar.
"Ini lho, Ran. Bu Mira mau minta tolong sama kamu kalau-kalau ada lowongan kerjaan buat anaknya, si Fahri," terang bu Asih pada menantunya.
"Iya, Mbak. Sekalian mungkin Mbak Rani punya punya teman atau kenalan yang sedang mencari jodoh atau pacar. Biar dikenalin nanti sama Fahri," timpal bu Mira tak malu.
Menantu bu Asih itu terlihat menautkan alisnya. "Intinya mau cari kerjaan atau jodoh ya, Bu?" tanyanya bingung.
"Dua-duanya Mbak, kalau ada," jawab bu Mira dengan malu-malu.
Bu Asih dan menantunya saling berpandangan.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (214)

  • avatar
    Jaka89

    mantap sudah sangat menghanyutkan kalau membaca jadi nagih pingin membaca terus

    04/04/2022

      0
  • avatar
    TarmiziIzzati

    cerita yang bagus dan menceritakan tentang seorng ibu yng mengiginkan menantu berkeja bagus supaya hidup senang,kalian harus baca novel ini

    28/01/2022

      1
  • avatar
    PatimahSiti

    good

    10d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด