logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Tujuh

Stefan benar-benar membantuku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Aku tahu dia tidak bermaksud apa-apa saat tangannya melingkar di pinggangku guna membantuku memotong kentang dan wortel untuk membuat sup. Begitu pula saat kami sedang mengepel. Akan tetapi, perasaanku menjadi semakin campur-aduk.
        Seberkas air terpercik di wajahku. Siang itu kami sedang bersama mencuci pakaian. Aku sempat terkejut dan menoleh pada Stefan dengan cepat.
      "Apa kau akan memarahiku?" tanyanya.
"Karena membangunkanmu dari mimpi indah."
      "Aku hanya sedang memikirkan sesuatu," jawabku pelan. Aku kembali melihat ke arah bak berisi pakaian yang sedang kami cuci. Melihat siluet wajah Stefan di bawah bias sang surya membuat hatiku mencelos. Bayangan diri lelaki muda itu terlihat bagai lukisan yang diukir dengan indah.
        "Baguslah, aku hanya tidak mau pengawal pribadiku berkata bekerja tapi nyatanya ia hanya melamun," ucap Stefan lagi. Setelahnya ia kembali memercikkan air di wajahku.
        "Apa sih kau ini?" ucapku sambil membalas memercikkan air padanya. Stefan segera membalas. Kami berdua larut dalam permainan itu seperti dua orang anak kecil yang sedang asyik bermain.
          "Tawamu cantik," ujar Stefan tiba-tiba. Aku terkesiap dan segera berhenti melakukan permainan.
          "Aku tidak suka kau memujiku seperti itu," ucapku sambil bergegas masuk ke dalam.
***
        Aku telah membersihkan diri dan berganti pakaian. Meski begitu, aku tetap tidak keluar dari kamar. Aku merasa harus mengendalikan diri. Hatiku terus saja terusik oleh kehadiran Stefan.
      Apa aku hubungi saja Pak Harsono dan memberitahu dia bahwa aku mengundurkan diri? Tapi bagaimana dengan perjanjian kami?
      Ponselku tiba-tiba berbunyi. Aku mendengus kesal saat melihat nama yang tertera di sana. Siapa lagi kalau bukan Vano. Di ponselku hanya ada tiga nama. Pak Yan, dia, dan Pak Harsono. Dulu dia yang memaksa untuk memasukkan nama dan nomor di ponselku meski aku sudah mengancam akan mematahkan jarinya. Kami hampir berkelahi saat itu. Hanya saja Pak Yan segera melerai. Di tempat semacam itu, selalu adu fisik yang menjadi jalan keluar.
        "Ada apa?" tanyaku garang setelah mengangkat telepon.
        "Aku kangen padamu. Kau ada di mana?"
      "Urus saja urusanmu sendiri. Tidak perlu mencari tahu keberadaanku."
      "Ayolah Nila."
      Aku tidak peduli lagi dan segera kututup telepon. Dasar Vano. Dia selalu menelepon dan membicarakan hal yang tidak penting. Sungguh heran aku bagaimana orang norak seperti dia bisa menjadi seorang pembunuh, tapi kudengar Vano tidak pernah gagal melaksanakan tugas. Kami tidak pernah bertugas bersama. Aku tidak mampu membayangkan wajah Vano menjadi keji.
        Mungkin karena dia sama seperti aku. Kami hidup di tempat yang sama. Mengetahui bahwa masing-masing dari kami adalah pembunuh ahli, tetapi kehidupan kami berlangsung normal di sana, kecuali perkelahian yang sering terjadi jika ada masalah.
        Aku menghela napas panjang. Kehidupan di sana adalah hal yang normal untukku, tetapi tidak untuk orang lain. Aku tidak bisa membayangkan Stefan menerima kehidupanku itu.
        Aku bodoh. Bahkan dia akan membenciku. Dia akan menganggapku sama seperti orang-orang yang menyebabkan kematian Vita dan dua polisi itu, gumamku pelan. Lagipula apa yang kupikirkan? Dia tidak mungkin jatuh cinta padaku. Perasaannya pada Vita begitu dalam. Dia hanya kesepian karena itu berusaha untuk dekat denganku.
        Suara Stefan terdengar olehku. Rupanya ia sedang berdiri di luar pintu kamarku.
        "Aku tidak tahu apa aku telah melakukan kesalahan. Aku hanya ingin dekat denganmu. Lagipula jika kau ingin menjagaku, aku ingin kita bisa akrab. Menjadi sahabat."
        Kubuka pintu dengan cepat. Sejenak penampilan Stefan yang gagah dalam balutan sweeter abu-abu membuatku terpesona, tapi segera kukendalikan diri.
        "Aku sudah bilang bukan aku tidak tertarik menjadi temanmu?" sergahku.
        "Tapi kenapa? Kenapa setiap kali ada sesuatu yang berkaitan dengan emosi kau selalu menghindar? Kau adalah manusia, Nila. Kau bisa tertawa saat bahagia dan menangis kala sedih."
        "Perasaan seperti itu, aku sudah lama menghilangkannya dan aku tidak pernah membutuhkan hal semacam itu dalam hidupku!"
        Stefan memegang pundakku dan mengguncang keras.
"Apa kau tahu kehidupanmu itu tidak normal? Setiap manusia pasti memiliki perasaan. Tapi kau menutupi semua itu."
        Kuraih tangannya dan kubanting dia ke lantai dengan keras.
"Jangan ikut canpur lagi urusanku. Jangan pernah lagi bertindak melebihi batas. Aku berada di sini hanya untuk melakukan tugasku, bukan menjalin pertemanan dengan siapa pun. Bisakah kau bersikap seperti itu?"
        Wajah Stefan mengernyit kesakitan. Segera kulepaskan dia dan berjalan menjauh.
"Kuharap kau membatasi diri, jika tidak aku akan mundur dari tugas ini. Setelah itu, hidup dan matimu, juga bencana yang akan terjadi, aku tidak lagi peduli."
        Stefan berdiri mematung, tetapi dia masih lekat menatapku. Perlahan dia menggeleng.
        "Sekarang kau sudah mengerti maksudku. Kuharap jangan bersikeras lagi untuk mencoba dekat denganku dan keluarlah dari kamar ini!"
        Pria muda itu diam dan bergegas keluar. Mungkin kali ini dia sudah benar-benar menyerah. Aku sendiri sudah lelah dengan perasaan yang seolah berkhianat setiap kali aku bertemu dengan Stefan.
        Jika kami tidak lagi dekat, aku pasti bisa membenahi perasaanku menjadi seperti semula. Jauh dan tidak tersentuh.
***
        Hari ini Stefan tampak memakai pakaian rapi. Kemeja putih dan celana panjang hitam membuat dia tampil memikat. Saat melihatku, dia hanya mengangguk. Kurasa dia mulai mengerti maksudku untuk menjaga jarak di antara kami. Sekarang kami bahkan bertegur sapa. Perasaan kehilangan yang kurasakan segera kutepis pergi.
        Ada apa denganku? Bukankah ini yang kuinginkan?
Kulihat kembali sosok Stefan. Mungkin karena perasaan yang tidak kumengerti dalam hatiku, aku jadi merasa kehilangan dia. Perasaan ini pasti hanya sementara dan semua akan kembali normal.
        Suara ketukan di pintu depan membuatku bangkit dari duduk dan segera membuka pintu kayu berornamen unik tersebut dengan sikap siaga.
        "Siapa kau?" tegur seorang gadis dengan rok bunga-bunga. Parfumnya beraroma mahal. Rambutnya yang ikal berwarna coklat gelap. Matanya yang mengenakan lensa kontak coklat menatapku curiga.
        Aku juga balas menatap tanpa segan.
"Kau sendiri siapa?"
          Meski aku tidak pernah bertugas melindungi orang sebelumnya, aku tahu bahwa aku harus waspada pada setiap orang yang datang ke rumah Stefan.
        "Irana, kau sudah datang?" tegur Stefan yang tiba-tiba muncul di belakangku. Senyum manis dari wajah nan ayu di hadapanku merekah. Tanpa sungkan, gadis tersebut langsung menggamit dan menggelayut mesra di lengan Stefan.
          Jadi Stefan bukan tipe kekasih setia? Kupikir dia masih belum bisa melupakan Vita. Ternyata malah sudah ada gadis ini. Dasar laki-laki. Mereka semua sama saja. Tidak ada kesetiaan saat melihat gadis cantik di depan mereka.
          "Stefan, dia siapa?" tanya gadis bernama Irana itu sambil kembali menatapku. Tatapannya seperti merendahkan, tetapi aku tidak peduli. Gadis manja dan kaya seperti dia tentu memiliki kehidupan yang berbeda denganku.
          "Dia itu hanya pegawaiku. Namanya Nila."
            "Lalu kenapa dia berada di sini sepagi ini?"
            "Tentu saja karena dia tinggal di sini. Bersamaku."

หนังสือแสดงความคิดเห็น (35)

  • avatar
    SitumorangTheresia

    puas bngttt

    10d

      0
  • avatar
    SaputraNugi

    seru

    17/07

      0
  • avatar
    20Aminatun

    sangat bagus

    04/06

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด