logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Penolong

Aksi saling tonjok, saling tendang, dan saling  jambak antara Alka dan empat orang berandal itu pun terjadi.
Splash! Darah segar mengucur di hidung si rambut emo. Dia lari, menyerah.
"Ke pinggir!" teriak Alka pada Ayuni yang malah tertegun.
Buk! Tengkuk Alka berhasil dipukul oleh si tato kupu-kupu di lengan. Alhasil hal itu membuat Alka membalasnya dengan menendang tubuh bagian inti lawannya. Pria itu ambruk.
"Duduk di sana!" Alka menunjuk pos ronda dan Ayuni menurut.
Kini si berandal dengan hidung ditindik hendak meninju wajah Alka. Namun, dengan tangkasnya Alka malah meraih tinju itu. Memelintirkan pergelangan tangan si hidung ditindik hingga ia mengaduh.
"Ampun, Bang!" erangnya kemudian Alka melepaskannya.
Tinggal satu lagi berandalan yang tersisa. Tanpa perlawanan lagi, dia kocar kacir tak ingin merasakan apa yang dialami teman-temannya.
"Beres, ada yang luka enggak?" Alka menghampiri Ayuni yang terlihat shock duduk di pos ronda.
"Gue tiba-tiba jadi be go. Harusnya lari ngapain masih duduk di sini?" gumam Ayuni tapi Alka mendengarnya.
"Bukan be go, tapi kaget. Atau terkesima lihat gue ngelumpuhin mereka?" tebak Alka antara sombong dan bangga.
"Dih, sering banget gue lihat orang berantem. Cuma nih ya, elo sendiri mereka berempat bisa kalah. Kayak sinetron," cibir Ayuni.
Di luar dugaan Alka, dia pikir Ayuni akan berterima kasih lalu memujinya. Malah mengatai seperti sinetron.
"Eh tapi, elo nggak apa kan?" Ayuni mengabsen wajah Alka.
Hidung yang mancung, alis kerung yang tebal. Bibir tipis nan keriting. Hais! Bukan itu Ayuni, lihat lukanya! Ayuni merutuki ke bo doh an dirinya sendiri.
"Udah belom lihatnya?" goda Alka dengan senyum miring, kemudian meringis sebab pipinya terasa nyeri.
Apa wajah gue sebonyok itu? Apa kelihatan jelek? Batin Alka, khawatir.
"Duh, rusak!" pekik Ayuni menoleh pada hal lain.
Kemudian ia beranjak dari duduk, mengambil ponsel yang layarnya hancur.
"Hapenya baru, ya?" Ayuni mengacungkan hape hancur itu pada Alka.
"Gue pikir nggak jatuh," ujar Alka merebut ponselnya dari tangan Ayuni.
"Mukanya tegang banget?" selidik Ayuni.
"Hape baru lunas dapet nyicil, malah rusak," keluh Alka meratapi nasib ponselnya.
"Waduh, merasa bersalah banget deh gue. Sini sini!" Ayuni merebut kembali ponsel di genggaman Alka.
Gadis itu berpikir sejenak sambil mengetuk-ngetuk ujung ponsel ke dagunya.
"Besok ketemuan di stasiun Depok jam 3," celetuk Ayuni.
"Mau apa?" Alka so jual mahal.
"Mau gue ganti nggak hapenya?" Ayuni menyentak.
Sesuai perkiraan gue, tambah suka kalo kayak gini.
"Menurut elo?" Alka bingung juga. Ingin menolak ia butuh ponsel. Ingin menerima, di mana urat malunya?
"Jangan belagu. Jangan sok nggak mau. Gue anti punya utang budi. Salah-salah nanti diungkit kemudian hari. Mending selesein dari sekarang," papar Ayuni membuat bibir Alka tertarik ke atas.
Dia emang beda. Nggak basa-basi. Enggak sok cantik. Padahal cantik banget.
"Ok, gue anterin pulang, ya?" Tapi kemudian Alka bingung sendiri, mau dengan apa dia mengantar Ayuni pulang?
"Ya ampun!" Ayuni teriak menepuk jidatnya sendiri.
"Gue belum salat magrib," lanjutnya seraya melihat jam di pergelangan tangannya.
"Balik ke rumah Pak RT aja ya buat salatnya?" saran Alka tak mau mengajak Ayuni ke kontrakannya. Bisa alergi dia, begitu pikir Alka.
"Gue anter ke rumah Pak RT, elo salat. Abis itu gue jemput lagi. Gimana?" tawar Alka.
"Ya udah deh, daripada gue diganggu lagi sama be randalan tadi." Ayuni pasrah saja.
Keduanya berjalan bersisian menuju rumah pak RT kembali. Sesekali Alka mencuri pandang pada pujaan hatinya. Sesuai apa yang ada di pikirannya, Ayuni bukan sosok so manis manja.
Beruntung pak RT tak banyak tanya, mengapa Ayuni kembali lagi ke rumahnya. Tepat gadis itu selesai salat, Alka kembali dengan motor Scoopy berwarna hitam.
"Mau elu yang anter, Ka?" Pak RT ragu.
"Iya pak rete," sahut Alka pendek.
"Elo nggak apa-apa anter gue balik?" Ayuni jadi ragu.
"Elo takut ke gue?" tuding Alka.
"Bukan takut, elo bisa dipercaya enggak?" selidik Ayuni.
"Tadi gue nagapa-ngapain elo, enggak?" Alka balik bertanya.
"Ehm, enggak sih. Tapi 'kan ...."
"Udah kagak apa-apa, Neng. Alka baik kok, walopun slengean." Pak RT memberi pujian sekaligus sindiran.
"Ayo naek, mau kejadian kayak tadi lagi?" Alka menakut-nakuti.
Akhirnya Ayuni memutuskan untuk setuju saja. Setelah berpamitan pada pak RT dia naik ke motor Alka.
Baru sampai gang, Alka menghentikan laju motornya.
"Jangan bilang mogok," sindir Ayuni reflek turun dari motor.
"Kagak, doain yang baik-baik kek," desis Alka seraya membuka jaketnya.
"Pake!" Pria itu menyodorkan jaket pada Ayuni.
"Gue nggak punya penyakit. Lagian baru diangkat dari jemuran. Nih cium!" Alka sengaja menenggelamkan jaketnya ke wajah Ayuni.
Tak bisa dipungkiri, jaket jeans belel itu memang wangi. Khas pewangi pakaian.
"Direndem pake Downa, puas?" Alka kemudian beranjak dari motor lalu memakaikan jaket pada Ayuni.
"Gue bisa sendiri!" bentak Ayuni.
"Ya udah pake sendiri, yang bener. Kancingin, nanti masuk angin," nasihat Alka.
"Ye enggak apa ketimbang masuk neraka," sambar Ayuni seraya memakai secara benar jaket itu. Tubuhnya langsung terasa hangat. Nyaman. Gadis itu kemudian naik kembali ke atas motor.
"Di mana alamatnya?" tanya Alka sebelum melajukan motornya.
"Arah kanan, nanti gue kasih tahu di jalan!" seru Ayuni mengomando.
"Siap, komandan!"
Waktu selalu terasa cepat berlalu bila dihabiskan dengan orang yang disukai. Begitu yang Alka rasakan. Sudah sampai saja mereka di depan gerbang tinggi sebuah perumahan mewah.
Ayuni cepat-cepat turun dari motor, gadis itu hendak membuka jaket tapi Alka mencegahnya.
"Enak aja, cuci dulu!" sindir Alka.
"Yeay, gue mau balikin karena takut elo kedinginan," cibir Ayuni tak jadi melanjutkan membuka jaketnya.
"Kulit gue kulit badak. Nggak mempan angin," celetuk Alka membuat Ayunia penasaran ingin mencubit lengan Alka. Putih bersih, terlihat halus. Kelihatannya pria itu jarang mengekpose bagian lengannya, sebab terlihat kontras dengan punggung tangannya yang berwarna lebih gelap.
"Woho iya kek kulit badak!" Ayuni mencubit bahkan sampai memelintir kulit pada bagian lengan Alka.
"Anj ay, Yuyun!" teriak Alka kesakitan.
"Eh si teler enak aja ganti nama orang sembarangan," sungut Ayuni kembali mencubit lengan Alka.
"Sakit, Yuyun!" Suka sekali Alka melihat raut kesal Ayuni barusan.
"Bodo amat!" Ayuni tak peduli, ia memilih memencet bel agar segera dibukakan pintu pagar oleh  Mamud, salah satu asisten di rumahnya.
"Udah sana balik. Besok jam tiga jangan sampe telat!" ancam Ayuni.
"Hmm, ok ok!" sahut  Alka. Bukan senang sebab ponselnya akan diganti. Tapi bahagia bisa bertemu lagi Ayuni.
Alka kemudian melajukan motornya setelah memastikan Ayuni masuk ke rumahnya. Harusnya Alka minder, melihat gerbang rumahnya saja sudah mewah. Apalagi isinya. Tapi, ia rasa untuk apa minder? Kelihatannya Ayuni bukan orang yang memandang sesamanya dari segi ekonomi.
Tiba di ruang tamunya yang mewah, Ayuni menjatuhkan diri ke atas sofa. Tubuhnya terasa lelah sekali.
"Neng, mau minum?" tawar Mak Eti, asisten rumah bagian dapur.
"Nanti aja, Mak. Cape banget nih!" Ayuni memejamkan matanya.
"Ayuni Ratulangi, apa yang kamu kasih ke warga kampung itu?" Tiba-tiba suara seseorang yang melengking membuat Ayuni refleks duduk menegakan badan dan membuka matanya lebar-lebar.
"Apa sih, Mam?" Ayuni pura-pura tak mengerti.
"Ini apa?" tuding Mama Yusma seraya menunjukan ponselnya.
"Kamu kasih mereka uang berapa?" tuduh Mama Yusma.
"Apa sih Mam?" Ayuni mulai khawatir.
"Kamu kasih berapa lembar?" desak Mama Yusma.
"Jawab!" ancam Mama Yusma.
"Mama tahu dari mana?" Ayuni jadi heran, beberapa kali ia melakukan hal itu belum pernah ketahuan, kenapa sekarang bisa tercium oleh sang mama?
"Akun medsosmu di-tag oleh seseorang. Gambarnya jelas sembako dan amplop. Pasti isinya uang?" Mama Yusma menunjukan foto yang ada di ponselnya.
"Mampus gue! Lagian gaul bener dah pake maen medsos segala. Gue lupa lagi enggak bilang jangan diumbar," rutuk Ayuni dalam hati.
"Berapa lembar?" sentak Mama Yusma.
"Sepuluh," jawab Ayuni jujur.
"Sepuluh kali 50 aja udah berapa, Neng Ratu?" bentak Mama Yusma.
"Apa salahnya sih, Mam?" Ayuni berdiri, lelahnya menguap begitu saja.
Padahal tadi ia membayangkan setelah ini akan berendam air hangat yang dicampur dengan aromatherapy. Kemudian makan malam ikan asin dengan sambal goang khas Mak Eti. Kini, semuanya melebur begitu saja. Hilang seluruh minatnya.
"Itu uang, bukan daon. Didapet pake keringat kamu, hasil tangan Mama yang ngemanage semuanya. Kamu bagiin cuma-cuma. Enak banget mereka!" cecar Mama Yusma langsung terasa nyeri di hati Ayuni.
"Gue ini anaknya apa cuma mesin pencetak duit sih? dari kecil jadi artis, tapi tiap kali mau pake duit harus jadi bahan omelan mulu," batin Ayuni.
"Ini yang terakhir ya, Neng. Mama enggak mau ada kejadian kayak gini lagi!" ancam Mama Yusma sembari pergi.
"Mak, bikinin indomie telor, pake bakso sama rawit. Anter ke kamarku ya!" teriak Ayuni sambil berlalu.
"Hei, no! jangan didenger, Mak. Neng, kamu artis harus jaga badan. Jangan makan mie malam-malam. Kasih dia salad buah aja, Mak," sambar Mama Yusma membuat Ayuni terkekeh pelan.
"Masih peduli ternyata, orang cuma becanda." Ayuni segera naik ke lantai dua, menuju kamarnya. Pening.
***
Alka mengembalikan Scoopy milik babeh Siroj tepat waktu. Tadi, ia janji pada Cing Mela akan mengembalikan tak kurang dari pukul 20.30.
Saat mengembalikan motor itu, Babe Siroj baru kembali dari mengamen. Beliau adalah seorang pengamen ondel-ondel keliling.
"Maen ke mana aja, Beh?" Alka membantu Babe Siroj meletakan ondel-ondel berbaju merah ke dekat pintu masuk.
"Gue sampe Bogor tadi tuh, rame Alhamdulillah." Babe Siroj mengibas wajahnya lelahnya dengan kopiah hitamnya.
"Kuat bener, Beh. Mayan jauh tuh." Alka terkagum-kagum.
"La, Mela. Bikinin gue kopi dah. Sekalian Alka nih!" teriak Babe Siroj.
"Ya gue berenti-berenti. Sama si Iyan mah kagak ada capenya." Babe Siroj menjawab pertanyaan Alka setelah berteriak pada putrinya ingin dibuatkan kopi.
"Gulanya abis, Beh!" teriak Cing Mela dari dalam.
"Udah, Beh. Saya mau pulang, kok." Alka meraih tangan Babe Siroj untuk ia cium.
"Lah, buburu amat. Eh elo dari mana pake motor. Ibu lo baek-baek pan?" Biasanya Alka meminjam motor untuk mengantar ibunya berobat.
"Bae kok, biasa anak muda beh," bisik Alka seraya kembali pamit dan pergi.
"Si Alka, muka artis nasip kang mulung. Moga nanti dapet nasip bae dah tuh anak," gumam Babeh Siroj memandangi kepergian Alka.
"Nih, Beh kopinya." Cing Mela keluar membawa kopi dalam gelas besar, gelas kebangsaan Babe Siroj.
"Apan kata elu gulanya abis." Babe Siroj heran.
"Tadi akting biar Alka cepet balik. Keenakan nanti kalo disuguhin."
"Elu, Mel. Kagak ada sedekahnya pisan jadi orang. Sekarang si Alka masih kere bisa elu gituin. Kita kagak tahu nasip dia ke depannya, Mela!" cecar Babe Siroj.
"Udahlah, Babe minum aja kopinya. Pokoknya jangan bae-bae amat ama Alka mah. Keluarga nggak jelas," hina Mela.
"Mela, Mela ... Kebangetan lu!" bentak Babe Siroj, namun Cing Mela memilih masuk tanpa menanggapi lagi omongan babenya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (39)

  • avatar
    JayaBintang

    daimons epep

    15/08

      0
  • avatar
    BINTI MOHD NORROZAINI

    good

    13/07

      0
  • avatar
    M Nauval

    dafa

    05/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด