logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Bebas Tugas

Setelah menjelaskan panjang lebar hasil dari kerja sama perdananya dengan Lukman, Pak Hendi mengizinkan Lukman untuk menyuap petugas agar barang yang bermasalah itu bisa keluar dari gudang bea cukai.
“Mereka minta berapa, Naura?” tanya Pak Hendi sengit.
“Belum menyebut jumlah, Pak. Menurut Pak Lukman biasanya patokan mereka dari harga barang kita,” jelas Naura.
“Gila!” teriak Pak Hendi.
Teriakan Pak Hendi barusan membuat Naura memberi jarak antara ponsel dengan telinganya, Lukman dan Gunawan pun ikut mendengar teriakan itu. Lukman tersenyum tipis, hanya Gunawan yang tanpa ekspresi.
“Kamu atur jangan terlalu mahal, saya ‘kan mesti bayar biaya lain-lain juga. Maksimal sepuluh juta, kurang dari itu lebih bagus lagi. Kamu nego, ya, Naura. Jangan iya-iya aja.”
Hal inilah yang bertentangan dengan hati nurani Naura, Pak Hendi tidak ingin ada masalah di perusahaannya, lalu menyarankan memberi uang pelicin untuk memudahkan pekerjaan. Namun begitu meminta persetujuan untuk jumlah yang pantas, dia akan berkilah dan meminta jumlah yang lebih kecil.
“Tolong diteruskan dulu prosesnya, supaya tidak berlarut. Pak Lukman tolong kondisikan lapangan, saya akan kembali ke kantor untuk pengajuan dana operasional?” jelas Naura.
“Kesanggupan perusahaan berapa, Bu?” tanya Lukman malu-malu.
“Standarnya berapa, Pak Gun?” tanya Naura ke Gunawan.
“Kalau dilihat dari nilai barangnya, paling tidak sepuluh juta, Bu,” jawab Gunawan.
Naura menangkap ada permainan antara Gunawan dan Lukman, namun dia tidak ingin memperpanjang kecurigaannya. Dia ingin segera bebas tugas dan melimpahkan semua tugasnya ke Lukman.
“Tolong dinegoin dong, Pak. Perdana nih, setelah ini akan banyak job untuk bapak. Jangan terlalu tinggi dong, pak,” rayu Naura.
“Serius, Bu?” tanya Lukman penasaran.
“Iya. Bapak siap-siap, kerja yang bener. Saya kasih tau, ya. Perusahaan yang sedang bapak tangani saat ini perusahaan keluarga, mereka semua nggak terlalu paham masalah impor. Lebih tepatnya peraturan detail impor, jadi bapak harus menjelaskan secara detail setiap masalah yang bapak hadapi. Atasan bapak ada tiga orang, direktur utama, anak kesayangan, namanya Pak Hendi. Direktur operasional, ayah Pak Hendi, namanya Pak Alex. Sedangkan Pak Tommy, adik dari Pak Alex, direktur keuangan. Setiap hari bapak harus laporan ke mereka semua, inget ya, Pak. Jangan lupa laporan!” jelas Naura.
Lukman terlihat mengangguk-angguk, mengangguk tanda mengerti atau hanya sekedar mengangguk, entahlah. Saat Naura memberikan penjelasan tentang perusahaannya, Lukman terlihat terpesona dengan tutur kata Naura yang teratur. Tegas, namun tetap lembut.
“Siap, bos!” jawab Lukman sambil memeragakan sikap hormat ke arah Naura.
Gunawan dan perempuan yang dari tadi memerhatikan Naura pun ikut tertawa.
“Mbak ini admin Pak Gunawan?” tanya Naura mengalihkan pembicaraan.
“Dia mah merangkap semua, Bu. Sekretaris, admin, office girl, sesekali tukang pijit Gunawan,” ujar Lukman berseloroh.
“Dasar, lo, Bang. Iya, Bu. Saya Vera,” jawabnya mengulurkan tangan memperkenalkan diri.
Naura menyambut tangan Vera.
“Tolong dilanjutkan, ya, Pak. Saya kembali ke kantor dulu, tolong saya kabari setiap ada perkembangan. Transfer dokumen bisa siang ini?” Naura berulangkali mengucapkan kalimat yang sama untuk memastikan masalah ini akan segera terpecahkan.
“Iya, Bu. Siang nanti biasanya dapat respon, sekitar jam dua siang. Kalau tidak ada masalah, besok pagi petugas bisa cek ulang barang. Setelah saya transfer dokumen, nanti saya minta Lukman kondisikan di lapangan. Yang pasti biaya operasional diberikan sebelum pemeriksaan, ibu pahamlah,” ujar Gunawan.
“Iya saya paham, Pak. Tolong kordinasinya, ya, Pak. Ini kartu nama saya,” ujar Naura menyerahkan kartu nama ke Gunawan dan juga Vera.
Setelah menyerahkan kartu nama, Naura melihat sebuah taksi terlihat sedang parkir di depan ruko Gunawan.
“Tolong stop taksinya, Pak. Saya mau ke kantor,” pinta Naura ke Lukman. Lukman pun menghampiri taksi itu, setelah berbicara sebentar Lukman membukakan pintu dan mempersilakan Naura masuk.
“Terima kasih, Pak. Saya tunggu laporannya,” ujar Naura dan melambaikan tangan.
Hampir dua jam perjalanan, Naura sempat hampir tertidur di dalam taksi. Sampai akhirnya dia mendengar suara panggilan telepon, setengah mengantuk dia melihat layar ponsel. Rio!
“Aku baru sampe di Cengkareng, Naura. Maaf nggak bales chat kamu. Kamu lagi ada dimana?” tanya Rio tanpa basa-basi menanyakan kabar Naura, padahal sudah sebulan Rio tidak berkabar sama sekali.
“Aku dalam perjalanan ke kantor dari bea cukai. Apa kabar, Yo? Sehat,” tanya Naura datar.
“Sehat, sayang. Maaf aku lupa nanya kabar kamu, anak-anak bagaimana kabarnya? Sehat semua ‘kan? Sabtu ini aku ke rumah, ya. Kita jalan-jalan. Kamu hati-hati. Aku sudah dijemput supir kantor, bye Naura. I love you,” ujar Rio.
“Love you, too,” jawab Naura.
“Kita sudah sampai, Bu,” ujar supir taksi.
Naura terkejut, karena dia tidak menyadari kalau saat ini taksi sudah terparkir di depan kantornya. Dia melihat Tommy berjalan dari arah pabrik menuju ke kantor, ada Beni berjalan di belakang Tommy.
“Udah selesai urusanmu, Naura?” tanya Tommy.
“Belum. Saya mau mengajukan dana operasional, Pak,” jawab Naura.
Beni ikut mendengarkan pembicaraan mereka berdua, “berapa banyak?” tanya Tommy lagi.
“Sepuluh juta!” jawab Naura.
Mereka berjalan beriringan melewati pintu yang berukuran cukup besar di hadapan mereka, ujung mata Naura menangkap sosok Pak Hendi yang melambaikan tangan memanggil Naura.
“Udah sana,” ujar Tommy kesal.
“Udah beres? Kok kamu udah pulang? Kabar baik apa yang bisa saya dengar?” tanya Pak Hendi beruntun.
Mereka duduk berhadapan di kursi sofa di ruangan kerja Pak Hendi.
“Dokumen akan diubah dulu, untuk ganti PPJK. Setelahnya ditransfer ulang, Pak Lukman masih di bea cukai untuk mengkondisikan petugas. Setelah jam dua siang, dia akan kabari saya. Besok pagi uang operasional harus sudah ada,” jelas Naura.
“Oke, kamu temui Tommy. Minta sepuluh juta, bilang saya sudah setuju. Saya ada meeting di luar, nanti kabari saya lagi,” ujar Pak Hendi kemudian bangkit dari sofa dan meninggalkan Naura.
Naura pun melangkahkan kakinya ke ruangan Donna—staff finance untuk minta dibuatkan cek.
“Aku tolong dibukain cek sepuluh juta, dong. Tadi Pak Hendi sudah acc, nanti aku mintain tandatangan Pak Tommy.”
Tanpa banyak bicara Donna meraih buku cek, lalu menuliskan sejumlah uang yang disebutkan Naura.
“Terima kasih, Donna. Pak Komar standby, ‘kan? Aku mau minta tolong dia langsung ke bank,” tanya Naura.
“Buat istri bos apa, sih, yang nggak,” ledek Donna.
Lima orang karyawan yang seruangan dengan Donna ikut tertawa mendengar ledekan Donna. Naura tidak mengubris ucapan Donna, dia membawa selembar kertas dan sebuah cek diatasnya untuk ditandatangani Tommy.
“Minta tandatangannya, Tom,” ujar Naura setelah mengetuk pintu dan masuk.
Tommy menyiapkan pena kesayangannya, “pulang kerja kita dinner, yuk. Kamu punya hutang loh, sama aku,” ujar Tommy. Jika mereka sedang berduaan, Tommy memang biasa bersikap seperti ini. Begitu pun jika diluar jam kantor, dia akan berubah manja ke Naura.
“Tandatangan dulu, baru aku jawab,” jawab Naura menggoda.
Naura sengaja berkata seperti itu supaya Tommy cepat menandatangani cek, dia pun mengikuti apa yang diminta Naura.
“Terima kasih, Tom. Kita liat nanti, ya. Pak Hendi sedang ada meeting diluar, aku dari tadi belum ketemu Pak Alex. Takutnya sore nanti, dia mengajakku pulang bareng.”
Tommy mengangkat bahunya, dia mengerti maksud perkataan Naura. Jika Pak Alex memintanya untuk ikut pulang bersamanya, Naura tidak bisa menolak. Tommy harus mengalah tiap kali abangnya mengajak Naura.
Karisma Naura sebagai manajer keuangan di perusahaan ini memang sangat kuat, semua atasannya seperti berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatiannya.
Ditambah lagi Naura tidak memiliki suami, pesonanya sebagai wanita mandiri membuat banyak laki-laki ingin berlama-lama dengannya.
“Minta tolong Pak Komar ke bank, Don. Atau kamu punya uang tunai?” ujar Naura sambil menyerahkan cek yang sudah ditandatangani.
“Ada. Kapan mau diambil?” tanya Donna.
“Jam lima, ya. Nanti tolong aku diingetin,” pesan Naura.
Ponsel Naura berbunyi, panggilan dari Lukman.
“Iya, pak. Bagaimana?” tanya Naura khawatir.
“Sudah oke, Bu. Saya sudah pegang petugasnya, mereka minta delapan juta,” ujar Lukman.
“Kurang dong, bos nggak kasih segitu,” bujuk Naura.
“Nggak bisa, Bu. Awalnya mereka minta sepuluh juta, loh,” ujar Lukman lagi.
“Tujuh juta deh, biar jadi,” pinta Naura. Dia memberi kode ke arah Donna.
“Nggak bisa, Bu. Serius deh, saya dah nego tadi.”
Naura diam, dia berpikir sejenak. Untuk apa dia bersikeras meminta, toh Pak Hendi sudah menyetujui sepuluh juta. Lukman pun sudah bisa nego di angka delapan juta, mengapa dia harus bersikeras?
“Oke, Pak. Besok pagi kita ketemu di kantor Pak Gunawan,” jawab Naura.
Pembicaraan pun selesai, lalu Naura meminta Donna menyiapkan uang delapan juta.
“Dua jutanya kamu setor lagi, ya. Jangan lupa!” ujar Naura mengingat Donna.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (109)

  • avatar
    AjaRoni

    bagus

    6d

      0
  • avatar
    DavidHimang

    mantap

    13d

      0
  • avatar
    Moh Zamzam

    din sanmers ajgd aburuts anvvsagdyemnjaki skjis akis

    16/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด