logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 2 Kesan Pertama

Naura sudah mempersiapkan semua dokumen yang akan dia bawa untuk menemui kenalan Beni, sosok yang menurut Beni bisa membantu memecahkan permasalahan Naura.
Setelah menghabiskan sarapan pagi bersama kedua anaknya, Naura menerima telepon dari Pak Tommy.
“Morning, Dear,” sapa Pak Tommy.
“Selamat pagi, Pak,” jawab Naura datar.
Dia bangkit dari meja makan, lalu berjalan ke kamar untuk melanjutkan pembicaraan dengan Pak Tommy. Dia tidak ingin anaknya ikut mendengarkan pembicaraan ini.
“Ada apa, Pak?” tanya Naura pelan.
“Aku ‘kan biasa telepon kamu pagi begini, ada yang anehkah? Atau aku sudah tidak boleh menelepon kamu lagi?” ucap Pak Tommy dengan nada meninggi.
Pak Tommy selalu menjadi sosok yang berbeda jika diluar jam kantor, dia begitu memuja Naura. Kata-kata yang dia ucapkan begitu mesra, tetapi Naura tidak pernah menimpalinya dengan serius.
“Memangnya ada yang bisa membantahmu?” jawab Naura pelan.
“Aku dengar kamu mau pergi dengan Beni, ya? Urusan bea cukai lagi? Nggak selesai-selesai masalah yang menimpamu, sebenarnya kamu ada apa sih, dear? What happen with you? Cerita dong kalau kamu memang ada masalah, jangan nyalahin aku terus.”
Nada suara Pak Tommy sudah mulai mendayu-dayu, malah terdengar merengek-rengek seperti anak kecil yang tidak mau disalahkan.
Naura bingung harus menjawab apa, dia melirik arloji ditangannya. Sudah pukul tujuh lewat, Beni seharusnya sudah menjemputnya.
“I’m okay, I can handle this problem. Don’t worried.”
Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Naura, biasanya Pak Tommy menelepon Naura lima menit paling lama. Tetapi ini sudah menit ke delapan, Naura ragu untuk menyudahi pembicaraan.
“Ya udah, kayaknya kamu lagi nunggu telepon dari Beni, ya. Tadi aku juga sudah telepon Beni untuk memastikan apakah temannya bisa membantu kamu, nggak janji kosong. Kita taulah siapa Beni,” nyinyir Pak Tommy.
“Iya, Tom.”
Naura memang tidak nyaman jika menerima telepon dari Pak Tommy, salah ucap sedikit saja bisa jadi bulan-bulanan di kantor. Pak Tommy memang memiliki dua kepribadian.
“Bye, Naura. Miss you, see you at office, my dear.”
“See you, thank you, Tom.”
Dengan tergesa Naura menekan tombol untuk mengakhiri percakapan, lalu menghubungi Beni.
“Aku sudah di pinggir jalan di gang masuk rumahmu, Naura. Dari tadi aku coba hubungi ponselmu, tetapi sibuk terus,” ujar Beni.
“Iya, tadi Pak Tommy telepon,” jawab Naura sambil melangkah cepat menghampiri kendaraan Beni.
“Maaf, ya. Jadi lama menunggu,” ujar Naura sambil memasang sabuk pengaman.
“Tadi juga Pak Tommy telepon aku, nanyain kamu. Abis itu Pak Hendi juga telepon, dia juga nanyain kamu. Kamu nggak bisa dihubungi, teleponmu sibuk terus.”
Naura diam saja, dia mengambil ponselnya lalu menghubungi Pak Hendi.
“Saya minta hari ini ada solusi ya, Naura. Kamu jangan terlalu kaku dengan orang lain, harus lebih luwes. Kalau memang mereka minta duit, bilang saya, nggak usah kamu tutup-tutupi. Kamu jangan kebiasaan manut dengan ucapan Tommy, kalau dia nggak mau acc permohonan uangmu. Lapor saya!” ancam Pak Hendi.
Beni ikut mendengarkan apa yang diucapkan Pak Hendi barusan, ada rasa kasihan melihat Naura terus menjadi sasaran kemarahan Pak Hendi.
“Baik, Pak,” jawab Naura mengakhiri pembicaraan.
“Yang sabar, Naura. Sabar, jangan down dulu. Hari ini pasti ada solusinya,” ujar Beni berusaha menenangkan Naura.
“Saya sudah biasa diadu domba dengan Pak Tommy, jadi saya nggak perduli. Saya manut karena dia atasan saya di bagian keuangan, saya berusaha profesional. Mungkin menurut teman-teman di kantor perlakuan Pak Tommy berbeda terhadap saya, tetapi itu hanya sekedar perhatian atasan ke bawahan. Nggak lebih, saya nggak pernah pake perasaan menanggapi ucapan Pak Tommy,” jawab Naura tegas.
Beni pun akhirnya terdiam mendengar penjelasan Naura, dia tidak ingin menambah runyam suasana hati Naura.
Setelah satu jam perjalanan, mereka tiba di halaman parkir kantor bea cukai Tanjung Priok. Naura sudah beberapa kali kesini, namun kali ini dia datang dengan masalah yang cukup berat.
“Kita tunggu dimana, Pak?” tanya Naura.
“Di kantin aja, yuk.”
Lalu mereka turun ke lantai basement, suasana kantin pagi ini cukup ramai. Asap rokok memenuhi ruangan kantin, beberapa petugas berseragam tampak berkerumun.
“Halo, Bu Naura,” sebuah suara mengenali wajah Naura.
“Halo, Pak. Apa kabar?” tanya Naura menghentikan langkahnya.
“Tumben kesini? Ada masalah, Bu? Mungkin bisa kami bantu,” ujarnya sambil tertawa.
“Pak Heru bisa aja, nggak ada masalah kok, Pak. Mau diskusi aja dengan CS,” jawab Naura berbohong.
“Siap, lanjut, Bu. Kami lagi nunggu respon nih,” jawab Pak Heru.
Naura tersenyum lebar lalu melangkah ke meja kosong di dekat pintu keluar, Beni tahu kalau Naura tidak menyukai asap rokok.
“Udah jam sembilan, Pak. Kok teman bapak belum juga datang?” tanya Naura gelisah.
“Dia sudah disini, lagi di lift,” jawab Beni singkat.
Tak lama kemudian Beni melambaikan tangan, Naura melihat pria seumuran Beni mendekati mereka.
“Naura, kenalkan, ini Lukman,” ujar Beni.
Naura mengulurkan tangannya, Lukman meraihnya lalu mengelitik telapak tangan Naura dengan jari telunjuknya.
Dia terkejut dengan sikap Lukman, “eh. Apa-apaan, nih!” jerit Naura.
Mereka berdua tertawa, “elo masih koplak aja, bro,” ujar Beni.
Naura menatap Lukman tajam, dia memperhatikan penampilan Lukman dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jauh dari sikap profesional, malah bisa dibilang penampilannya seperti calo lapangan!
Rambut yang tidak tersisir rapih, baju yang dikenakan juga seadanya. Bau matahari tercium dari pakaiannya, belum lagi rokok kretek yang tidak bisa lepas dari jemarinya.
Lukman menyadari tatapan sinis Naura, “pesen minum dong, Ben. Haus, nih,” ujar Lukman.
Beni memanggil pelayan kantin dan memesan beberapa minuman dan makanan kecil.
“Bapak sudah biasa menangani impor barang?” tanya Naura membuka pembicaraan.
“Saya sudah lima belas tahun pegang impor, Bu,” jawabnya jemawa.
“Bos gue impor crane baja, ditolak! Disuruh re-export,” ujar Beni.
“Dokumennya dibawa nggak? Masa ditolak? Diurus sendiri atau pake agen?” tanya Lukman dengan nada pongah.
Entah mimpi apa Naura semalam, masalah masih belum bisa pergi jauh darinya.
“Kami pake agen, tapi mereka angkat tangan. Petugas mintanya memang seperti itu, kami disuruh beli produk dalam negeri,” jawab Naura dan menyerahkan satu map dokumen impor yang sudah dia siapkan.
“Masih fotokopi? Aslinya mana? Saya nggak bisa bantu kalau nggak ada dokumen aslinya.”
Lukman menolak dokumen yang disodorkan Naura, tangan Naura mengepal. Dia berusaha menahan emosinya, tetapi dia teringat pesan Pak Hendi untuk memberikan kabar baik hari ini.
“Intinya Bapak bisa bantu atau nggak?” tanya Naura kesal.
Beni menertawakan kekesalan Naura, “tenang, Naura. Lukman pasti bisa bantu. Masalahnya dokumennya bisa ditarik nggak dari Pak Manik?” tanya Beni dengan suara meninggi.
“Harus bisa dong, kalau mereka udah angkat tangan berarti udah nggak bisa dipake lagi. Kita harus gerak cepat, Ben. Kalau nggak biaya penumpukan akan semakin membengkak,” ujar Lukman dengan nada menyudutkan.
“Sebentar,” jawab Naura.
Naura berdiri dan berjalan keluar kantin, menjauh dari kebisingan. Setelah sepuluh menit berbicara dengan Pak Manik, Naura kembali duduk dihadapan Lukman.
“Siang ini saya ambil dokumennya, lalu Bapak mulai kerjakan kapan?” tanya Naura sinis.
“Siang ini juga bisa, lebih cepat lebih baik, Bu. Kalau menunda-nunda bakalan jadi pertanyaan petugas, kok nggak cepat diambil tindakan. Agen lo siapa, sih, Ben? Nggak canggih banget kerjanya,” ejek Lukman.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (109)

  • avatar
    AjaRoni

    bagus

    6d

      0
  • avatar
    DavidHimang

    mantap

    13d

      0
  • avatar
    Moh Zamzam

    din sanmers ajgd aburuts anvvsagdyemnjaki skjis akis

    16/08

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด