logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Tuan Lee

Kini kami berempat duduk di meja yang sama. Suasana tampak tegang. Wenni mulai curiga dengan tingkah pria yang tak sedikitpun mengeluarkan suara.
"Kok kalian pada diam, sih!" tegur Wenni.
Aku rasanya ingin menjerit histeris saat itu juga, melihat kelakuan si Wenni yang membuat kepalaku seakan mau pecah karena malu bercampur gugup.
Lutut ku mulai bergetar. Ku remas paha Nani agar mau menolongku, tapi Nani tak ubahnya seperti patung diam membisu.
Mata Pria itu terus menyorot ke arah ku. Aku tak tahu harus berbuat apa.
"Tuan, ini jus alpukatnya .... " ucap Mamang Wahyu menyodorkan satu gelas jus alpukat.
Si Pria hanya mengganguk.
"Mang, biasa ya, bakso dua. Bungkus aja Mang!" sela Wenni.
Aku berharap Pria itu tak mengerti bahasa yang kami pakai. Sepertinya dari tadi ia hanya diam. Aku merasa sedikit tenang saat itu. Aku yakin Pria itu tak mengerti apa yang dikatakan Wenni.
"Alhamdullilah .... ucapku dalam hati. Untung saja Pria itu tak mengerti bahasa kami.
"Cha, kamu kok diam aja," tegur Wenni.
"Wenni. Kamu bisa diam, gak sih!" ketus ku kesal.
"Habis kamu dari tadi diam aja, kamu jangan takut, Cha! Saya gak akan rebut pacar kamu kok, hahahaha ...." sahut Wenni sambil tertawa dan menoleh ke arah pria yang sedari tadi hanya membisu.
Aku semakin binggung dengan sikap Pria itu. Kok dia. diam aja ya, apa marah atau gimana.
"Cha? siapa nama pacarmu ini? Dari tadi kok diam aja? Mungkin gak ngerti bahasa kami. ya, Cha?" tegur Wenni. Lagi- lagi mulutnya bawel.
Ampun si Wenni ini maunya apa sih, aku jadi salah tingkah melihat sikap Wenni. Mulutnya bawel banget. Apa dia gak ngerti. Aku aja tak mengenal Pria itu apalagi namanya. Karena terdesak aku asal ngarang aja menamai Pria itu.
"Khe- khe ....Won ..." kataku gagap.
Mendengar perkataan ku Pria itu mulai mengerutkan sedikit alisnya. Dan dengan tenang meminum jus pesanannya.
Sebenarnya aku ingin mengaku pada Wenni bahwa Pria itu bukanlah pacarku, tapi aku gengsi dan malu. Biar sajalah sudah terlanjur basah. Biar saja si Wenni menyangka Pria Korea itu pacarku. Lagian sepertinya Pria itu tak ngerti bahasa kami. Biar si Wenni tahu rasa, memang dia saja yang bisa dapat laki-laki ganteng. Cie aku merasa pede.
"Oh .... jadi namanya Khe Won. Cha, pacarmu ini ganteng juga, ya?" puji Wenni. Matanya memburu memperhatikan pria yang santai menikmati jus alpukat nya.
"Cha, pacarmu kayanya gak ngerti bahasa kita, ya?" celotehnya lagi.
Nani sedari tadi hanya menunduk mendengar perkataan Wenni.
Keringat dingin mulai menitik di dahiku. Ingin ku sudahi saja kebohongan ini. Aku semakin terjepit dengan pertanyaan Wenni. Sementara Pria itu tetap membisu sambil terus menatapku. Aku ingin minta maaf pada Pria itu karena ulahku. Tapi si Wenni ini malah terus bertanya tentang Pria itu padaku yang aku sendiri binggung harus apa.
Tak lama kemudian, Mamang Wahyu menghampiri kami berempat sambil menenteng dua bungkus bakso pesanan Wenni.
Beruntungnya aku. Akhirnya Bakso si Wenni sudah siap, biar si Wenni cepat pulang dan kusudahi ketegangan yang mulai menyiksaku.
"Nih Neng baksonya," kata si Mamang sembari menyimpan dua bungkus bakso di meja kami.
"Oh ya, Mang, makasih ya, nih uangnya ...."
Akhirnya Wenni beranjak dari duduknya dan pulang. Tapi sebelum pulang Wenni berpesan padaku bahwa nanti sore ia akan main ke rumahku. Pasti si Wenni masih penasaran dengan Pria Korea ini. Dasar genit.
Aku masih duduk terpaku, sementara Pria itu masih tetap diam. Aku berharap Pria itu juga lekas pergi agar aku bisa tenang menghadapi situasi yang menegangkan. Tapi tidak. Pria itu malah menikmati minumannya di depan kami berdua.
Aku dan Nani jadi semakin kikuk dengan tingkahnya. Sebenarnya mau apa sih Pria ini. Dari tadi mulutnya membisu seribu kata seakan meledek kami berdua.
"Ma-maaf .... mas ini, maksud saya, apa Mas mengerti bahasa kami?" tanya Nani gelagapan.
Pria itu tak menjawab, malah dengan rileks menghabiskan minumannya. Membuat aku dan Nani jadi semakin penasaran.
Tak berapa lama Pria itu berdiri sambil menyimpan beberapa lembar uang di meja. Kayanya buat bayar alpukat nya kali. Tapi kok uangnya banyak.
Aku dan Nani hanya melongo melihat sikapnya yang kaku, hanya ekspresi wajahnya saja yang bicara. Aku yakin sekali Pria itu tak mengerti bahasa kami. Aku bersyukur sambil mengusap-ngusap dadaku. Untung Pria itu tak mengerti bahasa ku. Coba kalau dia ngerti. Mau dikemanakan mukaku kalau ia tahu bahwa dirinya dipakai bahan kebohonganku.
Pria itu pun akhirnya pergi.
Mang Wahyu tampak tersenyum sambil mengambil uang yang tergeletak di meja kami.
"Neng, bakso kalian sudah dibayar sama tuan Lee," ucap si Mamang Wahyu.
"Apa? tuan Lee, maksud Mamang, namanya tuan, Lee?" pekik ku kaget.
"Iya Neng, Tuan Lee itu orangnya baik sekali, dari semenjak kuliah dulu, dia itu langganan Mamang," jawab si Mamang sambil memasukkan lembaran uang ke saku celananya.
"Tapi-tapi ...." tanya ku gagap.
"Kenapa Neng? Jangan heran gitu, ah!" tegur si Mamang.
Ampun. mati aku, berarti Pria yang bernama Lee itu tahu yang kami bicarakan. Otot ku langsung lemas. Apes benar aku hari ini, menyangka Pria itu tak mengerti bahasa kami ternyata dia sudah lama tinggal di Indonesia.
Si Mamang Wahyu kemudian menjelaskan bahwa Lee memang berasal dari Korea, tapi sempat tinggal bersama neneknya di Indonesia sampai kuliah. Lulus kuliah Lee kembali ke Korea dan menetap disana selama lima tahun. Nenek Lee memang berasal dari Indonesia itulah mengapa Lee sering bolak balik Indonesia Korea.
Bukan itu saja Lee juga fasih berbahasa Indonesia.
Mendengar cerita Mang Wahyu. Aku kaget bukan kepalang, berarti sedari tadi Pria yang bernama Lee itu memang mengerti apa yang kami bicarakan. Aduh kacau. Mana aku bakal jadi tetangganya. Duh. Tuhan tolong aku, bagaimana aku bisa pulang melewati rumahnya, aku takut Pria itu nanti ada di depan rumahnya dan melihat aku. Tidak! aku akan pulang malam saja.
"Cha, sadar Cha!" teriak Nani.
Teriakan Nani mengagetkanku.
"Nan, tolong saya Nan ...." keluhku. Kugenggam erat tangan Nani.
"Kenapa Cha? lihat gara-gara ulah mu, aku malu Cha, sama Pria itu, lagian kamu mesti ngarang punya pacar segala!" tegur Nani wajahnya sama pucat dengan wajahku.
"Nan, sekarang gimana? Sebaiknya aku ikut pulang ke rumahmu saja Nan, aku malu, mana nanti lewat depan rumahnya lagi," rayuku pada Nani.
"Kamu sih, memang Ibu kamu gak bakalan marah apa, kalau kamu pulang malam," kata Nani.
"Marah sih," jawabku memelas.
Pikiranku semakin kacau tak menentu, ayahku pasti marah jika aku pulang sore apalagi pulang malam, aku bisa habis kena marah.
Suara Adzan dhuhur semakin membuat aku ketakutan setengah mati. Ibuku pasti menungguku di rumah, karena tadi pagi aku berjanji akan pulang sebelum dhuhur.
Nani sama takutnya denganku. Gara-gara ulahku Nani jadi terlibat hal yang memalukan. Bagaimana tidak. Aku mengarang cerita sama Wenni yang ternyata menjual nama Lee. Kalau aku jadi Lee tentu aku akan marah.
Untung Pria yang bernama Lee itu sangat baik. Tapi bagaimana kalau Pria itu mengadu pada orang tuaku. Apalagi rumah aku dan rumah dia bersebelahan. Aduh. Bagaimana ini.
Nani dan Aku terdiam untuk sesaat. Akhirnya temanku Nani menyarankan untuk meminta maaf pada Pria itu yang namanya sengaja dipakai bahan untuk kebohonganku.
"Cha, gimana kalau kita pergi kerumahnya, dan kita minta maaf saja sama dia," saran Nani begitu serius.
"Eggak, aku malu!"
"Aduh Cha, daripada nanti dia ngadu sama ayahmu!" ancam Nani.
"Gak?!" teriakku sambil ku tutup mukaku dengan kedua tangan.
"Ya sudah, terserah kamu, saya sebagai sahabat hanya memberi saran," keluh Nani memelas.
Aku diam untuk menenangkan pikiranku yang kacau. Akhirnya aku menghampiri Mang Wahyu untuk meminta sedikit impormasi tentang pribadi Tuan Lee yang belum ku ketahui semua.
"Mang!"
"Ya, Neng."
"Mang udah lama kenal sama, Tuan Lee?"
Mang Wahyu kemudian menceritakan semua tentang pribadi Tuan Lee yang memang baik dan dermawan. Setiap Lee mampir ke tempatnya, Tuan Lee selalu memberi uang lebih ke Mang Wahyu. Bukan itu saja, tempat Mang Wahyu berjualan semua modal dan tempatnya dulu Tuan Lee lah yang menolong Mang Wahyu memberi pinjaman uang tanpa bunga dengan cara diangsur. Bahkan uang setoran Mang Wahyu pun langsung diminta Tuan Lee untuk disumbangkan ke Masjid atau Anak Yatim.
Aku begitu tertegun mendengar cerita Mang Wahyu. Ternyata Tuan Lee itu orang yang sangat baik. Tapi lihat ulah ku. Aku begitu berani menjual namanya dan mengaku sebagai pacarnya.Ya tuhan. Tega banget, ya aku. Orang sebaik Tuan Lee dengan sengaja aku permainkan hanya demi menjaga egoku yang kesal terhadap Wenni.
Tapi bagaimana? aku malu.
Akhirnya siang itu aku dan Nani memutuskan meminta maaf pada tuan Lee. Kan ku buang jauh-jauh rasa malu ku ini. Daripada jadi beban yang akan melilit leherku. Apalagi tuan Lee bakalan jadi tetanggaku, mau tak mau aku pasti nantinya sering berpapasan dengannya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (105)

  • avatar
    Shusan Cino

    ceritanya sangat menarik, dan buat saya jadi penasaran deng kelajutannya

    24/01/2022

      0
  • avatar
    PutriNita

    awalnya saya mencoba membacanya dgn rasa ingin tau..lebih dalam...ternyata asyik dn seru juga...

    11/01/2022

      0
  • avatar
    AlfarisiSubhan

    cerita yang sangat seru,😯 dan asik

    1d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด