logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Bayang-bayang Kelam

Raka berada di pinggir di area sundeck kapal pesiar. Biasanya area sundeck yang dipergunakan penumpang untuk berjemur di pagi atau sore hari akan terlihat ramai, tapi karena malam hari, hanya Raka sendiri berada di area itu.
Angin malam dari laut begitu dingin. Raka sedikit menggigil. Pemuda itu mengancingkan jas bermerk ternama yang sedang dipakai. Lalu… tangannya mencari-cari pemantik api di kantong jas. Dia berniat menyalakan rokok di malam ini.
Setelah menemukan pemantik api, Raka mengeluarkan sebatang rokok dari kotak rokok handmade. Kotak rokok itu terlihat ekslusif dengan desain bertabur batu-batu pualam di bagian penutup. Pematik api yang juga terlihat mewah dihidupkan olehnya. Dia mendekatkan pemantik api ke rokok yang sudah berada di bibir.
Raka menarik hisapan pertama dari rokok. Menghembuskan asap rokok dari hidung dan mulut di detik berikutnya. Dia menatap lagit yang cerah malam ini. Kapal pesiar yang begitu mewah seakan tak bergerak sama sekali, karena mesin yang menggerakkan kapal adalah mesin kualitas nomor satu di dunia.
Raka memikirkan sesuatu. Kepalanya terasa penat. Hatinya gelisah. Berjalan dari tengah area sundeck menuju pinggiran. Mendekati pagar pembatas area. Dia berada di area paling tinggi yang bisa dikunjungi oleh penumpang kapal pesiar. Perasaan penat yang diderita malam ini, mungkin bisa berkurang ketika mendapatkan udara segar. Itu yang diinginkannya.
Kembali menghisap rokok yang sudah ditempelkan ke bibir. Menghembuskan kembali asap rokok yang telah masuk ke dalam paru-paru sekian detik.
Duk.
Tiba-tiba tubuhnya jatuh terjerembab ke lantai area sundeck.
Raka menjerit kecil. Dia bangun dari tidurnya. Tersentak kaget, sampai tubuhnya terduduk di atas kasur. Baju yang dipakai dibasahi oleh keringat. Nafas Raka tersengal.
“Ada apa?” Bima menjerit. Pemuda itu bangkit dari tidurnya. Dari lantai bawah, berdiri dan duduk di samping tempat tidur.
Raka melihat Bima.
Bima memandang Raka yang pucat pasi. “Kamu mimpi buruk?” tanya Bima.
Tenggorokan Raka tercekat. Tak bisa berbicara. Wajahnya yang pucat masih melihat ke arah Bima.
“Tarik nafas dalam-dalam dan buang perlahan,” perintah Bima.
Raka melakukan perintah Bima dengan seksama.
“Lakukan lagi berulang-ulang. Aku akan mengambil air putih untukmu. Sebentar….” Bima bangkit dari duduknya dan keluar dari kamar dengan tergesa-gesa. Tak berapa lama, dirinya telah membawa segelas air putih dan disodorkan kepada Raka.
Raka tak bergeming.
Dengan cekatan Bima duduk di samping Raka dan mendekatkan segelas air putih ke bibir Raka. Dia memegangi kepala pemuda yang baru dikenalnya dua hari ini.
Raka meneguk air yang disodorkan ke bibirnya secara perlahan. Setelah meneguk sebanyak tiga kali, diapun menyudahi minumnya.
“Aku belum tidur sama sekali. Masih bermain handphone. Ketika mendengar kamu berteriak dan mendengar nafasmu tersengal, aku langsung bangkit,” aku Bima. “Kamu mimpi buruk?”
Raka megangguk. Dia telah mendapatkan kesadarannya kembali.
“Yang sudah kamu lalui pasti berat. Luka di kepala. Mengambang di laut. Dan bertahan hidup sampai ditemukan oleh Mas Sudar,” ujar Bima. Pemuda itu terdiam sesaat. Dia menatap ke arah Raka.
Raka juga menatap ke arah Bima.
“Jika suatu saat kamu sudah siap untuk bercerita, silahkan panggil aku. Aku siap mendengarkan,” saran Bima. “Sekarang tidurlah kembali. Aku mau sholat.” Bima langsung berdiri dengan membawa gelas di tangan kanan. Keluar dari kamar bertujuan untuk mengambil whudu’.
Raka menatap ke arah punggung Bima. Tatapan sendu bercampur terharu. Kemudian dia membaringkan dirinya kembali. Berusaha untuk tidur dan melupakan mimpinya tadi. Dia mendengar suara jam dinding berdentang satu kali.
***
Bima membangunkan Raka dengan perlahan. “Ayo bangun…. sudah shubuh. Kamu ingin aku temeni ke kamar mandi?” tanya Raka.
Raka terbangun. Pemuda itu berusaha untuk mendudukkan dirinya di tempat tidur. Dia memegang kepalanya yang masih terasa sakit.
“Ayo, aku bantu. Enggak sehat juga jika terlalu banyak tidur. Setelah sholat shubuh. Kita jalan ya. Keliling daerah ini… supaya bisa menghirup udara pagi. Udara pagi di sini beda dengan udara di tempat lain. Sekali menghirupnya, kamu akan bertambah semangat,” ujar Bima sembari tersenyum. Dia masih memandangi Raka yang sudah duduk di tempat tidur tapi masih tertunduk memegangi kepala.
Semenit kemudian, Raka sepertinya mau menuruti saran dari Bima. Dia beringsut dari tempat tidur dibantu oleh Bima. Bangkit dari tempat tidur untuk ke kamar mandi. Bima dengan cekatan merangkulkan tangan Raka ke bahunya dan menuntun pemuda itu keluar dari kamar.
***
“Kamu bermimpi buruk tadi malam? Pasti sangat buruk sampai nafas kamu tersengal. Keringat juga banyak keluar sampai baju kamu basah.” Bima membuka pembicaraan setelah mereka melangkah beberapa kali di halaman rumah.
Raka hanya terdiam. Dia berusaha untuk menguatkan rangkulannya ke tubuh pemuda di samping.
“Seger kan udaranya? Kamu hirup deh banyak-banyak udara pagi ini. Bagus untuk otak dan jantung.” Bima mengalihkan pembicaraan. Nada suara terdengar sedikit keras. “Aku sudah lima tahun tinggal di rumah Mba Mirna. Sebelumnya aku tinggal di pinggir jalan besar. Di sana.” Bima menujukkan jalan keluar dari perkampungan. “Sekitar 500 meter dari sini. Semenjak ayah ibuku meninggal karena kecelakaan mobil, aku pindah di sini. Mba Mirna adalah anak angkat ayahku dari kecil.” Bima terdiam sesaat.
Raka sebenarnya tak ingin mendengar celoteh dari pemuda yang baru dikenalnya itu. Tapi… biarlah pemuda itu bercerita sendiri. Dia akan menjadi pendengar budiman, pikirnya.
“Abangku pergi merantau. Pada saat ayah dan ibu kami meninggal, dia juga tidak bisa pulang karena pekerjaannya. Aku sangat marah padanya saat itu. Dua tahun aku menunggu kepulangannya dan akhirnya diapun pulang.” Bima terdiam kembali. Suara seretan kaki dari Raka terdengar jelas olehnya. Dia tetap mengikuti irama Raka berjalan dengan lambat menyusuri tanah berbatu kerikil sembari tetap merangkul.
“Dia tidak pernah mau tinggal di rumah Mba Mirna. Dia… sendiri tinggal di rumah yang dulunya kami tempati bersama ayah dan ibu. Aku melihat perubahan dari sikapnya. Dulu… kami akrab. Kami sering menjahili, kami sering bercanda. Tapi semenjak pulang dari perantauan, dia sering menyendiri. Kami jadi jauh. Tak dekat lagi.” Bima menghentikan ceritanya. Suara burung sesekali terdengar di dalam perkebunan sawit. Mereka telah berjalan sekitar 100 meter dari rumah.
“Aku juga tak berani mendekatinya lagi. Dia hanya mengurung diri di dalam rumah. Mba Mirna yang mengantar makanan untuknya setiap hari. Sampai akhirnya… dua bulan setelah dia kembali ke rumah, Mba Mirna menemukan mayatnya tergantung di ruang tamu ketika ingin mengantar makanan.”
Secara spontan, langkah kaki Raka terhenti. Wajah terkejut tak bisa disembunyikannya ketika mendengar cerita Bima. Dia menyangka ending cerita dari abangnya tak akan seperti itu. Raka seakan tak sanggup berjalan lagi. Dia menatap wajah Bima yang melihat ke arahnya. “Aku ingin beristirahat,” ujar Raka.
Bima mengarahkan Raka untuk duduk di batu beton jalan masuk rumah warga. Setelah pemuda itu duduk dengan benar, Bima menyusul duduk di samping Raka.
“Bisa dibayangkan betapa tragisnya hidupku kan? Tapi aku masih bersyukur… ada Mba Mirna di samping aku. Selalu menemani aku.” Bima menghapus air matanya. “Aku hanya mau bilang… bahwa kamu tidak sendirian dalam menghadapi masalah. Mungkin Tuhan mengirimkan Mas Sudar dan Mba Mirna untuk membantu.” Bima akhirnya menangis. Suara tangisnya terdengar. Kepalanya tertunduk. Kedua tangan berusaha menutupi kedua matanya.
“Ya… dan Tuhan telah mengirimkan kamu juga untuk menghiburku.” Tiba-tiba Raka angkat bicara. Dia merangkulkan tangannya ke punggung Bima. Mengelus punggung Bima beberapa kali.
Bima menangis semakin menjadi. Masih tertunduk. Dia menahan kepalanya agar tidak tersungkur ke bawah.
“Aku janji… suatu saat, ketika aku sudah siap untuk bercerita tentang diriku, maka kamu adalah orang nomor satu yang akan tahu tentang diriku. Aku mohon… jadilah teman baikku pada saat aku di sini,” pinta Raka dengan nada pelan.
Raka mengelus kepala Bima dengan lembut.
Bima masih menangis tersedu.
Udara pagi yang dirasakan oleh Raka pagi ini memang berbeda. Benar apa yang dikatakan Bima, udara ini telah masuk ke otak dan jantungnya. Membersihkan seluruh vena agar berpikir lebih jernih untuk menapak ke masa depan.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (44)

  • avatar
    ManisIda

    sungguh menyenangkan membaca nya , ada suka dan duka , di alur ceritanya sehingga ikut terbawa ke dalam cerita

    03/01/2022

      0
  • avatar
    RauliaAnandaningrat

    good

    04/02/2023

      0
  • avatar
    gamingMacan

    bagus

    24/08/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด