logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Awal Takdir Baru

“Kenapa Bima lama sekali pulang, hari ini Mas?” Mirna keluar dari dalam rumah menuju ke teras. “Biasanya jam segini sudah pulang?” Wanita berparas ramah itu meletakkan dua cangkir kopi yang dibawa dari dalam, ke meja tamu di teras. Sudar dan Raka sudah duduk di teras sedari tadi, setelah makan malam.
“Mungkin sebentar lagi. Mungkin masih banyak pekerjaan di pabrik,” ujar Sudar sembari mengangkat gelas berisi kopi yang diletakkan oleh istrinya tadi. Sudar menawarkan Raka untuk meminum kopi dengan bahasa tubuhnya.
Bima…? Mungkin anak mereka.
Raka membathin sembari mengangkat gelas kopi yang disediakan mendekati bibir.
“Ya sudah, kita tunggu saja.” Mirna masuk ke dalam rumah dengan cepat. Sepertinya ada pekerjaan yang sengaja ditinggalkan sebentar olehnya. Karena dia terihat terburu–buru masuk ke dalam rumah.
“Bima adalah adik angkat kami.” Sudar berkata seolah-olah dia bisa membaca pikiran Raka yang duduk di sebelahnya. “Bima berusia 23 tahun? Kamu berusia berapa, Raka?” tanya Sudar.
“Aku… 25 tahun, Mas.”
“Ouh… tinggallah di sini sampai kapanpun kamu mau. Anggaplah ini rumah sendiri,” ujar Sudar. Pria berkulit sawo matang itu menoleh ke arah Raka yang masih terlihat bingung.
Sudar tak berani bertanya soal kejadian yang menimpa pemuda berparas tampan ini. Kulitnya yang putih bersih dan setelan jas yang dipakainya pada saat ditemukan di tengah laut, menandakan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Entah apa yang sudah dilalui oleh pemuda ini sehingga terdampar di perairan Kota Tanjung Leidong. Sudar tak ingin menanyakan secara detail apa yang telah terjadi. Pemuda itu juga tampaknya tak ingin berbicara banyak dengan dirinya saat ini.
Terdengar suara sepeda motor memasuki perkarangan rumah. Sudar menoleh ke arah sumber suara. Senyumnya melebar. “Nah… ini adalah Bima.” Sudar memperkenalkan Bima kepada Raka, padahal orang yang dimaksud masih dalam keadaan duduk di sepeda motor. Mematikan mesin.
“Bimaaaa… lembur ya sayang,” teriak Mirna yang tiba-tiba keluar dari rumah. Wanita muda itu memegang toples plastik di tangan kanan.
“Iya, Mba,” jawab pemuda bernama Bima. Dia masuk ke dalam rumah dengan mengucapkan salam. Dijawab oleh Mirna dan Sudar. Bima meraih dan mencium tangan Mirna yang masih memegang toples. Bima merasakan pukulan kecil dari Mirna yang memukul punggungnya Hal itu dilakukan Mirna karena toples plastik yang dipegang hampir terlepas karena tarikan tangan Bima meraih tangan Mirna. Pemuda itu bercanda dengan Mirna. Bima malah tertawa terkekeh dengan pukulan yang diberikan oleh Mirna. Kemudian mendekati Sudar, juga untuk meraih dan mencium tangan abang angkatnya itu.
“Ini Raka. Sementara dia akan tinggal dengan kita,” ujar Sudar setelah melihat Bima tertegun memandang seorang pemuda di samping Sudar.
Bima menyalami Raka. Tersenyum dan mengangguk, lalu duduk di kursi kosong di hadapan Sudar dan Raka.
Raka melihat ke arah Bima dengan seksama. Sepertinya dia pernah bertemu dengan Bima. “Aaaargh….” Tiba-tiba dia meringis kesakitan dan memegangi kepala.
“Raka… ada apa?” tanya Mirna. Wanita itu terperanjat. Bergerak dengan cepat, meletakkan toples yang dipegang di atas meja, kemudian menghampiri Raka dari arah belakang.
Sudar dan Bima terkejut.
“Aaaah… kepalaku sakit, Mba,” keluh Raka.
“Kalau begitu, kamu istirahat ya. Bima antarkan Raka ke kamar kamu. Mulai sekarang dia tidur di kamar kamu ya. Kalian tidur berdua,” perintah Mirna.
“Iya, Bima. Bawa Raka ke kamar. Dia perlu istirahat.” Sudar ikut memerintah. Kemudian berdiri, membantu Raka bangkit dari duduknya.
Dengan sigap, Bima bangkit dan berusaha untuk meraih pemuda yang baru dikenal. Meraih tangannya dengan perlahan dan merangkul tubuh pemuda yang hampir sama bentuk fisik dengan dirinya. Tinggi mereka juga sama ketika Raka sudah berdiri dan masuk ke dalam rangkulan Bima.
“Sini… sini… tas dan helm kamu, Bima. Haduh…. kenapa harus dipegang terus sih tas ini, apa ada harta karunnya?” celetuk Mirna. Dia merasa risih dengan tas dan helm yang sepertinya menghambat pergerakan adik angkatnya untuk membantu Raka.
Mirna bergegas mengambil tas dan helm yang tersangkut dari tubuh Bima. Kemudian memberi kode untuk terus berjalan setelah kedua benda itu telah berada di tangannya.
Kedua pasangan suami istri itu tertegun di tengah teras. Wajah mereka terlihat gusar. Melihat Raka dibopong oleh Bima dengan perlahan masuk ke dalam rumah.
“Bima… setelah mengantar Raka, kamu buruan mandi,” teriak Mirna.
“Iya, Mba,” jawab Bima setengah berteriak. Tubuhnya dan Raka sudah tak terlihat. Mereka telah masuk ke dalam rumah. Mungkin sudah menuju pintu kamar Bima.
“Ada apa sebenarnya, Mas? Apa yang terjadi dengan pemuda itu?” taya Mirna sedikit berbisik.
“Aku tak tau. Dan belum sepantasnya aku bertanya soal itu. Kelihatannya pemuda itu juga masih bingung dan linglung,” nyata Sudar, juga setengah berbisik.
Sudar telah menceritakan sedikit hal kepada Mirna mengenai pertemuannya dengan Raka, tapi pria itu tidak bercerita tentang luka di kepala yang berdarah ketika dirinya mengangkat Raka dari laut. Raka yang terapung di lautan dalam keadan pingsan. Untung saja ada sebatang kayu yang membuatnya tetap terus mengambang di lautan luas itu.
Dengan sekuat tenaga Sudar mengangkat tubuh Raka yang jangkung. Kemudian memeriksa nafasnya ketika sudah diletakkan ke dalam sampan. Setelah memeriksa bahwa Raka masih hidup, Sudar langsung memberikan air minum kepada pemuda malang itu. Selanjutnya membersihkan bekas sisa darah yang ada di kepala bagian belakangnya. Lalu membiarkan pemuda itu beristirahat terlentang, terkena cahaya matahari sore.
“Besok akan aku bawa ke dokter, pemuda itu,” tukas Sudar.
“Iya, Mas. Kasian dia, entah apa yang sudah dilaluinya, padahal dia masih terlihat muda dan gagah,” sambut Mirna.
“Jangan memulai pembicaraan mengenai masalah pribadinya. Biarkan saja Raka bercerita kepada kita ketika dia sudah siap untuk bercerita. Aku menebak kalau situasi yang dihadapinya sangatlah sulit,” saran Sudar.
“Iya, Mas,” jawab Mirna dalam keadaan berbisik.
“Baju yang dipakainya kemarin. Setelan jas itu, harus kamu simpan rapi. Ketika dia bertanya, suatu saat nanti, maka kamu harus memberikan kepadanya. Apa tidak ada tanda pengenal di dalam kantong celananya?” tanya Sudar.
“Tidak ada, Mas. Tapi ada kartu nama,” bisik Mirna.
“Kartu nama apa?” tanya Sudar penasaran.
“Kartu nama perusahaan minyak, sepertinya. Tapi bukan atas nama Raka dan bukan di Indonesia tempatnya,” terang Mirna.
“Ya sudah, nanti aku lihat kartu nama itu. Jangan sampai hilang. Mungkin Raka butuh suatu saat nanti.”
“Iya, Mas.”
“Aku sungkan untuk bertanya secara mendetail. Biarkan saja dulu dia di sini. Apakah dia mau tinggal selamanya atau sementara. Yang penting kita harus membuatnya nyaman tinggal di sini. Aku takut, Raka kehilangan ingatan tentang masa lalunya. Makanya dia perlu untuk istirahat,” jelas Sudar.
“Iya… ya, Mas.”
“Ya sudah. Ayo, kita masuk. Sudah larut malam. Bima mungkin perlu air panas untuk mandi,” ujar Sudar.
“Ouh, iya. Adik kesayanganku baru pulang kerja dan mau mandi. Mengapa aku jadi lupa kegiatan rutin itu ya?” tanya Mirna kepada diri sendiri sembari tertawa cekikikan.
Sudar hanya menggeleng kepala melihat tingkah istrinya. Kemudian menyusul istrinya yang sudah bergerak terlebih dahulu masuk ke dalam rumah.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (44)

  • avatar
    ManisIda

    sungguh menyenangkan membaca nya , ada suka dan duka , di alur ceritanya sehingga ikut terbawa ke dalam cerita

    03/01/2022

      0
  • avatar
    RauliaAnandaningrat

    good

    04/02/2023

      0
  • avatar
    gamingMacan

    bagus

    24/08/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด