logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 V

Joni tersenyum bangga. Satu jam duduk di depan laptop saat kondisi hati sedang baik––ia mampu menulis seribu kata. Hal yang dirasa mustahil jika kondisi hatinya sedang buruk atau sedang tidak ada inspirasi.

Tidak butuh waktu lama untuk merangkai kata menjadi kalimat di kepalanya. Jemarinya bergerak cepat menekan tuts keyboard. Banjir kata mengalir begitu saja. Tidak ada jeda, tidak ada interupsi tiba-tiba. Yang ada hanyalah kumpulan kata memadukan diri menjadi kalimat indah. Membentuk paragraf penuh makna.

Ada rasa puas ketika ia melihat angka seribu di pojok kiri bawah laptopnya. Tidak setiap momen ia bisa menggenapi angka seribu dalam waktu satu jam. Terkadang, melamun berjam-jam sambil menatap dinding tebal di hadapannya––ia hanya mampu menulis tak kurang dari dua ratus kata. Buntu. Setiap hari yang ada di pikirannya saat ingin menulis adalah dinding yang tinggi dan tebal. Jarang sekali ia mampu menembus dan menghancurkan halangan di kepalanya itu.

Apakah ini karena isterinya? Pikiran tersebut melintas tiba-tiba di kepala Joni yang sedang encer.

Apa ini semua karena Tika yang membuat kepalanya jadi penuh inspirasi. Dia tiba-tiba teringat akan buku yang pernah ia baca. Buku itu bercerita tentang keinginan seorang penulis mendapatkan pasangan yang pandai memasak. Keinginannya sederhana, saat penulis itu sedang merangkai kata, isterinya akan menyuguhkan berbagai macam cemilan dan makanan yang menyehatkan.

Sejauh ini, belum genap dua tahun mereka menikah, Tika memang tidak begitu pandai memasak. Selama dua tahun ini juga––Mama Ida tak pernah absen mengirimkan lauk pauk untuk anak dan menantunya. Mama Ida paham betul bagaimana repot mengurus bayi. Terlebih Arsa adalah yang pertama. Cucu pertama dan anak pertama. Arsa akan menjadi kesayangan semua orang.

Kelemahan Tika yang tidak pandai memasak tertutupi kala Joni memikirkannya lebih jauh lagi. Isterinya adalah sumber inspirasinya. Hal itu terbukti kala ia membayangkan wajahnya, ide untuk menulis mengalir deras. Terjadi begitu saja padahal kepala sedang tak memikirkan topik apa-apa.

Joni akan menulis cerita tentang kisah mereka.

Ia telah memutuskan. Kisah cinta dan perjuangannya untuk mendapatkan hati sang isteri akan diabadikannya menjadi sebuah novel. Sebuah novel yang akan mengguncangkan dunia literasi. Bagaimana tidak, menurut sudut pandangnya, kisah percintaannya dengan Tika adalah kisah yang sulit untuk ditemukan di dunia nyata––selain kisah mereka sendiri.

Pertemuan tak sengaja di bawah rintik sore, lalu makan ketoprak bersebelahan meski tak saling kenal. Melihat wanita cantik makan ketoprak dengan tahu panas dobel. Mana ada kisah seperti itu. Di dunia nyata, perempuan selalu takut makan banyak. Perempuan selalu takut gendut. Bahkan, beberapa ucapan dari teman kantor wanitanya, perempuan akan naik timbangannya jika melihat nasi atau meneguk air putih.

Rasa percaya diri melahap Joni utuh-utuh. Tiga bulan lagi, naskah tentang kisahnya dengan Tika akan rampung dan siap dikirimkan ke redaktur. Pasti akan diterima. Seratus persen pasti akan ada penerbit yang mau menerbitkan karyanya.
***

Kebutuhan Arsa semakin banyak ketika usianya sudah lewat enam bulan. Baju-baju bertahan hanya dalam hitungan bulan. Ia tumbuh menjadi bayi yang luar biasa menggemaskan. Wajahnya menyerupai Tika di masa kecil. Banyak orang yang mengatakan kalau rupa seorang anak laki-laki meniru wajah ibunya, bisa dipastikan anak tersebut fix menjadi bibit unggul di masa depan.

Gaji yang diterima Joni setiap bulan tak kunjung naik. Padahal, di sana ia sudah mengabdi jauh sebelum mengenal dan meminang Tika. Setiap tahun, gajinya hanya naik mengikuti UMR yang ditetapkan pemerintah. Ia tak mampu berharap lebih. Kantornya tak membutuhkan puisi atau kata-kata mutiara.

Jika dihitung berdasarkan angka tahun yang bertambah, sudah lima tahun lamanya Joni mengabdi di perusahaan itu. Jabatannya tak boleh disepelekan, seorang akuntan. Namun jabatan hanyalah jabatan. Status hanyalah kiasan. Jabatan tinggi belum tentu pendapatannya juga tinggi. Makin banyak pencari kerja, makin semena-mena perusahaan kepada pekerjanya. Pikir mereka, persoalan mencari pegawai baru bukanlah hal yang sulit. Banyak yang mengantre jika Joni berani dan terang-terangan minta naik gaji.

Pak Asep, salah satu senior Joni di kantornya, sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun. Hal yang sama dirasakan juga oleh Pak Asep. Sepuluh tahun mengabdi, gajinya hanya selisih sedikit dari UMR yang ditetapkan pemerintah.

“Cari kerja susah sekarang, Jon,” ujar Pak Asep saat mereka duduk berhadapan sambil menyantap makan siang di kantin, “kalau saya masih muda, pasti saya bakalan keluar dari sini dari kemarin-kemarin. Masalahnya, anak saya tiga. Kalau saya keluar sekarang, terus nganggur entah sampai kapan. Anak saya mau dikasih makan apa?”

Joni menyimak ucapan Pak Asep. Hanya menyimak. Sebab ia tak tahu harus melontarkan kalimat seperti apa. Jika saja mulutnya berani berucap, ia juga tak akan menyarankan Pak Asep untuk keluar dari pekerjaan dan berbuka usaha seperti fenomena yang tengah terjadi saat ini karena ucapan seorang motivator yang tengah naik daun.

Adalah Maryo Kekar. Entah sudah berapa banyak penonton yang mengikuti sarannya untuk keluar dari pekerjaan dan membuka usaha sendiri. Semua terasa mudah dan menyenangkan jika menonton Maryo yang berapi-api mencetuskan jalan emasnya di salah satu stasiun televisi. Namun, tak semua setuju.

Ayah Joni hanya beberapa kali menyediakan waktu untuk menonton acara itu. Sekali dua kali, otak ayah Joni masih menerima keanehan-keanehan saran Maryo dan menyulingnya menjadi sebuah kewajaran. Tetapi, hal itu tidak terjadi lagi pada momen kali ke empat.

“Enggak semua orang bisa buka usaha! Memang kerja paling enak itu ngomong sambil dapat uang.” Ayah Joni naik pitam ketika mendengar ucapan Maryo yang menyarankan salah seorang penanya yang bercerita bahwa ia tertekan bekerja di salah satu perusahaan dan meminta saran keputusan apakah yang harus dia lakukan.

“Kalau semua orang buka usaha sesuai sarannya dia, terus yang kerja siapa?” kata Ayah Joni lagi.

Memang betul. Tidak semua orang digariskan untuk menjadi seorang pengusaha dan merintis bisnisnya sendiri. Tidak semua orang juga dibekali mulut yang manis seperti Maryo Kekar. Dan tidak semua orang juga mampu menyerap kata-kata Maryo Kekar. Banyak yang menelannya bulat-bulat dan kecewa pada akhirnya.

Seandainya acara itu memiliki program lain seperti testimoni. Pasti kegagalan yang didapat dari mengikuti saran Maryo berkali-kali lebih banyak daripada keberhasilannya.

“Saya sering lihat lamaran anak-anak yang baru lulus. Entah itu lulus SMA atau kuliah. Mereka dengan susah payah membuat surat lamaran kerja yang bagus, malah disia-siakan. Contohnya kantor kita. Berapa banyak lamaran yang sudah menumpuk dan enggak sampai setengahnya yang baru dibuka?” kata Pak Asep lagi.

Joni tertegun. Pak Asep yang usianya hampir mendekati lansia––ternyata punya kepedulian kecil terhadap generasi muda. Terhadap masa depan mereka yang belum diketahui bagaimana nasibnya di dunia kerja. Dunia yang begitu keras. Ditolak cinta lebih jelas sakitnya ketimbang surat lamaran yang tak pernah dibuka. Tak pernah ada kepastian.

Yang bisa dilakukan hanyalah berdoa dan berharap. Setelah mengupayakan kedua hal itu, beralih merupakan jawaban yang pasti. Siap hati untuk perbuatan yang sama sampai hal itu tidak terjadi lagi.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (435)

  • avatar
    KhoirilOing

    saya suka dengan novelah ini sangat bagus dan menarik

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Dyan Adriansyah

    sangangat menarik, dan tutur bahawsa nya juga sangat efektif. saya sanganat terhibur sekali dengan novel ini, daripada saya belo buku yg akhirnya menjadi barang bekas lebih baik saya membaca di sini. sangat menghibur sekali pokonya

    23/01/2022

      2
  • avatar
    FaridaqilMuhd

    good the best

    4d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด