logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 37

Masa lalu hanya sebagian dari kenangan yang harus dilupakan. Laura tidak menyesal melepaskan perasaannya pada Gino. Jika saat itu Gino lebih erat memegang tangannya, Laura tidak akan terlepas dari belenggu masa lalunya. Dia juga tidak akan bertemu seseorang yang lebih baik dari Gino.
Sekarang, dua tahun setelah keputusan Gino mengakhiri hubungan mereka. Laura menemukan kebahagiaannya sendiri. Menjalani kehidupan di New York seperti hari biasanya. Meneruskan bisnis restoran milik Miranda setelah perempuan itu meninggal dunia. Dan satu tahun terakhir, bisnis itu berkembang pesat sehingga Laura mampu membeli sebuah apartemen.
Pada akhir pekan, dia menghabiskan waktu bersama Lucy. Sahabatnya itu telah memiliki seorang putri cantik dan tentu saja David ayah dari anak itu. Keduanya menikah setelah Laura tiba di Amerika. Pernikahan sederhana. Namun, memiliki kesan mendalam bagi Laura. Melihat Lucy bahagia di hari pernikahan itu, rasa takut tentang hubungan terikat mulai sirna. Perlahan, Laura mulai membuka diri terhadap orang lain. Berteman dengan orang-orang baru di lingkungan sekitarnya.
"Lala, kau terlambat lagi!"
Laura tersenyum kecil saat Jessica, putri Lucy menghampirinya sementara teriakan keras perempuan itu dia abaikan. Laura mengecup pipi gembul Jessica gemas lalu menggendong anak itu menghampiri Lucy dan David.
"Restoran sedang ramai," ucap Laura lalu meletakkan Jessica di pangkuannya.
"Laura pekerja keras, kau harus mendukungnya," ucap David menenangkan.
"Mario sialan!" umpat Lucy kesal.
"Ada apa dengan Mario?" tanya Laura.
"Istrinya hamil anak kedua, dia sudah gila! Yuki belum genap satu tahun, entah obat apa yang dia gunakan!" teriak Lucy kemudian melempar ponselnya di atas meja.
Laura melupakan satu hal tentang Mario. Laki-laki itu menikah tidak lama setelah Lucy menikah. Dan Laura tidak percaya jika perempuan yang dinikahi Mario adalah Rahma. Kebetulan tidak disengaja itu menyebabkan Laura harus berdamai dengan masa lalu. Meskipun Lucy tidak mendukung pernikahan itu, tapi Laura tidak mengatakan hubungannya dengan Rahma. Dan rahasia itu tersimpan dengan baik karena Rahma menyetujui permintaannya.
"Lucy tenanglah, kau membuatnya takut," ucap Laura sambil mengusap rambut Jessica. Kemarahan Lucy tidak terkendali sementara David hanya diam menyaksikan. "Urusan Mario kau tidak boleh ikut campur. Lagipula, kau tidak pernah direpotkan."
"Aku tidak suka Mario menikah dengan perempuan itu," ucap Lucy lalu bangkit dari duduknya. "Aku ke toilet sebentar, kalian pesan makanan seperti biasanya."
"Laura, apa kau ingin mendengar kabar tentang Gino?" tanya David serius.
Laura menggeleng. "Tidak."
"Aku tetap mengatakannya." David menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Gino sudah menikah."
Laura tersenyum kecil, merasa lucu dengan ekspresi David yang serius itu.
"Lalu, apa hubungannya denganku?"
"Laura, apa kau sungguh melupakannya?" tanya David serius.
"Semua sudah berlalu, aku harus melihat ke depan. David, jangan bahas tentang Gino. Aku tidak ingin mendengarnya lagi," ucap Laura.
"Gino mungkin bodoh, tapi dia masih mencintaimu. Laura, apakah kau benar-benar sudah melupakannya?"
Laura mengangguk. "Kau pikir aku masih terjebak di masa lalu?"
"Kau mencintainya sejak remaja. Perasaan itu bukan tidak mungkin masih ada sampai sekarang. Laura, katakan yang sebenarnya. Apa kau masih mencintainya?"
"David, aku bukan remaja lagi. Kau lihat, apa aku terlihat kekurangan kasih sayang?" tanya Laura.
Suasana itu berubah hening hingga Lucy kembali dengan wajah merah padam.
"Lusa aku pasti ke Aussie. Mario, kau tunggu saja sampai ibu membawamu pulang," ucap Lucy.
"Jangan ikut campur urusan Mario, dia sudah dewasa. Perhatikan sikapmu di depan Jessica dan Laura. Kau ini sudah menikah, tapi bersikap seperti bayi," ucap David lalu bangkit dari duduknya. "Aku pulang dulu."
"Kau meninggalkan aku dan anakmu begitu saja!"
David berbeda dengan Jason. Jika Jason, tidak akan mengeluarkan kata-kata itu pada Lucy. Sepertinya hubungan keduanya dipenuhi oleh pertengkaran.
"Lucy, apa kau bahagia setelah menikah?" tanya Laura serius.
***
Pilihan tepat setelah seharian menghabiskan waktu bersama Lucy dan Jessica adalah berendam. Laura menyandarkan kepalanya pada dinding, merasakan suasana nyaman itu dengan pikiran melayang pada ucapan David.
Gino sudah menikah.
Ternyata Laura tidak bisa mengenyahkan ucapan itu dari otaknya. Setengah jam kemudian dia keluar dari kamar mandi lalu meraih ponselnya. Pada detik berikutnya, suara Gino menyapa telinganya.
"Lala?"
"Selamat No," ucap Laura disertai senyum tipis, dia berjalan menuju balkon sambil meneguk kopinya. "Atas pernikahanmu."
"Kamu dengar dari David?" tanya Gino dari seberang.
"Iya."
"La, aku minta maaf buat kesalahanku di masa lalu."
"Aku pikir, setelah malam itu, aku nggak punya keberanian buat ngomong sama kamu No." Laura tersenyum tipis meskipun Gino tidak bisa melihat senyuman itu. "Ternyata, aku nggak sebenci itu sama masa lalu," ucapnya jujur.
"Aku yang benci sama diri aku sendiri La," ucap Gino.
"Kamu bilang bintang tetap bersinar meskipun berada di tempat berbeda, tapi analogi itu nggak tepat buat kamu No."
"Maaf La."
"Dulu, aku nggak sempat pamit sama kamu No, tapi malam ini aku mau berdamai sama masa lalu. Bukan cuma perasaan yang harus ditutup rapat-rapat, tapi kamu yang nggak boleh aku rindukan. Kita bukan lagi dua orang yang saling mencintai seperti masa lalu. Waktu nggak bisa diputar ulang dan kebahagiaan nggak bisa dibeli dengan uang. Analogi ini lebih tepat ditujukan sama kamu No."
Hening.
Udara musim dingin di bulan Desember menjelang pergantian tahun, artinya tiga tahun ini Laura tidak bertemu Gino. Dan perasaan itu menghilang entah kemana.
"No, semoga kamu bahagia," ucap Laura kemudian mengakhiri sambungan itu.
***
Cinta tidak harus memiliki seharusnya tidak berlaku bagi Gino. Namun, dia tidak memiliki pilihan selain menuruti keinginan terakhir ibunya. Jika bukan karena wasiat Mira sebelum menghembuskan napas terakhir. Pernikahan itu tidak akan terjadi. Namun, Gino hanya manusia biasa yang harus menuruti keinginan orang tua sebagai rasa berbakti.
Kini, Gino telah kehilangan orang-orang yang disayanginya. Pertama ayahnya kemudian Laura dan sekarang ibunya. Dia melihat makam ibunya sekali lagi lalu meninggalkan tempat itu. Ponselnya berbunyi sesaat Gino berada di dalam mobil. Nama Laura muncul di layar, dia hampir menjatuhkan benda itu saking terkejutnya. Dua tahun lalu Laura pergi tanpa pamit dan sekarang menghubunginya. Perasaan rindu menyusup ke dalam hatinya, dia masih mencintai gadis itu, tapi apa gunanya sekarang?
Dia sudah menikah.
Percakapan itu mengalir tanpa beban seolah Laura telah melupakannya. Gino tidak mendengar apa pun kecuali kepalanya dipenuhi oleh bayangan Laura. Namun, cincin yang berada di jari manisnya menyadarkan Gino dari lamunan. Terlebih sambungan itu telah berakhir dan Gino masih termangu di tempatnya.
Semoga bahagia?
Gino sudah lupa arti bahagia setelah Laura pergi dari hidupnya. Kini, dia tidak membutuhkan kebahagiaan itu untuk melanjutkan hidup.
"Kamu bisa balikan sama Laura."
Gino menoleh ke samping memperhatikan perempuan yang duduk di sampingnya. "Nggak perlu Jeng. Lagipula kita udah menikah," ucapnya lalu melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.
Menikah dengan Ajeng tidak pernah terlintas di benak Gino. Setelah Malik meninggal karena kecelakaan dan Ajeng tengah hamil tua kemudian ibunya yang merasa bersalah. Gino tidak akan menjadi korban dari keegoisan mereka.
***

หนังสือแสดงความคิดเห็น (98)

  • avatar
    DewiShanti

    bagus sii tp agk sesat dkit

    24/08

      0
  • avatar
    AdrianBayu

    pingin DM ff

    22/08

      0
  • avatar
    Muda Entertaiment

    bagus

    01/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด