logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 8 Pak Kiswo

Kamar Mayat
Part 8
***
Aku melihat jam yang melingkar di tangan kiri, dengan tetap menundukan kepala. Aku masih belum berani melihat wajah dokter Hani yang tiba-tiba saja tadi berubah menjadi sangat menyeramkan. Aku benar-benar merasa sangat takut, keringat dingin mulai mengalir di kedua pelipis. Tenggorokan terasa sangat kering. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul tujuh pagi. Seharusnya Kak Hardiman dan Kak Yono sudah datang, karena sudah waktunya pergantian shift dari yang dinas malam ke dinas pagi. Tapi kenapa kedua orang kakak senior itu belum datang juga? Apa mereka sedang terjebak macet di jalan? Namun sepertinya tak mungkin, sebab hari belum terlalu siang.
[Kak Yono sama Kak Hardiman ke mana ya. Kok jam segini mereka belum datang juga. Apa mereka masih di jalan kena macet ya. Duh … bisa mati kaku aku kalau kelamaan di kamar mayat ini karena menahan takut]
Beberapa kali aku mengusap keringat dingin yang mulai keluar dari kedua pelipis, dengan menggunakan sapu tangan. Padahal udara di dalam kamar mayat ini sangat dingin, tapi aku merasa gerah. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menenangkan jantung yang berdetak tak beraturan.
"Ahmad! Ngapain kamu nunduk gitu? Sedang ngitungin jempol kaki apa?" tanya Kak Yono, sembari memukul meja, membuatku sangat terkejut, sampai hampir melompat saking merasa kaget. Aku lalu menengadahkan muka. Tampak Kak Yono dan Kak Hardiman sedang berdiri di depan meja. Kedua orang kakak senior itu memandangku dengan tatapan keheranan.
"Iya nih anak, masih pagi udah ngelamun aja kerjanya. Mungkin dia takut jempol kakinya hilang sebelah," imbuh Kak Hardiman sambil terkekeh, disambut oleh Kak Yono, seperti yang sudah-sudah.
"Kamu kenapa, Ahmad? Kayak orang yang ketakutan gitu?" tanya Kak Yono, setelah dia menyadari, kalau aku hanya diam terpaku melihat kedua orang kakak senior itu. Mukanya berubah serius. Dia lantas duduk di sebelahku.
Aku menarik napas panjang, kemudian memandang Kak Hardiman dan Kak Yono secara bergantian. Membuat mereka berdua tampak bingung.
"Sa … sa … saya … saya memang sedang takut banget, Kak," jawabku terbata-bata, hampir saja aku menangis.
Kak Hardiman dan Kak Yono saling berpandangan. Mereka berdua terlihat makin bingung. Kedua orang kakak senior itu pasti tak paham dengan apa yang aku ucapkan barusan.
"Memangnya kamu takut kenapa, Ahmad? Kamu takut sama siapa?" tanya Kak Yono tak mengerti, seraya melihat ke arah Kak Hardiman.
"Kamu takut sama siapa, Ahmad? Pak Kiswo ke mana?" tanya Kak Hardiman. Dia lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kamar mayat.
Aku diam saja. Aku khawatir ucapanku akan didengar oleh dokter Hani, secara jarak antara meja kerjanya dengan meja kerja kami tak terlalu jauh.
"Hey! Ahmad! Kamu ditanya kok malah bengong gitu. Bikin orang penasaran aja. Kamu itu takut kenapa? Atau sama siapa?" kata Kak Yono tak sabar.
"Saya … saya takut sama dokter Hani, Kak. Tadi tiba-tiba saja mukanya berubah jadi serem banget, waktu saya tanya soal dokter Agung ke dia," kataku dengan suara pelan, khawatir dokter Hani akan mendengar.
Kedua kakak senior itu terlihat melongo sembari menatapku. Lalu mereka saling memandang satu sama lain.
"Kamu ngomong sih apa, Ahmad? Nggak ada dokter Hani di kamar mayat itu. Mungkin kamu kurang tidur tadi malam, jadi penglihatanmu belum normal betul. Ditambah lagi kamu kepagian datangnya ke sini, jadi tadi mungkin kamu masih mimpi," kata Kak Yono.
Mendengar ucapan Kak Yono, aku lalu menoleh ke arah meja dokter Hani. Tapi dia tak terlihat lagi ada di sana. Beberapa kali aku mengucek-ucek mata, untuk memastikan apa yang dikatakan oleh Kak Yono barusan tidak benar. Ternyata dokter Hani memang tak ada lagi di meja kerjanya.
"Ta … ta … tapi sungguh, Kak. Tadi itu dokter Hani duduk di sana," kataku, sembari jari telunjukku menunjuk ke arah kursi, tempat dokter Hani tadi duduk.
Aku kemudian menceritakan apa yang sudah terjadi, ketika pertama kali datang ke kamar mayat.
Kak Yono dan Kak Hardiman tak berkomentar apa pun. Mereka hanya menarik napas panjang setelah aku selesai bercerita.
"Terus sekarang Pak Kiswo ada di mana?" tanya Kak Yono, satu menit kemudian.
"Tadi dia bilang mau beli sarapan dulu ke depan," jawabku, masih dengan rasa bingung.
Kedua kakak senior itu lantas duduk di kursi mereka masing-masing dan menulis. Entah apa yang mereka tulis. Mereka bilang belum ada pekerjaan yang harus aku lakukan, selain membereskan dan merapikan ruangan. Sebab belum ada jenazah baru yang dikirim ke kamar mayat.
Aku lalu membersihkan seluruh ruangan kamar mayat dan merapikan semua barang yang ada di dalamnya. Saat sedang mengelap cermin, tiba-tiba muncul bayangan dokter Hani di dalam cermin itu. Sontak aku berteriak dengan sangat keras karena kaget.
"Ahmad! Jangan berisik!" hardik Kak Yono.
Aku hanya mengangguk. "Iya, Kak. Maaf."
Aku kemudian meneruskan mengelap cermin tersebut. Bayangan dokter Hani sudah tak tampak lagi ada di sana. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Kak Yono, kalau penglihatanku belum normal betul, karena kurang tidur semalam, terus berangkat kepagian ke sini, aku membatin.
Tak berselang lama, Pak Kiswo datang. Dia lalu duduk di sebelah Kak Yono. Sekilas dia melirik ke arahku, yang sedang mengelap cermin, dengan tatapan sinis. Entah kenapa. Aneh! Aku menelan ludah ketika beradu pandang dengannya. Wajahnya sungguh menakutkan. Sangar dan terlihat bengis. Buru-buru aku mengalihkan pandangan ke tempat lain.
Setelah berbincang sebentar dengan kedua kakak seniorku, Pak Kiswo pun berlalu dari hadapan kami. Aku bernapas dengan lega.
"Alhamdulillah. Akhirnya Pak Kiswo pulang juga." Aku bergumam tak sadar.
"Memangnya kenapa dengan Pak Kiswo, Ahmad? Kayaknya kamu takut banget. Sampai ngucap alhamdulillah segala," tanya Kak Hardiman.
Aku salah tingkah, menyadari kekeliruanku.
"Eh … nggak apa-apa kok, Kak," jawabku, sambil berusaha bersikap sewajar mungkin. Beruntung Kak Hardiman tak bertanya lebih lanjut. Dia kembali meneruskan pekerjaannya. Entah apa yang sedang dia tulis.
***
"Kami ke musala dulu ya, Ahmad," pamit Kak Yono. Dia lalu beranjak dari duduk, diikuti oleh Kak Hardiman. Mereka kemudian menuju ke pintu.
"Kak, saya ikut sih. Kita barengan aja bertiga ke musala-nya," pintaku.
Kedua orang kakak senior itu memandangku. Sedetik kemudian, mereka tertawa bersama, seperti biasanya. Aku merengut melihatnya.
"Kamu penakut banget sih jadi orang. Kamu itu laki-laki, Ahmad. Kalau kita bertiga pergi, terus yang jaga di sini siapa? Nanti kalau datang kiriman jenazah gimana," kata Kak Yono.
"Udah kamu tunggu saja di sini. Kami nggak bakalan lama kok," kata Kak Hardiman menimpali.
Mereka lantas meneruskan langkah menuju ke pintu, meninggalkan aku yang ketakutan.
***
Bersambung

หนังสือแสดงความคิดเห็น (409)

  • avatar
    UtamiSella

    ceritanya bikin merinding 😟😟😟

    19/07/2022

      0
  • avatar
    NAN91CHANEL

    segala Bentuk Kejahatan Akan terungkap Jadi Tuk Saling mengingat Perbuatan Kejahatan Itu akan terpecahakan masalahnya

    03/02/2022

      1
  • avatar
    Ilomfi

    cerita nya bagus dalam hal membongkar suatu misteri dan aku suka karena ada juga pesan moral nya. terimakasih author telah membuat cerita ini.

    30/01/2022

      1
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด