logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Ke mana dokter Hani?

Kamar Mayat
Part 5
***
Hampir sekitar satu setengah jam, kami, aku dan kedua kakak senior, mengurus ketiga jenazah yang akan dibawa pulang oleh keluarga mereka masing-masing. Setelah semua urusan selesai dan ketiga jenazah tersebut sudah diambil keluarganya dari kamar mayat, kami lalu membersihkan setiap brankar yang bekas dipakai untuk tempat ketiga mayat tersebut.
"Ahmad, kami mau ke musala dulu ya. Ini sudah waktunya salat asar, nanti gantian," kata Kak Hardiman, setelah kami beristirahat sejenak.
"Kamu jaga di dalam sini aja, jangan keluar. Nggak usah takut, nggak bakalan ada apa-apa kok. Paling juga ada yang minta ngajak ngobrol. Ya kan, Har," kata Kak Yono, sambil melihat ke arah Kak Hardiman. Mereka berdua lantas terkekeh. Aku hanya tersenyum menanggapi gurauan mereka, yang menurutku sama sekali tak lucu.
"Kak, kenapa kita nggak gantian saja?" tanyaku.
"Gantian gimana maksudnya?" Kak Yono balik bertanya.
"Saya yang pergi berdua ke musala sama Kak Hardiman atau Kak Yono," jawabku.
Sejenak kakak senior itu saling berpandangan. Tak lama setelah itu mereka berdua tertawa bersama.
"Ahmad, Ahmad, bilang saja kalau kamu takut berada di kamar mayat ini sendirian. Nggak usah pakai bilang gantian segala macam. Ya kan?" kata Kak Yono, masih sambil terkekeh.
Aku tak menjawab, tapi dalam hati aku sangat berharap kalau kedua kakak senior itu akan mengabulkan permintaanku.
"Kamu kalau maunya ditemani terus, nanti nggak bakalan bisa berani, Ahmad. Padahal kan kita dinas di kamar mayat ini memang seharusnya punya jiwa pemberani, nggak penakut. Soalnya pekerjaan kita memang menyangkut bermacam hal yang berbau horor dan menyeramkan. Maka dari itu, kami berdua sebetulnya memang sengaja selalu ninggalin kamu sendiri, biar kamu berani," kata Kak Hardiman panjang lebar.
"Iya, Ahmad. Sebentar lagi kan kamu akan dapat giliran piket malam. Gimana jadinya kalau kamu masih takut. Nanti malah kerjaan kamu nggak beres. Percayalah, di kamar mayat ini nggak bakalan ada jenazah yang mengancam jiwa. Jadi kamu nggak usah takut," kata Kak Yono menimpali.
"Ya sudah, sekarang kami pergi dulu, nanti keburu habis waktu zuhur," ujar Kak Hardiman
Kak Hardiman dan Kak Yono kemudian beranjak dari duduk dan berjalan menuju ke arah pintu.
Setelah mereka pergi, aku melihat-lihat cermin yang menempel di dinding, yang ada di dekat meja kerja kedua kakak senior itu. Sebab aku merasa penasaran, kenapa setiap kali aku melihat cermin tersebut, tampak bayangan ketiga jenazah sedang duduk. Padahal sudah jelas, ketiga mayat itu dalam posisi tidur di atas brankar.
Aku memandangi cermin yang berukuran lumayan besar itu. Mengamati dengan saksama setiap sudutnya, sembari mengusap-usap bagian depan cermin tersebut. Tak tampak ada yang aneh menurutku, biasa saja. Sama seperti sebuah cermin pada umumnya. Hanya memang terlihat agak buram, mungkin karena sudah lama dan jarang dibersihkan. Maklum saja, petugas kamar mayat di RS Angkasa semuanya laki-laki, yang tentu saja kurang telaten kalau disuruh mengurusi sebuah cermin.
Saat sedang asik mengamati, tiba-tiba muncul bayangan dokter Hani di dalam cermin itu. Seketika aku menjerit karena saking merasa kaget. Aku kemudian membalikan badan, bermaksud akan berlari keluar. Tapi ternyata terhalang oleh dokter Hani, yang sedang berdiri di depanku.
"Kamu kenapa, Ahmad? Kok mukamu sampai pucat begitu? Memangnya apa yang kamu lihat di dalam cermin itu barusan?" tanya dokter Hani, yang tiba-tiba saja sudah berada di dekatku. Dia menatapku penuh selidik.
Sejenak aku terkesiap, sambil memandang wajah dokter Hani tanpa berkedip. Kapan dokter Hani datang ya? Kenapa dia tiba-tiba sudah ada di dalam kamar mayat ini? Kenapa aku sampai tak mengetahui waktu dia masuk ke sini, bahkan suara langkah kakinya pun tak terdengar, padahal kan dia pakai sepatu dengan hak tinggi, aku membatin.
"Ahmad! Kamu ditanya kok malah bengong gitu," kata dokter Hani, seraya menepuk pundakku.
Seketika aku tersadar. "Oh … eh … kenapa, Dok?" tanyaku.
Dokter Hani mengerutkan dahi. "Kamu tadi lihat apa di dalam cermin itu, Ahmad?" Dokter Hani mengulangi pertanyaannya.
"Oh … nggak ada, Dok. Tadi saya cuma sedang lihat-lihat cermin itu aja," jawabku gugup.
"Ya sudah kalau begitu. Saya kira ada yang kamu lihat di dalam cermin itu," kata dokter Hani, sembari tersenyum penuh misteri. Dia lalu menuju ke meja kerjanya.
Aku langsung merinding, saat melihat senyum dokter Hani. Padahal aku lihat wajahnya benar-benar cantik. Tapi entah kenapa, setiap kali dia tersenyum, membuat bulu kuduk spontan meremang.
Aku kemudian kembali mengamati cermin yang ada di depanku. Dan aku merasa seperti ada yang aneh dengan cermin tersebut. Kenapa cermin ini ditaruh di kamar mayat ya. Apa gunanya. Kondisinya juga sudah retak di bagian kiri bawah. Kenapa tak diganti saja dengan yang lebih bagus, jika memang ada manfaatnya. Bermacam pertanyaan singgah di kepala.
Aku lalu duduk. Dan saat mataku melihat ke arah meja dokter Hani, dia sudah tak tampak lagi duduk di sana. Aku mengucek-ucek mata. Barangkali saja mata ini salah melihat. Pandanganku mengitari sekitar meja dokter Hani. Tapi dia tetap tak terlihat ada di sana lagi.
[Ke mana perginya dokter Hani. Kapan dia keluar dari sini. Sepertinya aku tak mendengar ada suara pintu dibuka. Akh … dinas di kamar mayat ini betul-betul membuat aku jadi bingung dan merasa takut]
***
Tak lama berselang, Kak Hardiman dan Kak Yono datang. Mereka memandangku dengan tatapan heran.
"Kamu kenapa bengong gitu, Ahmad? Kayak orang yang sedang bingung," tanya Kak Yono, sembari menatapku heran.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. "Saya nggak kenapa-napa, Kak. Sekarang saya mau ke musala dulu ya, Kak," kataku sambil berdiri. Aku lalu berjalan ke arah pintu, meninggalkan Kak Yono dan Kak Hardiman yang masih keheranan.
Aku lantas berjalan menyusuri koridor RS, menuju ke arah musala. Ketika lewat di depan kamar OK, lagi-lagi aku melihat dokter Hani sedang duduk sendirian di bangku depan kamar OK.
[Dokter Hani sedang apa ya. Kenapa dia selalu duduk sendirian di situ? Apa dia sedang menunggu temannya yang ada di dalam kamar OK itu, sebab di kamar mayat nggak ada yang bisa diajaknya mengobrol]
Ingin sekali sebenarnya diri ini menyapa atau sekadar mengangguk sambil tersenyum pada dokter Hani. Tapi tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Bahwa setiap kali melihat senyum dokter Hani, aku langsung merinding. Maka aku mengurungkan niat untuk menyapanya. Meskipun sekilas sempat terlihat dengan ekor mata, dokter Hani sedang memandang ke arahku.
Bergegas aku menuju ke musala. Di sepanjang koridor, hanya ada beberapa orang perawat yang kutemui. Suasana di sekitarnya lumayan sepi, sebab jam berkunjung pasien sudah selesai beberapa waktu yang lalu.
***
Bersambung

หนังสือแสดงความคิดเห็น (409)

  • avatar
    UtamiSella

    ceritanya bikin merinding 😟😟😟

    19/07/2022

      0
  • avatar
    NAN91CHANEL

    segala Bentuk Kejahatan Akan terungkap Jadi Tuk Saling mengingat Perbuatan Kejahatan Itu akan terpecahakan masalahnya

    03/02/2022

      1
  • avatar
    Ilomfi

    cerita nya bagus dalam hal membongkar suatu misteri dan aku suka karena ada juga pesan moral nya. terimakasih author telah membuat cerita ini.

    30/01/2022

      1
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด