logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 9 Masa Lalu Kelabu

Hari-hari kemudian dilalui Jingga hanya fokus kepada pekerjaan. Beberapa pandangan mencibir dan meremehkan yang diterimanya dari sesama karyawan yang tampaknya merasa iri atau tersaingi, dianggapnya justru sebagai penyemangat diri agar lebih meningkatkan prestasi lagi.
Yang penting berikan yang terbaik, maka hasil yang terbaik pula yang akan mengikuti. Itu sudah hukum alam yang tak terbantahkan.
Demi untuk melupakan rasa sakitnya akibat kehilangan cinta untuk kesekian kali dalam hidupnya, ia curahkan seluruh energi dan perhatiannya untuk bekerja. Nindy yang menyaksikan betapa keras usaha Jingga, terkadang menanyainya penasaran,
"Tadi sarapan apa, sih? Manusia kok kayak nggak ada capeknya?"
Jingga hanya tergelak mendengar seloroh temannya. Ia semakin dekat dengan Nindy semenjak mengerjakan job bersama. Tak disangkanya gadis gemoy itu ternyata cukup pengertian dan care. Seringkali ia memeriksa laci meja Jingga, hanya untuk mengecek apakah kotak bekal ada di situ atau tidak. Ia bilang khawatir Jingga telat makan, bisa sakit kalau energi diforsir tanpa ada asupan makanan yang memadai.
Jingga sampai terharu dan selalu berkata bahwa kotak bekal fix nggak akan pernah tertinggal karena yang memasukkannya ke dalam tas adalah ibunya.
"Nggak usah cemas gitu, dong, Ndy. Lama-lama jadi mirip ibuku aja kamu, wkwkwk,"
Nindy menjawab senewen, "Aku kuatirnya kalau kamu sakit, tuh, jadi harus aku yang ditabrakin orang-orang. Horor banget deh, ogah."
"Ish, kirain cemas karena sayang, sialan!"
"Wkwkwk Ge-er!"
Mereka bercanda terus sambil mata dan tangan tetap serius bekerja.
Ya, memang posisi Jingga dalam beberapa hari terakhir benar-benar menjadi sorotan. Ia selalu tampak salah di mata yang lain. Padahal ia melakukan semua atas perintah dari Bu Tutik. Kalaupun ada inisiatifnya sendiri, itu juga selalu ia konsultasikan dahulu kepada sang Kepala Bagian.
Beberapa karyawan Line, termasuk Ulfa, malah terang-terangan mengatainya penjilat. Ah, nanti saja diluruskan apa maksud mereka bicara begitu. Ia harus fokus kepada hal yang lebih penting ketimbang sekedar mengurusi pendapat orang lain tentangnya, begitu pikirnya.
Saat jam istirahat, kini Jingga dan Nindy pun selalu makan siang bersama sambil saling bertukar cerita mengenai suka duka selama bekerja. Nindy yang usianya masih 22 tahun, mengaku shock saat Jingga mengaku ia sudah 25 tahun. Nindy menyangka mereka seumuran. Dan mulailah pertanyaannya merembet ke arah yang sangat sensitif di telinga Jingga,
"Terus, kapan nikah?"
Seketika Jingga merasa dunia menjadi gelap. Padahal terik matahari siang itu sampai ke dalam ruangan melalui celah-celah dari lubang angin di bagian teratas dinding hingga menyiratkan berkas-berkas sinarnya di sekeliling.
"Eh, aku pergi salat duluan, ya. Sekalian kebelet, nih," Jingga segera menyudahi makannya dan bangkit beranjak menuju ke Mushalla membawa serta tas kecil berisi mukenah dan sabun cuci mukanya.
Nindy tak begitu memperhatikan perubahan dalam raut wajah Jingga tadi. Ia terus saja fokus menyelesaikan kesibukannya mengeksekusi bekal makan siang yang porsinya memang dua kali lipat dari porsi milik Jingga.
* * *
"Jadi bener, Mbak Jingga putus sama Mas Miko?"
Jingga hanya mengangguk tanpa minat untuk menjelaskan apapun kepada Nila. Percuma, pikirnya, si adik tukang kepo ini justru akan terus mengubernya dengan pertanyaan aneh-aneh kalau semakin ditanggapi.
"Emangnya kenapa, sih, Mbak? Ada masalah apa?"
"Apa nggak bisa dibicarain lagi?"
"Padahal kalian berdua udah kelihatan serasi banget, lho, Mbak."
Tepat seperti dugaan Jingga, Nila langsung memberondong dengan pertanyaan yang tiada putusnya. Jingga sampai jengah dan hampir meneriakinya untuk keluar dari kamar.
Nila yang frustrasi karena sang kakak tak kunjung menjawab pertanyaannya pun meradang.
"Mbak harusnya jangan sering-sering mutusin cowok. Kata orang-orang pamali. Nanti gak dapet-dapet jodoh, lho!"
Jlebb. Kalimat terakhir dari adiknya sebelum meninggalkan kamar tepat menusuk ke dalam jantung Jingga. Netranya telah mengembun oleh butiran air mata tanpa dapat lagi ditahan. Dadanya seakan mendadak sesak dengan tenggorokan yang tercekat seakan ada sekat yang menghalangi udara masuk ke kerongkongannya.
Tak salah bila Nila berkata begitu. Memang pada kenyataannya, Jingga terlalu sering putus cinta. Patah hati seakan telah berkawan karib dengan dirinya. Telah beberapa kali ia jatuh cinta, tetapi kesemuanya berakhir dalam waktu yang tak pernah lama dan dengan ending kisah yang tragis baginya.
Kisah cinta pertamanya dimulai saat di bangku SMA. Ketika itu ia menaruh hati kepada seorang teman sekelasnya. Meskipun, sifat introvertnya membuat Jingga hanya memendam sendiri rasa itu tanpa ada seorangpun mengetahui. Ia memuja cowok itu, Kendra--si bintang kelas--dalam hatinya saja. Berharap sang pujaan memiliki rasa yang sama. Sampai saat kenaikan kelas tiba, malah si Kendra jadian dengan teman sebangku Jingga!
Suatu tamparan telak. Hari-harinya kemudian hanya diisi dengan hati yang terasa perih sebab telah patah berkeping-keping dan susah move on karena harus sering melihat kedekatan dua sejoli itu.
Masa putih abu-abunya pun terlewati dengan kepiluan menangisi cinta pertamanya yang kandas oleh teman dekatnya sendiri. Tak terbayang sakitnya ketika teman sebangkumu selalu curhat mengenai pacarnya yang juga adalah pria yang kau puja, bukan? Rasanya benar-benar seperti berada di atas bara api setiap hari.
Ketika ada cinta lain yang menyapa, sebut saja Haikal namanya. Ia adalah teman pria yang berkenalan lewat sosial media. Dia datang menyatakan cinta padanya. Ia kira segalanya berjalan lancar, mereka cukup bahagia bersama.
Akan tetapi, setelah berhubungan selama kurang lebih empat bulan, ia ketahuan ber-inbox-ria dengan wanita lain. Jingga memergokinya saat mengecek ponsel sewaktu sedang jalan berdua dan mantannya itu tengah pergi ke toilet.
Menyesakkan sekali rasanya ketika selaksa rasa dikhianati oleh sang penakluk hati. Sekali lagi ia terluka tepat di sudut hatinya.
Kemudian, pernah ada teman kerja yang meskipun tanpa status selalu memberikan perhatian-perhatian istimewa padanya. Namanya Indra. Dia selalu siap membantunya setiap saat diperlukan. Dia juga seringkali memberikan hadiah-hadiah kecil yang terlalu sweet untuk dianggap hanya sebagai kawan.
Semakin hari, Jingga merasa kian nyaman dan mulai menyimpan rasa khusus untuknya. Mereka sering jalan berdua meskipun memang tak pernah ada ungkapan cinta.
Rupa-rupanya, setelah harapan dalam hati Jingga menukik naik berkat kebersamaan mereka yang sekian lama, satu fakta menyakitkan hadir bersama datangnya seorang karyawan baru di tempat kerjanya yang memperkenalkan diri sebagai kekasih Indra.
Luar biasa sekali kagetnya, Jingga sampai tak dapat berkata apa-apa. Ia juga tak dapat menyalahkan siapa-siapa, karena toh, memang Indra tak pernah mengatakan langsung bahwa ia mencintai Jingga.
Ia hanya begitu kesal pada dirinya sendiri, yang begitu mudah menaruh hati tanpa menyelidiki. Ia menyesal begitu gampang jatuh cinta tanpa menanyakan status atau perasaan dari Indra sendiri.
Tega-teganya Indra melambungkan harapannya setinggi langit, untuk kemudian dihempaskan ke dasar jurang tanpa aba-aba sebelumnya. Seandainya ia memiliki tekanan darah tinggi, Jingga mungkin sudah terkena serangan jantung mendadak. Beruntung kesehatan masih membersamainya.
Parahnya, kejutan yang sungguh telah membuyarkan segala impian indahnya itu datang tepat setelah ia mengutarakan kepada keluarganya bahwa ia telah punya pasangan. Patah hatinya harus diiringi dengan rasa malu kepada keluarga karena sekali lagi telah membuat mereka kecewa. Keinginannya untuk segera memiliki pasangan halal seakan hanya fatamorgana. Timbul sekejap untuk kemudian menghilang selamanya.
Ia tentu saja tidak dapat terus bekerja di tempat yang sama. Bertahan di sana, di tempat yang sama dengan pria yang ia kira mencintainya tengah bersatu kembali bersama kekasihnya yang selama ini terpisah jarak adalah hal bodoh yang dapat merajam habis hatinya setiap hari. Karena itu, diputuskannya resign dari situ. Ia masih muda, dan pengalaman kerjanya masih akan banyak diperlukan oleh perusahaan-perusahaan lain, begitu pikirnya.
Benar saja, segera setelah resign, dia dipanggil masuk kerja di perusahaan yang bergerak di bidang yang sama dengan tempat kerja sebelumnya. Perusahaan produsen sepatu export di kotanya ini justru lebih bonafid dari tempat kerja Jingga sebelumnya.
Ia masih terus tergugu dalam senyap, menutup wajahnya dengan bantal agar isaknya tak terdengar sampai ke luar kamar.
Memutar memori cintanya di masa lalu semakin menambah dalam luka patah hatinya kali ini. Sesak di dadanya semakin bertambah demi mengingat semua kemalangannya dalam hal asmara.
Ah, apakah memang cinta sejati hanya diperuntukkan bagi para wanita yang cantik saja? Mengapa kawan-kawannya seakan begitu mudah bertemu jodohnya dan langsung menikah di usia muda? Sementara ia sendiri hanya berpetualang dari satu hati ke hati yang lain tanpa pernah ada yang lama bertahan dan sampai ke jenjang yang lebih tinggi?
Apa ia terlalu jelek sebagai wanita? Rasa percaya dirinya seketika menurun drastis. Ia sepertinya akan minder untuk tampil di depan pria manapun setelah ini. Kegagalan demi kegagalan yang telah ia alami cukup membuatnya takut untuk kembali mencoba jatuh cinta dan menemukan jodohnya.
* * *

หนังสือแสดงความคิดเห็น (43)

  • avatar
    MardianaRina

    Ketika kita mengalami trauma yang sangat terpenting adalah menyendiri untuk memberikan waktu dan mengendalikan diri, juga ketenangan dan kepercayaan dalam dirinya untuk bangkit.

    04/02/2022

      10
  • avatar
    Qurratuainy

    sangat bagus

    23d

      0
  • avatar
    NazaMohd

    Naise

    28/05/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด