logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

CHAPTER 7 - TEROR II

Tidak, aku tidak menunggu datangnya sakit itu. Hanya saja aku sedikit penasaran dengan seseorang yang membantu Kayla dan Rey keluar dari mimpinya. Apakah Banyu dan Tia juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan Kayla dan Rey. Mana mungkin manusia biasa bisa masuk ke dalam mimpi untuk membantu orang lain yang tidak bisa keluar dari mimpi mereka sendiri. Ini lebih tidak masuk akal untuk diterima akal sehatku.
Bukan hanya itu saja yang aneh, jika teringat mata Kayla tadi... rasanya aku ingin berteriak. Tatapan kosong itu, seperti bukan Kayla. Suaranya pun terdengar lebih rendah dari suara Kayla yang biasanya, dan juga nada bicaranya itu.. Kayla tidak pernah berbicara seperti itu padaku. Seperti ada sesuatu yang merasuki tubuhnya dan memberitahuku bahwa setelah ini adalah waktuku. Sempat aku bertanya pada Rey saat kami menuju kantin rumah sakit, apakah dia merasakan hal yang aneh pada Kayla, namun dia menjawab tidak ada yang aneh dengan Kayla. Atau mungkin ini hanya perasaanku yang berhasil membuat aku takut untuk tidur malam ini.
Mataku tidak berani untuk terpejam. Semakin dipaksa, semakin aku tidak bisa tidur. Pernyataan Kayla itu benar-benar menggerogoti pikiranku. Aku mendengar suara ketukan dari jendela kamarku. Sekali. Dua kali. Aku ingin membuka gorden jendela, tapi aku benar-benar tidak berani melakukannya. Apakah aku harus ke kamar saudara laki-lakiku untuk memintanya membukakan jendela kamarku, ya? Tapi ini hampir menunjukkan pukul 1 dini hari, pasti dia tidak mau diganggu lagi. Aku tetap bertahan di dalam selimutku, mencoba untuk berdoa sekuat tenaga, mungkin suara itu akan menghilang. Tetapi ketukan itu datang lagi, kali ini empat ketukan keras dan panjang yang membuat aku benar-benar ketakutan. Haruskah aku menelepon seseorang di rumah? Papa? Mama? Kakak? Aku raih handphoneku di bawah bantal yang aku tiduri, dan sungguh aneh, tiba-tiba tidak ada sinyal.
Berkali-kali aku menelan ludahku sendiri, menenangkan diriku bahwa ini semua bukan sesuatu hal yang menakutkan. Memaksa diriku untuk berdiri dan menyelesaikan hal ini. Jantungku yang berdegup kencang, napasku yang tercekat, tanganku yang gemetaran untuk meraih kain gorden kamarku.
DUG DUG DUG!!! DUG DUG DUG!!! DUG DUG DUG!!!
Aku membuka sedikit gorden, dan melihat seorang laki-laki dengan jas hitam berada di luar jendela kamarku. Matanya melihat tajam ke arahku, walaupun aku tidak dapat melihat jelas wajahnya karena tertutup masker dan hoodie jas hitamnya. Segera aku berlari keluar kamar menuju kamar orang tuaku.
Aku ketuk pintu kamar orang tuaku sekeras mungkin, namun tidak ada jawaban, “Pa! Ma! Tolong aku!” aku teriak dan mendorong pintu kamar mereka. Kosong. Lalu, aku berlari ke kamar kakak laki-lakiku, namun kamarnya juga kosong. Apa yang sebenarnya terjadi? Rasanya aku ingin menangis. Suara ketukan dari luar terdengar berulang-ulang dan dari banyak tempat. Aku mencoba masuk ke kamar saudaraku yang lain, masih kosong tidak ada orang. Rumah ini kosong.
Aku berteriak sekeras mungkin, namun suara teriakanku tidak bisa mengalahkan suara ketukan dari luar rumah, yang entah sejak kapan memenuhi rumah ini. Aku jatuh terduduk dan menutup mata serta telingaku. Tiba-tiba saja ada suara langkah kaki dari sepatu boots terdengar dan semakin dekat. Aku memaksakan diriku membuka mataku, dan terkejut karena aku sudah tidak lagi berada di rumah, melainkan di sebuah jalan yang sepi bersama seorang laki-laki yang memakai jas hujan berwarna hitam. Gerimis tiba-tiba mengguyur badanku, di saat itu juga aku menangis sekeras mungkin. “Tolong!! Tolong aku!!”
Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari balik badannya, sebuah besi panjang yang berkali-kali dia ketukkan di jalanan beraspal. Aku memasang badan memohon untuk diselamatkan di tengah tangisanku. Laki-laki itu tidak menghiraukanku. Aku tidak bisa berlari dari sini, bahkan berdiri pun sudah tidak mampu, badanku terlalu lemah untuk berlari. Laki-laki itu tertawa, suaranya benar-benar tidak aku kenal, dan tangannya yang memegang besi panjang itu dilayangkan ke atas bersiap untuk memukulku. Aku memejamkan mataku ketakutan.
Tidak ada suara. Sunyi, hanya terdengar suara gemericik air hujan. Aku membuka satu mataku dan melihat seseorang berada di depanku dengan celana kain rumbai dan flat-shoes.
“Pergi sekarang, nak! Jangan pedulikan aku, jangan melihat kebelakang! Pergi!” ucap orang itu padaku. Aku berdiri dan berusaha untuk terus berlari.. berlari.. dan berlari menuju setitik cahaya yang bersinar di depan sana.
-o-
“Arin! Arin!” panggil Mama saat aku membuka mata. Napasku benar-benar tidak terkontrol, dan Mamaku langsung memelukku dengan sangat erat. “Panggil dokter sekarang, cepat! Pa!” ucap Mama lagi pada seseorang. Mataku tertuju pada sosok Kayla di sebelah Mama berdiri dengan senyuman aneh sekali, sama seperti waktu itu. Aku dengan segera memalingkan wajahku darinya.
Aku melirik ke kanan dan ke kiri, dan melihat sosok Rey yang juga ada di ruangan ini. Aku masih mencoba untuk mengatur napas dan mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Dokter masuk ke dalam ruangan dan memeriksaku di area badan dan mata. Aku tidak bisa mengikuti percakapan dokter dengan mamaku, seperti orang linglung. Aku melirik lagi ke arah Kayla, dan kali ini aku melihatnya menangis tersedu-sedu. Aku semakin bingung dengan apa yang terjadi sekarang.
“Rin?” panggil Papaku. Aku menoleh pelan pada Papaku dan merespon apa adanya. “Jangan khawatir, kamu istirahat saja,” ucap papa sambil mengelus rambutku.
Papa dan Mamaku keluar dari ruangan, meninggalkanku, namun Rey dan Kayla tetap tinggal di dalam. Mereka mendekatiku dan duduk di kursi tempat Mama dan Papaku tadi di sampingku. Aku masih diam, masih bingung dengan apa yang terjadi dan hanya bisa menatap mereka. Kayla menghapus air matanya, wajahnya begitu khawatir, berbeda dengan yang pertama kali aku lihat saat membuka mata.
“Apa kita harus melakukan sesuatu, Kay?” tanya Rey pada Kayla.
“Aku juga bingung. Beberapa minggu ini membuat kita kehilangan arah. Sungguh,” ucap Kayla. “Kita tunggu yang lain saja, bagaimana?”
“Kemarin sore sewaktu di studio, aku hanya berdua dengan Banyu, dan sebenarnya kita berdua diteror lagi di sana. Banyu yang orangnya se-bodo amat saja, benar-benar sangat ketakutan,” kata Rey yang terlihat sangat frustrasi, aku tidak pernah melihat temanku satu ini sebegitu frustrasinya seperti itu.
“Te..ror lagi?” tanyaku dengan suara serak dan pelan. Keduanya menoleh kepadaku.
“Kamu tidak apa-apa, Rin? Sini kami bantu,” tanya Kayla saat aku mencoba untuk duduk. Mereka berdua membantuku untuk meninggikan ranjang.
“Entah..lah,” aku meneguk air yang diberikan Kayla padaku, “Mungkin.. ini sama dengan yang kalian rasakan kemarin. Jadi kalian berdua diteror apa lagi?” tanyaku pada Rey mencoba mengganti topik, tidak ingin diingatkan kembali pada mimpi buruk itu lagi.
“Saat Banyu mengedit video yang di upload kemarin, dia tidak bisa menggerakkan kursornya. Video itu tiba-tiba terputar sendiri tapi tampilannya sangat berbeda, seperti video yang berbeda dari yang dia sudah edit, lalu muncul semua foto-foto wajah korban dalam kondisi mengenaskan dan itu bergerak cepat. Hampir dia melempar laptopnya karena ketakutan. Mungkin jika video terputar dengan wajah korban tidak masalah, tapi kata Banyu foto-foto itu penuh darah dan terpampang sangat jelas.”
Rey bercerita sambil menunjukkan badannya yang bergidik ngeri. Aku terkekeh kecil melihatnya. Kayla hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan kami berdua, “Lalu, bagaimana denganmu, Rey?” tanyaku lagi.
“Bukan teror yang berat, hanya suara-suara yang berganti jadi suara orang berbisik di telingaku. Tapi itu berhasil membuat telingaku sakit sekali dan aku tidak dapat menangkap apa yang diucapkan. Tidak berat, kan?”
“Itu berat, tapi mereka salah sasaran,” kata Kayla membenarkan ucapan Rey, “Rin, menurutmu sekarang apa yang harus kita lakukan?”
Aku diam dan berpikir, tapi seberapa keras aku mencoba memikirkan jalan keluar, ternyata otakku masih tidak sanggup memikirkan hal-hal berat seperti itu sekarang.
“Sebaiknya jangan dipaksa, Rin,” kata Rey yang sepertinya menyadari ketidak sanggupanku.
“Mungkin.... kita harus minta maaf pada Khandra. Terutama kamu Rey,” kataku memicingkan mataku padanya. Aku berganti menatap Kayla, membayangkan kembali wajahnya tadi sesaat setelah aku membuka mata.
“Rin, mengapa melihatku seperti itu?” tanya Kayla sambil memeriksa wajahnya, mencoba mencari apakah ada sesuatu yang melekat di wajahnya.
“Tidak apa-apa, hanya merasa aneh saja,” kataku pelan. Rey dan Kayla melirik satu sama lain seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi mereka hanya terdiam seperti menyembunyikan sesuatu begitu melihat ke arahku, “Atau jangan-jangan kalian yang menyembunyikan sesuatu dariku?”
“Apa kamu.. tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya?” tanya Kayla ragu.
“Tidak, yang aku ingat terakhir, aku ada di rumah dan suara ketukan jendela itu menghantuiku. Aku bahkan tidak ingat mengapa tiba-tiba aku sudah ada di ruangan ini,” kataku melihat sekeliling ruang opname ini, bertanya-tanya kira-kira sudah berapa lama aku terbaring di sini.
“Bahkan kemarin kamu belum sempat pulang, Rin.. Sewaktu kita mengobrol, tiba-tiba saja kamu pingsan,” jelas Kayla yang membuatku mengernyitkan dahi padanya.
“Sebenarnya bukan pingsan yang benar-benar tidak sadarkan diri. Kamu terjatuh dari ranjang, Kay, lalu bergumam seperti orang tidur yang mengigau.. dan baru sadar sekarang,” Rey mencoba menambahkan detail, memperjelas cerita Kayla. Aku menggeleng pelan, tidak percaya dengan apa yang mereka katakan.
“Apa yang terakhir kali kita bicarakan memangnya?” pancingku.
“Makanan? Yang pasti sedang tidak bicara tentang kerjaan. Tapi kamu diam saja tidak ikut menjawab, dan tiba-tiba jatuh pingsan,” kata Kayla, diikuti oleh Rey yang mengangguk. Aku mencoba untuk mengingat pembicaraan terakhir yang aku ingat di ruangan Kayla.
“Pembicaraan terakhir kita…. tentang teror dan kamu bilang setelah ini… adalah giliranku yang sakit,” kataku .
“Kamu bicara apa sih, Rin? Tidak mungkin aku mengatakan hal mengerikan seperti itu.”
“Memang awalnya Kayla cerita tentang dia yang sakit, tapi setelah itu isi percakapan kita hanya bercanda saja,” kata Rey menambahkan lagi.
“Tapi Kayla sempat cerita mimpinya dia, kan? Mimpi di mana ada Madam?” tanyaku memastikan.
“Iya…. sebentar… sewaktu di mimpi, kamu juga bertemu dengan Madam?” tanya Kayla yang meraih tanganku. Aku mengangguk.
“Dia menyuruhku untuk berlari sebelum laki-laki itu akan memukulku dengan besi panjang. Aku hanya bisa lihat celananya saja.. tapi aku yakin itu dia, hanya Madam yang memakai celana eksentrik seperti itu.”
“Setelah aku cerita tentang mimpiku, kamu seperti orang kerasukan, Rin.” Kayla mempererat genggamannya, aku bisa merasakan tangannya yang gemetar.
Aku…kerasukan?
“Kamu yang kerasukan, Kay. Aku yakin. Karena waktu itu tatapanmu kosong dan nada bicaramu.. berubah,” aku bergidik ngeri mengingatnya kembali.
Aku tidak paham dengan apa yang terjadi pada kami. Teror-teror yang kami rasakan.. sakit, takut, kegilaan ini semua bercampur menjadi satu. Aku mengambil handphoneku di meja kecil di sebelah ranjang dan membuka email. Tidak ada email lagi dari Khandra. Apakah memang benar Khandra yang melakukan ini semua pada kami? Apa dia sudah tidak membutuhkan kami sehingga dia akhirnya.. meneror kami?
“Kita mungkin harus benar-benar meminta maaf pada Khandra. Teror-teror ini benar-benar membuatku gila. Aku tidak mau merasakannya lagi, guys,” kataku menepuk pelan tangan Kayla. Rey dan Kayla menundukkan kepala mereka, mengakui bahwa mereka juga lelah akan kegilaan ini. “Bagaimana jika ku kirimi dia email sekarang?”
“Apa kamu tidak mau istirahat dulu? Kita bisa lakukan itu nanti saat di studio, Rin? Anggap saja ini hari liburmu dan gunakan untuk istirahat yang benar,” ucap Rey, “Aku tahu kamu sangat lelah beberapa minggu terakhir.”
“Tidak Rey, jika kita tidak menghubunginya sekarang, teror ini akan terus berlanjut. Aku hanya mengirim permintaan maaf saja kok. Tidak akan membahas hal yang lain.”
“Seharusnya Banyu dan Tia sudah sampai.. Tia bilang mereka sudah dekat dengan rumah sakit tadi,” kata Kayla yang sekarang membuka handphonenya, “Tunggu mereka saja ya, Rin?”
Aku mengangguk menyetujuinya.
Orang tuaku masuk membawa snack untukku dan makan siang untuk kedua temanku, kami berlima mengobrol sejenak selama aku mencoba menghabiskan makan siangku. Setelah mereka memastikan aku menghabiskan makan siang ku, mereka akhirnya berpamitan untuk pulang dan menitipkanku kepada kedua rekanku yang masih menemaniku. Kayla masih dirawat di sini, tapi dia sudah bisa berjalan-jalan karena badannya sudah berangsur pulih dan hanya tinggal menunggu hari esok untuk mendapat izin pulang. Jika memang benar apa yang dikatakan Kayla dan Rey tentang apa yang terjadi kemarin, berarti itu semua hanya mimpi belaka? Tapi.. aku masih merasa itu semua nyata, bukan hanya sekadar mimpi buruk.
Aku bisa mendengar suara Tia dari luar kamar. Suaranya yang khas dan juga suara desisan Banyu yang meminta Tia untuk berhenti bicara. “Itu pasti mereka,” kata Rey, memperjelas kedatangan mereka. Banyu membuka pintu kamar dan Tia segera melemparkan dirinya padaku, memelukku erat. Aku melirik ke arah Banyu yang menutup pintu kembali dan hanya berdiri di sana, bergeleng pelan tidak paham dengan pikiran Tia yang melompat pada orang sakit, terlebih lagi ini di rumah sakit bukan di rumah.
“Akhirnya bangun juga!” kata Tia tepat di telingaku. Tia masih memelukku erat, menggoyangkan badanku menunjukkan kelegaannya.
“Arinda menyarankan kita mengirim email pada Khandra untuk meminta maaf. Menurut kalian bagaimana?” tanya Kayla tanpa menunggu lama. Tia melepaskan pelukannya dan segera menyetujui apa yang diucapkan Kayla.
“Bukannya Rey yang harus minta maaf?” tanya Banyu melirik ke arah Rey yang dibalas oleh Rey dengan memicingkan matanya ke arah Banyu.
“Maksudku, atas nama tim kita. Bukan hanya karena Rey. Di Ghost Bar memang kita juga salah, kan?” kataku memberi penjelasan. Banyu membalasnya dengan tertawa.
“Aku bercanda, Rin. Aku tidak tahu kejadiannya akan menjadi rumit seperti ini. Aku orang yang tidak percaya pada teror, tapi mimpi buruk waktu sakit kemarin benar-benar menerorku setiap aku teringat. Memang lebih baik kita harus meminta maaf pada narasumber dan Ghost Bar itu karena telah membuat kegaduhan.”
“Tapi mereka juga seharusnya meminta maaf pada kita. Mereka sudah membuat kita semua sakit,” kata Tia menggembungkan pipinya kesal. Aku menggelengkan kepalaku sambil menertawakannya.
Rey mengambil laptop dari ranselnya dan memberikannya padaku setelah kami mencapai kesepakatan bersama dan dengan segera aku mengetikkan sebuah email permohonan maaf pada Khandra.
REPLY TO: N1
SUBJECT: SS
Selamat siang, Kak. Kami dari Tim Arinda Navy memohon maaf atas kejadian yang membuat kegaduhan hingga membuat tidak nyaman semua orang saat berada di Ghost Bar beberapa minggu lalu.
-o-
Aku terus saja menanyakan pada Rey, apakah ada balasan email dari Khandra sejak terakhir kali aku mengirimkan email. Namun, balasan itu belum ada. Aku gelisah dan tidak bisa beristirahat dengan baik.
Sebenarnya tenaga di badanku sudah lebih pulih, tapi dokter memintaku untuk istirahat lebih lama lagi agar tubuhku benar-benar sehat. Awalnya aku menolaknya, dan sempat membuat orang tuaku marah karena keras kepalaku, tapi pada akhirnya Rey dan yang lain memilih untuk bekerja di rumahku agar orang tuaku tidak
terus khawatir dan bisa membuatku lebih mudah untuk beristirahat.
“Bagaimana jika Khandra tidak membalasnya?” tanyaku pada yang lain. “Apakah dari kalian ada yang diteror lagi?”
Mereka semua memalingkan pandangan dariku, seakan menutupi sesuatu. Aku melihat ke arah Tia yang biasanya mudah kucari jawabannya, tapi dia menggeleng. Banyu juga melakukan hal yang sama.
“Seriously… Kalian menutupi sesuatu dari aku, kan?” tanyaku penasaran. Rey menggaruk kepalanya dan memalingkan pandangannya dariku.
“Rey, you have to tell me everything!” tekanku dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. “Buat apa kalian nutupin semuanya dari aku sih!”
“Lebih baik ceritakan sajalah, Rey. Daripada Arinda mati penasaran,” kata Banyu santai sambil bersandar di kursinya.
“Kamu saja, Kay yang cerita! Jangan aku!” Kata Rey melemparnya pada Kayla.
“Semua orang di sini tahu, kecuali aku?” Aku memandangi mereka satu persatu.
“Kamu lah, kamu yang nyetir dan turun dari mobil tadi!” Kata Kayla melempar…. pada Rey lagi.
“Kamu kan juga turun…….okay.. okay… fine. Aku yang cerita ke Arinda,” Rey yang malas berdebat dengan Kayla akhirnya mengalah, “Tadi pagi, Kayla kan berangkat ke sini bersama denganku, Rin. Kami sepertinya menabrak orang di jalan depan perumahanmu sewaktu kami sedang bercanda di dalam mobil. Suaranya sangat keras hingga kami berdua terkejut. Padahal mobil kami tidak terlalu kencang atau cepat juga, dan seketika aku berhenti mendadak. Aku keluar dari mobil karena takut korbannya terluka parah”
“Lalu? Siapa yang kamu tabrak?” aku terkejut mendengar cerita Rey..
“Tidak ada,” jawab Kayla singkat.
“Hah? Maksudnya?”
“Iya… tidak ada yang aku tabrak. Kosong. benar-benar kosong dan karena aku berhenti secara mendadak dan turun tiba-tiba, semua orang pun ikut berhenti dan memperhatikan kita dengan tatapan aneh sampai kita berdua malu dan masuk kembali ke dalam mobil,” lanjut Rey. “Benar-benar memalukan.”
Kayla mengangguk. “Rin, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Kayla yang melihatku terdiam.
“Eh, tidak apa-apa kok. Lalu apa yang kalian tabrak waktu itu?” mereka mengangkat bahu mereka. “Bukan hewan? Kucing atau anjing mungkin..”
“Bukan, aku yakin itu manusia. Orang itu berlari dari trotoar ke tengah jalan dan tiba-tiba berhenti menghadap mobilku.”
“Perempuan atau laki-laki?” tanyaku.
“Perempuan.” “Laki-laki.” Rey dan Kayla menjawab bersamaan, namun mereka memberikan jawaban yang berbeda dan saling bertatapan bingung dengan jawaban yang satu dengan yang lain.
“Dua orang?” tanya Tia pada mereka.
“Satu orang kok, aku lihat itu laki-laki sekitar umur 40-an. Dia menoleh dan melihat mataku. Aku yakin dia laki-laki,” kata Kayla ngotot.
“Perempuan Kay, rambutnya panjang masih sekitar umur 20-an, bahkan lebih muda, wajahnya terlihat sendu saat mata kami bertemu.”
Aku, Tia dan Banyu bingung pada mereka berdua. Mengapa bisa melihat orang yang berbeda di waktu yang
bersamaan. “Kalian... tidak bohong kan?” tanya Banyu yang sudah ngeri sendiri. Mereka menggeleng membela diri.
“Aku pikir Banyu dan Tia sudah tahu, kenapa kalian berdua juga ikut kaget?” tanyaku lebih bingung pada Banyu dan Tia.
“Iya, sampai kamu tanya siapa yang mereka lihat.. Aku kan tidak berpikir bakal beda orang, Rin,” kata Tia bergidik ngeri.
Semakin ke sini, semakin aneh teror-teror yang kami dapatkan. Bagaimana bisa Kayla dan Rey melihat dua orang yang berbeda dalam satu waktu dan tempat. Bagaimana bisa aku dengan kondisi sehat, tidak dapat membedakan antara mimpi dan kenyataan. Mungkin kejadian waktu itu memang sedikit keterlaluan, namun, kami sudah meminta maaf dan Khandra sendiri belum menjawabnya. Aku yakin dia pasti sudah membacanya. Tapi, apa yang membuat dia tidak mau memaafkan kami, padahal kami tidak pernah melakukan hal yang dia larang.
“Bagaimana supaya Khandra membalas email kita ya?” tanyaku tiba-tiba. Keempat temanku itu ikut diam dan berpikir setelah mereka selesai bercanda.
“Apa yang bisa membuat seseorang puas di saat-saat seperti ini?” tanya Kayla.
“Tumbal?” jawab Banyu tanpa beban, “Kita buat Rey jadi tumbalnya karena dia yang membuat masalah semakin runyam.”
Kayla dan Tia tertawa puas. Rey mengangkat tangannya, memberikan tanda akan memukul Banyu dengan kepalan tangannya. Banyu sambil tertawa membalas Rey dengan tanda minta ampun.
“Guys… Bagaimana jika.. kita membuat konten introduction tentang kasus ini?” saran Tia tiba-tiba, “Mungkin dengan begitu Khandra mau memaafkan kita berlima. Bukannya ini sudah waktunya kita memperkenalkan kasusnya pada dunia?”
“Ide yang bagus. Mumpung pembunuhan di bawah jembatan itu belum terlalu hilang dari peredaran juga sih, mungkin ini waktu yang tepat untuk memulainya,” tambah Kayla setuju, “Bagaimana menurutmu, Rin?”
“Tapi… apa kalian tidak apa-apa?” tanyaku bergantian menatap mereka satu persatu, setelah apa yang terjadi pada kami, aku sedikit bimbang dan tidak ingin kejadian yang sama terulang padaku, apalagi teman-temanku.
“Rin, kalau kamu ragu, kami semua akan lebih ragu lagi. Menurutku, jika hal ini bisa menghentikan teror yang kita alami, aku rasa saran Tia tidak buruk,” kata Rey yang bersandar pada kursi dan menyedekapkan tangannya.
“Semua saran menurutku harus dicoba bila bisa menghentikan teror ini, kalau ada saran lain selain Tia mungkin?” Banyu menambahkan perkataan Rey. Kami semua menggeleng menjawab pertanyaan Banyu
“Okay, kalau begitu kita pakai saran Tia, kita bisa mulai membuat penawaran isi materinya sekarang juga seperti yang biasa kita lakukan dengan pekerjaan kita,” aku menggulung lengan bajuku dan mengepalkan tanganku, bersiap menuju medan pertempuran selanjutnya, yaitu menghentikan teror ini.
-o-
Kami akhirnya berencana membuat semacam proposal untuk diberikan pada Khandra yang berisi tentang apa saja yang akan kami bahas di dalam konten video pertama kasus ini. Kami mencoba mengingat-ingat apa saja yang terjadi beberapa minggu terakhir yang mungkin bisa kami jadikan isi video perkenalkan agar bisa membuat orang-orang tertarik untuk melihatnya. Tia dan Kayla sangat serius untuk memilah materi, sedangkan Rey dan Banyu membaca-baca ulang file-file yang diberikan oleh Khandra.
“Kay, kita masukkan berita tentang pembunuhan di bawah jembatan itu, dan kartu merah kanji Jepang itu berhubungan dengan kejadian 30 tahun yang lalu,” kataku. Kayla mengangguk.
“Aku masukkan kejadian 30 tahun lalu juga bagaimana?” tanya Tia.
“Semuanya?” tanya Rey.
“Jangan semua, yang awal-awal yang bikin gempar saja. Paling tidak yang ada di berita, yang belum terhapus….” Banyu memberikan saran. Jarang sekali aku melihat mereka antusias membuat materi berlima seperti sekarang, karena biasanya hanya aku, Tia dan Kayla yang membuat materi, dan mereka berdua hanya mengiyakan saja untuk isi materinya.
“Nanti kita katakan juga jika polisi sudah banyak yang give up dengan kasus ini karena ini seperti perfect crime,” kata Rey menambahkan.
“Bagaimana jika masukkan juga tentang keluarga korban yang masih meminta polisi untuk membuka kasus ini lagi? Supaya kasus kali ini tetap dilanjutkan dan tidak ditutup,” tanyaku kepada mereka.
“Itu juga bisa, Rin. Mungkin kita kirim ini aja dulu ke Khandra, nanti kita lanjutkan setelah Khandra mengonfirmasi poin-poin ini,” kata Tia pada kami.
“Kalau begitu sekarang bagi tugas, Kay, Tia. Kalian bagian mengetik isi yang mau disampaikan. Aku buat kalimat untuk dikirim ke email dengan Banyu dan Rey,” kataku meregangkan jariku.
Kami sangat fokus dengan email yang akan kami kirim untuk Khandra. Mencoba membuat kalimat-kalimat yang setidaknya bisa membuat Khandra membalas email kami. Setelah akhirnya kami memasukkan attachment file proposal hasil kerja Kayla dan Tia di email, kami segera mengirim email yang kami buat itu pada Khandra.
“Semoga email kali ini dibalas oleh Khandra,” ucap Tia yang memejamkan matanya dan berdoa. Kami berempat mengamini ucapan Tia dengan lantang. Kami ingin teror ini selesai.
“Aku tidak yakin dia akan membalasnya,” ujar Banyu meremehkan.
“Kalau tidak di balas, aku yakin kamu tidak akan berani tidur tanpa kakakmu,” ejek Rey. Kami tertawa dari kenyataan bahwa Banyu belum berani tidur sendiri di kamarnya, karena takut dengan teror yang dia terima. Banyu tersenyum kecut. Mereka terus saja membuat candaan tentang Banyu, hingga….
Ting!
Bunyi notifikasi yang tidak kami silent terdengar nyaring di ruang meeting. Kami yang sedang bercanda pun terdiam dan saling menatap. Pandangan kami kini tertuju pada Banyu, yang sudah menelan ludah dan mengangguk pada kami semua.
"Dari Khandra.”

หนังสือแสดงความคิดเห็น (46)

  • avatar
    AuliaSela

    ceritanya bagus bangetttt tapi kenapa gak pernah up lagi

    20/07

      0
  • avatar
    aryaalif

    Sigit rendang

    12/06

      0
  • avatar
    Jack Andrew

    iloveyou

    24/12

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด