logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 4 Si Tampan Yang Misterius

Clair merasakan tubuhnya yang teramat pegal akibat lelah bekerja seharian. Dia berjalan lesu menuju apartemen sederhananya yang ia huni bersama puteranya. Langkahnya pelan agar tak mengganggu putera kesayangannya karena mungkin saja Sean sudah tidur karena jam sudah menunjukan pukul 10 malam waktu Korea.
Hari ini dia lembur hingga malam. Dia membuka pintu kamar satu-satunya yang ada di apartemen tersebut, mendapati Sean yang tengah tertidur meringkuk di atas kasur.
Clair menaruh tas selempangnya di atas nakas lalu duduk di atas ranjang sembari mengelus kepala puteranya penuh sayang.
"Sean," bisiknya pelan. Dia bermaksud membangunkan puteranya karena mungkin saja bocah itu belum makan.
Dia mengguncang pelan tubuh Sean namun bocah itu tak juga bangun, malah mendapati puteranya yang mengingau menyebut kata 'Ayah' yang membuat hatinya cukup teriris.
"Sean, ayo bangun."
"Ayah, Sean rindu Ayah, Ayah di mana?" gumamnya dengan mata terpejam.
Tak tahan dengan pemandangan yang cukup menyakitkan hatinya. Clair kembali mengguncang tubuh puteranya, kali ini cukup kencang hingga membuat bocah itu terjaga.
"Ibu."
"Ayo bangun!"
"Ibu baru pulang?" tanyanya.
Clair mengangguk lalu mengelus kembali kepala Sean. "Maafkan Ibu, apa Sean sudah makan?"
Kepala bersurai hitam itu menggeleng. "Aku menunggu, Ibu."
"Maaf ya, hari ini Ibu lembur, sekarang kau cuci muka dulu, lalu setelah itu kita makan bersama, Ibu membelikanmu Bulgogi, kau mau."
Sean mengangguk antusias dan secepat kilat turun dari atas ranjang dan berlari ke arah kamar mandi yang terletak di samping dapur. Clair hanya bisa meringgis menahan perih di dadanya. Takdir memang tidak adil untuk puteranya. "Maafkan Ibu Sean, di mana kau. Puteramu begitu ingin bertemu denganmu," ucapnya lirih. Wanita itu sudah hampir putus asa bertahun-tahun dia mencari lelaki yang merupakan ayah kandung puteranya. Namun, sosok itu tak juga dirinya temukan.
Bodohkah dia?
Mungkin saja, bukankah Seoul itu luas. Lagipula dia mendapatkan informasi bahwa pria itu tinggal di Seoul sudah sekitar 11 tahun yang lalu. Mungkin saja laki-laki itu sudah tidak ada lagi di Seoul sekarang, namun dia tetap nekat melarikan diri ke tempat ini, karena tidak ada pilihan lain. Clair sudah putus asa. Hidupnya berantakan, masa depannya hancur, dan kedua orangtua yang ia jadikan sandaran memilih mengakhiri hidupnya dengan cara tragis karena tak kuat menanggung malu atas apa yang menimpanya.
"Seandainya waktu mampu diputar, aku ingin memperbaiki semuanya." Clair merintih merasakan sesak di dadanya, karena kenyataannya waktu yang telah terlampaui tak akan mungkin bisa kembali lagi.
****
"Makanlah yang banyak, lihat Badanmu kurus begitu, nak," ucapnya sembari mengelus kepala Sean yang menikmati makan malamnya, walau bocah itu terlihat begitu lesu.
"Ya, Bu." Dia hanya menjawab lirih.
"Sean, lihat Ibu, apa kau baik-baik saja, ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya.
Kepala Sean menggeleng pelan. Dia hanya menunduk tanpa mengalihkan tatapannya dari piring yang masih terisi penuh dengan bulgogi.
"Aku tidak apa-apa," jawabnya pelan. Tetapi, Clair mampu menangkap raut sendu di wajah puteranya itu.
"Jika ada masalah, ayo cerita pada Ibu."
Wajah tampan itu mendongak dengan sorot matanya yang sendu. Dia mengalihkan fokusnya pada sudut ruangan dengan helaan napas berat. "Bu, sebenarnya aku memiliki Ayah apa tidak."
Bibir Clair seketika terbungkam rapat. Otaknya mendadak kosong sekarang. Tidak tahu harus menjawab apa. Terlalu menyakitkan untuknya.
"Bu, kenapa diam?"
Hati Clair seakan terajam oleh pertanyaan yang dilayangkan oleh puteranya. Terus berbohong pada Sean, karena nyatanya pria itu pun tak tahu jika Sean ada.
"Tentu saja kau punya Ayah," jawabnya.
"Seperti apa wajah Ayah, apa Ibu punya fotonya. Aku ingin tahu wajah Ayah, aku merindukannya."
Wanita itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. "Ibu tidak memiliki fotonya Sean, maaf." Pertahanan Clair runtuh seketika. Air matanya lolos tanpa bisa ia cegah. Sean yang melihat ibunya menangis segera menghambur memeluk tubuh kurus orang yang telah melahirkannya. Bocah itu ikut terisak dengan mendekap tubuh Clair.
"Maafkan aku, Bu. Maaf, Ibu jangan menangis, aku janji tidak akan bertanya tentang Ayah lagi, Ibu jangan menangis."
"Maafkan Ibu, Sean. Ibu bersalah padamu, Ibu bersalah." Wanita itu menangis, menangisi takdirnya yang begitu buruk. Sean semakin mendekap erat tubuh ibunya. Ia usap air mata Clair yang basah di pipi tirus wanita yang melahirkannya.
"Ibu jangan menangis, aku sayang pada Ibu." Dan malam itu pasangan Ibu dan anak itu menghabiskan malam dengan menangis.
***
"Hari ini kau kelihatan lesu, Kak?" Andrew yang baru tiba kini ikut bergabung bersama Clair yang duduk seorang diri di dalam pantry kantor yang terletak di lantai 2.
Pemuda itu ikut duduk di samping Clair setelah menaruh tas miliknya di atas sofa.
Clair melirik malas ke arah tetangga apartemen sekaligus orang yang telah ia anggap adik itu. Perasaannya masih kacau sejak semalam. Ia tak mampu menjawab pertanyaan puteranya dan sekali lagi dirinya hanya bisa menangis.
"Kau ada masalah?" tanyanya kembali, berusaha menguak apa yang menjadi masalah yang menimpa Clair. Dia melihat sorot sendu di mata bulat tersebut.
"Aku bingung," ucapnya.
"Kenapa?" Dia menggeser tubuhnya merapat pada Clair karena penasaran .
"Sean menanyakan Ayahnya, aku tidak tahu harus bagaimana, bertahun-tahun aku berada di kota ini, namun tidak ada jejak sedikitpun tentangnya, aku hampir menyerah, Ndrew." Desahan lolos keluar begitu pelan dari bibir Clair.
Seolwoo mengusap pelan bahu wanita kesayangannya. Beban yang ditanggung Lizza sangatlah berat. Seandainya dia yang di posisi wanita bermarga Kim itu, tentu tak akan sekuat wanita tersebut. Hidup dalam cercaan, dan harus menjadi yatim piatu di usia yang sangat muda. Tidak ada lagi tempatnya bersandar, dan hanya puteranya yang dia miliki.
"Aku akan terus membantumu menemukan laki-laki itu, oh ya tadi Nona Kim mencarimu, dia menyuruhmu membersihkan ruangan presdir bersama Seonjoo."
Ada getaran aneh saat lelaki muda itu menyebut nama pria pendiam itu. Melihat Seonjoo ia seperti bercermin pada masa lalu. Tetapi, ia hanya bisa mnegangguk, Seonjoo bukan pria di masa lalunya sama sekali bukan, itu adalah hal yang selalu Lizza tekankan pada diirnya sendiri.
"Baiklah, lalu di mana Seonjoo aku belum melihatnya?" tanyanya.
"Dia belum datang, kau tunggu saja.  Ah iya bocah itu tampan juga, apa kau tak tertarik padanya," godanya yang selalu menjadi aktivitas rutinnya. Mencoba mengiklaskan perasaannya karena sejak awal Lizza tak pernah sedikitpun memiliki rasa untuk ia titupkan hati miliknya.
Lizza menyikut perut pemuda itu dengan bibir mendengus. "Jangan mengada-ada, usianya jauh di bawahku. Lagipula tujuanku saat ini hanya untuk menemukan Ayah Sean, setelah itu biarlah takdir yang menuntunku," ucapnya pasrah.
"Yah, masa depan siapa yang tahu. Lagipula, jika kau ingin menjalin kisah asmara, aku sarankan kau memilih Presdir saja. Jelas Presdir bisa memberikan masa depan yang bagus untukmu dan Sean."
Lizza berdecak kesal, "Jangan sembarangan bicara. Apa kau sudah gila, Presdir sudah menikah jika kau lupa."
"Tapi gosip yang beredar Presdir selalu bersikap dingin dengan istrinya, kau tahu. Kau masih memiliki peluang, lagipula wajah Presdir sangatlah tampan, Kak."
Bibir pink Lizza berdecak. Seolwoo selalu menjodohkannya dengan Presdir Park yang entah seperti apa rupanya. Beberapa tahun bekerja di tempat ini, dia tidak pernah sekalipun melihat pemimpin tertinggi perusahaan ini. Bahkan semua urusan yang berhubungan dengan pemimpin tertinggi itu tak pernah melibatkan dirinya sekalipun, dan baru kali ini dia disuruh membersihkan ruangannya.
"Dasar bodoh, kau selalu mengatakan tampan dan tampan, bahkan sekalipun aku tidak pernah melihat wajahnya," desis Lizza.
Seolwoo tampak terkejut. "Kau serius!" serunya dan mata sipitnya yang membola.
"Apa aku terlihat berbohong." Mata bulatnya kini memutar jengah.
"Tidak sih, tapi aneh saja masa kau tidak pernah melihat wajah Presdir,  aneh."
"Itu memang kenyantaannya, Yoon Seolwoo. Aku tidak pernah bertemu dengan Presdir sekalipun. Kai bilang dia tampan atau apapun itu, mana aku tahu."
Dahinya berkerut samar, oh astaga dia tidak percaya ini, "Kau benar-benar serius!"
"Harus berapa kali aku mengatakannya, Woo. Sudahlah, aku harus mengambil alat-alat kebersihan sebelum Nona Kim marah lagi denganku," ujarnya. Lizza lantas melanjutkan langkahnya meninggalkan Seolwoo yang masih mencerna ucapannya, namun tiba-tiba....,
"Nona Kim!"
Jantung Lizza seakan ingin melompat dari tempatnya. Suara bass yang langsung menyapa indera pendengarnya membuatnya reflek mendongak mendapati wajah tampan milik pemuda dingin itu berdiri menjulang di hadapannya.
Gemuruh di dadanya semakin menjadi. Wajah itu, tidak mungkin dia melupakannya. Sosok yang sampai saat ini masih merajai seluruh ruang di hatinya.
Kenapa? Kenapa sosok Seonjoo begitu mirip dengan seseorang di masalalunya, siapa sebenarnya pemuda ini.
"Seonjoo, ada apa?" ucapnya pelan sembari menetralkan degub jantungnya yang beraturan saat ini.
"Nona Kim menyuruhmu membersihkan ruangan manager Yoo."
"Eh, bukankah Nona Kim menyuruhku membersihkan ruangan Presdir bersamamu?"
"Tidak jadi."
"Kenapa?"
"Tidak tahu," ucapnya lalu melenggang secepat kilat, tanpa peduli Lizza yang berteriak di belakangnya.
"Hei Seonjoo! Tunggu!"
Lizza melanjutkan langkahnya. Wanita itu hanya berdiri mematung di koridor itu seorang diri.
"Ck, menyebalkan. Kenapa dia dingin sekali. Seojoon di mana kau. kenapa kau seperti hilang ditelan bumi. Aku hampir putus asa mencarimu, dan aku yakin dia bukan kau, bocah itu terlalu kaku," gumamnya seorang diri sebelum langkah kakinya kembali bergema di atas lantai.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (9)

  • avatar
    Simpati Telkomsel

    bagus

    14/07/2023

      0
  • avatar
    tedjo pramonofanny

    apa ada kelanjutannya nggak guys

    05/09/2022

      0
  • avatar
    VictoryFery

    bgs

    10/06/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด