logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

3. Teman (Seseorang yang peduli denganmu)

Bel tanda pulang berbunyi, semua siswa bergegas pulang. Begitu juga Runi, tak disangka di hari pertamanya ini dia sudah disambut matematika di jam pelajaran terakhir. Benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Sepertinya tidak hanya dirinya, siswa yang lainpun begitu. Runi bisa mendengar hembusan nafas lega saat bel berbunyi tadi, seolah-olah mereka melepaskan beban berat yang mereka angkat.
"Tunggu!" Baru saja hendak melangkah keluar kelas, seorang siswi mamanggilnya. "Pulpenmu jatuh." Siswi itu memberikan sebuah pulpen hitam kepadanya.
Benar pulpen itu memang milik Runi, segera dia mengambilnya dan tak lupa mengucapkan terimakasih. "Terimakasih, siapa namamu?" .
Siswi itu pun mengulurkan tangannya, "Namaku Hana." Sebenarnya Runi sudah tahu nama siswi itu dari ocehan Lisa tadi, tapi mereka butuh perkenalan secara resmi. Runi menjabat tangan Hana, "Aku Arunika, kau bisa panggil aku Runi." Hana mengangguk.
"Oh ya ini Juna." Tanpa aba-aba Hana memperkenalkan seseorang yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Sama halnya dengan Hana, nama Juna pun sudah diketahui Runi sebelumnya.
"Oh jadi namamu Juna. Aku Runi." Aku mengulurkan tangan, kali ini untuk berkenalan dengan Juna, dia pun membalas uluran tanganku, "Juna"
"Apa kalian sudah pernah bertemu?" Hana penasaran, karena tampaknya dua orang yang sedang Ia kenalkan itu sudah pernah bertemu sebelumnya. Rasa penasaran Hana terjawab setelah Runi menjelaskannya, "Aku menanyakan ruang kepala sekolah padanya tadi pagi."
Sambil berjalan keluar, Runi dan Hana mengobrol tentang hal-hal yang biasanya diobrolkan orang-orang ketika baru bertemu. Sementara Juna lebih banyak diam, ya mau bagaimana lagi keduanya adalah seorang perempuan yang banyak bicara.
"Jadi kau tinggal bersama kakakmu sekarang?" Hana mencoba mengambil kesimpulan dari beberapa penggal cerita yang Runi sampaikan. Runi mengangguk, "Lalu dimana kau tinggal?" Sekarang tinggal Runi lah yang bertanya pada Hana.
"Aku," drrrttt drrrrt drrrrt, kalimat Hana terhenti saat ponselnya berdering. Hana langsung mengangkatnya, "Hallo!"
"Apa?"
"Ya, saya akan segera kesana." Kalimat terakhir yang dikatakan Hana sebelum Ia menutup teleponnya.
"Kalau begitu aku pergi dulu!" Tanpa mengatakan apa yang terjadi Hana bergegas pergi dengan terburu-buru. Runi bengong selama beberapa detik untuk mencerna apa alasan Hana pergi mendadak. Ia juga sedikit khawatir, mungkin saja terjadi sesuatu yang buruk sehingga Hana pergi terburu-buru dengan wajah cemas. Sementara Juna sudah paham betul dengan situasi ini, ini bukan kali pertama Hana terburu-buru pergi setelah mendapat telepon, kemarin-kemarin pun pernah. Tentu Juna tahu alasannya, apalagi kalau bukan telepon dari rumah sakit tentang kondisi ibunya.
"Kenapa dia terburu-buru?" Runi mencoba mencari jawaban dari Juna, "Pasti ada sesuatu yang penting." Setelah jawaban singkatnya, Juna berjalan pulang mendahului Runi. Kebingungan Runi bertambah saat Juna dengan wajah datarnya pergi begitu saja.
"Ah mungkin itu masalah pribadi Hana." Karena tak mau terus-terusan dilanda kebingungan, Runi menarik kesimpulannya sendiri. Lalu melangkah pulang.
"Selamat siang pak!" Runi menyapa seorang guru yang baru saja melewatinya, guru itupun merespon dengan menganggukan kepala.
"Tunggu." Runi mengehentikan langkahnya, "Bapak itu!! Wajahnya tidak asing." Runi menoleh ke belakang, matanya mengikuti langkah guru itu. Runi sangat yakin, dia pernah melihat bapak itu. Setelah cukup lama mengingat, akhirnya muncullah jawaban. Runi mengingatnya dengan jelas sekarang, bapak itulah yang memberitahunya pertama kali tentang kematian orang tuanya dulu. Beliau juga yang mengantar Runi dan Alva ke pemakaman.
"Permisi pak, tunggu!" Runi berlari menghampiri guru itu, tindakan Runi sebenarnya tergolong tindakan yang kurang sopan, karena berteriak memanggil gurunya dari jauh. "Ada apa?" Dengan wajah garang guru itu bertanya ketika Runi sudah ada di depannya.
Runi sedikit takut saat melihat wajah garang guru itu, tapi rasa penasarannya sudah melampaui rasa takutnya, jadi tanpa ragu Ia bertanya. "Maaf sebelumnya, apa bapak masih ingat dengan saya?" Bapak guru yang belum diketahui namanya itu tampak bingung. Tentu saja bapak itu bingung, kalaupun mereka pernah bertemu, guru itu pasti tidak akan mengingatnya, karena Runi masih kecil saat itu, pastinya sudah banyak yang berubah saat ini.
"Saya, Arunika. Sepuluh tahun lalu bapaklah yang memberitahu saya tentang kematian kedua orang tua saya." Runi menjelaskannya dengan rinci. Bapak itu sedang mencoba mengingat kembali, "Sepertinya kau salah orang." Beliau kemudian pergi begitu saja. Runi sangat yakin dengan ingatannya, bagaimana bisa Runi salah orang?
Jika bapak itu tak mengingat wajahnya, seharusnya beliau ingat tentang peristiwa sepuluh tahun lalu. Tragedi mengerikan dimana Runi dan Alva harus kehilangan kedua orang tuanya, dan beliaulah orang yang pertama kali membawa berita buruk itu pada Runi. Apa semudah itu beliau melupakannya?
Ah sudahlah! Mungkin saja karena termakan usia jadi bapak itu lupa. Lagipula itu masa lalu, harusnya Runi tidak terus-terusan membongkar memori kelamnya itu.
☆○☆○☆
"Keadaannya sempat drop tapi, kini sudah stabil lagi." Hana menghembuskan nafas lega setelah mendengar penjelasan dokter Daniel. Sudah lama Ibunya dirawat di rumah sakit, namun tak ada perkembangan yang signifikan, ini bukan kali pertamanya Ibu Hana jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Penyakit komplikasi adalah penyebab utamanya.
"Kau juga harus menjaga kesehatanmu! Apa kau sudah makan?" Dokter Daniel menasihati Hana, mengetahui Hana datang ke rumah sakit dengan menggunakan seragam, pastilah dia baru saja pulang sekolah, dan kemungkinan besar melewatkan makan.
"Aku sudah makan." Tentu saja Hana berbohong, mana sempat dia makan saat mendapat kabar bahwa keadaan ibunya memburuk.
"Jangan berbohong! Makanlah, akan lebih merepotkan jika kau sakit." Sekali lagi dokter Daniel memberikan perhatiannya. Tapi Hana tak berkutik dari tempatnya, masih disamping ibunya menunggu beliau sadar sambil menggenggam tangannya.
"Baiklah, terserah kau saja. Tapi pastikan dirimu tidak akan sakit." Dokter Daniel pergi setelahnya, melihat Hana seorang diri merawat ibunya membuat dokter Daniel bersimpati, setidaknya dia harus memberi dorongan moral pada gadis itu.
Dokter Daniel adalah dokter yang perhatian, dia juga masih muda. Dia sudah menangani ibunya sejak lama, jadi mereka bisa dibilang sudah saling mengenal. Bahkan dokter Daniel sudah menganggap Hana seperti adiknya sendiri, jadi tak heran jika dokter Daniel selalu memberi wejangan-wejangan penting kepada Hana.
Hana memandangi ibunya dengan mata berkaca-kaca, dia hampir saja menangis karena ibunya tak kunjung sadar. Namun wajahnya langsung berbinar setelah ibunya membuka mata, "Ibu!!".
"Hana!" Dengan suara lirih ibu Hana memanggilnya, "Akhirnya ibu sadar." Hana menciumi tangan ibunya, dia sangat bersyukur ibunya masih bertahan sampai sejauh ini. Ia tak bisa membayangkan jika ibunya pergi, lalu dengan siapa dia akan hidup?
"Apa kau sudah mengunjungi ayahmu?" Wajah Hana berubah seketika saat mendengar kata 'ayah', Ia tak sudi mendengar kata itu lagi. Kekecewaan terhadap ayahnya sangatlah besar, karena ayahnya lah, Ibu Hana harus bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup sampai sakit-sakitan seperti ini. Jika saja ayahnya tak melakukan kesalahan, mungkin sekarang ayahnya tak harus mendekam di penjara, dan ibunya tak akan sakit.
"Hana? Kau sudah mengunjunginya kan?" Karena tak kunjung mendapat jawaban, Ibu Hana bertanya sekali lagi. Hana tak bisa berbohong pada Ibunya jadi dia mengatakan yang sebenarnya, "Aku tidak menjenguknya."
"Kenapa? Kasihan ayahmu." Ibunya berkata dengan wajah sedih. Hana tak habis pikir kenapa Ibunya masih saja peduli dengan lelaki itu, padahal sudah jelas sekali ayahnya melakukan kesalahan. "Ibu boleh saja memaafkannya, tapi aku tidak bisa." Hana meninggikan suaranya, tapi tak lama setelah itu dia sadar, tak seharusnya dia berbicara kasar pada ibunya seperti itu.
"Maafkan aku ibu!!" Setelah meminta maaf Hana keluar dengan wajah menunduk, duduk di salah satu kursi dari sederet kursi di koridor rumah sakit untuk menenangkan diri. Tapi ternyata duduk sendirian membuatnya semakin sedih mengingat keluarganya yang hancur, dan melihat ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit sekarang, semua itu benar-benar mengiris hatinya. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh. "Aku harus kuat!" Pikirnya.
Tapi air matanya seketika jatuh ketika Juna datang dan menutup matanya dengan sapu tangan, seolah-olah menutupi air mata yang jatuh, agar tak ada orang lain yang tahu Hana menangis kecuali dirinya sendiri. Hana menangis terisak, meluapkan segala emosinya. Sedangkan Juna sengaja diam untuk memberikan waktu menangis pada Hana.
Beberapa menit kemudian, setelah Hana merasa lebih baik, dia menurunkan tangan Juna untuk menyingkirkan sapu tangan itu. Hana menatap Juna dengan mata yang masih berkaca-kaca "Terimakasih." Kemudian mengambil sapu tangan dari tangan Juna, "Aku akan mengembalikannya setelah aku mencucinya!"
Juna melihat temannya itu dengan tatapan sedih, kadang ingin sekali dia membantu meringankan bebean keluarganya, tapi Hana akan selalu menolaknya, jadi satu-satunya yang bisa dilakukan Juna adalah selalu berada disamping Hana "Menangislah saat kau ingin menangis, menahannya hanya akan membuatmu sakit."
"Dan jangan pikir dirimu sendirian! Itu membuatku sedih."
Hana mendengarkan dengan baik apa yang diucapkan Juna, dalam hatinya dia membenarkan apa yang dikatakan temannya itu. Menangis akan membuatnya sakit, dan Hana tidak sendiri sekarang, karena ada Juna di sampingnya.
Juna meletakkan kantong kresek berisi makanan dan minuman tepat disamping Hana "Makanlah, bebanmu akan semakin berat jika kau sakit". Bisa dilihat betapa perhatiannya Juna pada Hana, jika diperhatikan Juna mirip sekali dengan dokter Daniel yang selalu mengingatkannya untuk makan.
"Terimakasih." Hana berusaha tersenyum di depan Juna, dia tidak boleh membuat orang-orang khawatir dengan dirinya. Bahkan Juna datang menemuinya dengan seragam yang masih melekat di badannya.
"Kau sebaiknya pulang, Ibumu pasti akan mencarimu!" Tidak pulang, Juna justru mengambil nasi kotak dari dalam kresek dan membukanya. Juna Mengambil satu sendok nasi lengkap dengan lauknya, lalu menyodorkannya pada Hana, "Haruskah aku menyuapimu?"
Hana langsung mengambil alih nasi kotak itu, "Berikan padaku, aku bisa makan sendiri." Hana tak mau menanggung malu jika Juna benar-benar menyuapinya. Bayangkan saja, banyak orang yang berlalu lalang disana, apa kata mereka jika melihat gadis SMA yang makannya masih disuapin. Atau mungkin mereka akan berpikir jika Hana dan Juna sedang berpacaran di rumah sakit. Hana tidak mau mengambil resiko itu.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (86)

  • avatar
    MikaKyra

    alur ceritanya benar-benar bagus. Penulis nya hebat dapat membuat cerita seperti ini. Semangat untuk penulis nya

    02/01/2022

      0
  • avatar
    junelsyDelphi

    bgus

    04/04

      0
  • avatar
    Lamongan IndahPraditha

    🥳🥳🥳

    01/03/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด