logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 66 Tragedi di Ruang Sidang (2)

"Yu, pergilah. Tak usah cemas. Biarlah ibumu menjadi urusan kami di sini."
Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Mengapa tragedi seperti ini harus terjadi hari ini? Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah mendapatkan vonis hukuman, ibunya yang sekarang dalam kondisi yang dia sendiri tak paham keadaannya.
Apakah wanita yang telah melahirkannya itu sanggup menghadapi kenyataan pahit ini? Atau justru sebaliknya, wanita itu tak sanggup lagi menatap dunia karena masalah yang dibuat dirinya. Bayu meratapi nasib yang sungguh tak berpihak padanya. Hanya satu pinta dalam hatinya, semoga kondisi ibunya baik-baik saja.
"Pergilah, Bang. Kami akan mengurus Ibu."
Bayu menegakkan tubuhnya yang sempat terasa lunglai saat bertatapan dengan istrinya itu. Kepalanya mengangguk dengan lesu.
"Abang titip Ibu."
Bayu melangkahkan kakinya dengan sedikit terpaksa. Meninggalkan ruangan sidang yang membuat dunianya seketika berubah. Tinggal menunggu saatnya saja, jabatan yang diembannya akan tinggal kenangan saja. Hilang, seperti hilangnya rasa percaya kepada seorang teman di hatinya. Dirinya dijebak yang akhirnya berujung pada kemelut kisah yang menuntunnya pada kehidupan suram sepanjang hidupnya.
Ranti melangkahkan kakinya ke arah sang mertua, diikuti sang ibu di belakangnya. Tampak Ilham dan Anwar mencoba mengipas-ngipaskan selembar karton tebal ke arah wajah Bu Ratna. Sementara Nina dan Ririn tampak sibuk mengoles-oleskan minyak angin di daerah hidung ibu mereka.
"Jangan terlalu sesak! Beri ruang pada ibu itu!" pinta Firman yang ikut mendekat bersama Ridwan.
Mereka memang tak terlalu mengenal keluarga Bayu. Selama ini mereka hanya berhubungan dengan Ranti saja dalam penanganan kasus Bayu.
"Kalau memang Ibu belum sadar, kita bawa ke klinik saja. Pakai mobil Ranti saja, Pak," ujar Ranti sembari mengeluarkan sebuah botol mineral kemasan dari dalam tasnya. Belum terbuka, masih tersegel rapat. Ranti mengulurkan botol minuman itu kepada bapak mertuanya.
Hampir saja Anwar dan Ilham mengangkat tubuh ibu mereka itu ketika samar-samar terlihat mata tua itu mengerjap perlahan.
"Ibu sudah sadar?" cecar Pak Rahmat sembari kembali mendekat ke arah istrinya itu.
Mata tua Bu Ratna terbuka lantas tampak memindai sekelilingnya. Matanya tajam menatap satu per satu wajah yang ada di dekatnya. Saat mata itu bertemu dengan Ranti, tiba-tiba kesadarannya seolah bangkit kembali. Tubuh yang tadinya terlihat lunglai tiba-tiba seolah seperti telah mendapatkan suplai energi kembali.
"Kamu ... dasar wanita sialan. Gara-gara kamu, anakku mendekam di penjara. Hidupmu memang terkutuk. Dasar menantu sialan! Menikah denganmu hanya membuat anakku selalu kesusahan."
Sontak saja semua yang ada di ruangan itu terkejut mendengar ucapan mertua Ranti itu. Apakah wanita itu sedang kehilangan kesadarannya hingga menceracau seperti ini? Atau, jangan-jangan pikiran Bu Ratna sedang dipengaruhi sesuatu di luar kesadarannya?
Ranti menjadi orang yang paling syok saat mendengar kalimat yang diucapkan Bu Ratna. Mengapa dirinya yang dituduh menjadi penyebab Bayu dipenjara? Bahkan Ranti tak tahu-menahu apa pun tentang telah dilakukan Bayu di kantornya.
"Bu, istighfar. Ingat Allah, Bu. Ibu minum dulu ya!" pinta Pak Rahmat sembari mengulurkan botol minuman yang telah dibuka terlebih dahulu segelnya itu.
"Ibu sudah sadar?" tanya Ilham sembari mengusap peluh yang ada di wajahnya itu.
"Lebih baik kamu berpisah dengan anakku. Bersama denganmu hanya akan membuat anakku mengalami banyak peristiwa menyedihkan saja ... karena kamu wanita pembawa sial. Seumur hidupmu, hanya kesialan saja yang akan kamu berikan untuk anakku. Lepaskan dia, apalagi yang kamu tunggu!"
Kembali Bu Ratna membuat pernyataan yang mengejutkan semua orang. Ranti menatap bingung pada ibu mertuanya. Bu Dewi menghela napas panjang dan segera merangkul lengan putrinya.
"Ibu mengapa berkata seperti itu? Ibu sadar atas semua yang Ibu ucapkan?" tanya Pak Rahmat perlahan. Menjadi pusat perhatian orang saat ini bukanlah sesuatu yang nyaman bagi laki-laki paruh baya itu. Belum lagi rasa malunya kepada sang besan yang berdiri di samping menantunya itu.
"Bapak pikir Ibu tak sadar sekarang? Ibu sangat sadar, Pak. Wanita inilah yang telah menyebabkan anak kita dipenjara. Jika tak menikah dengan wanita ini, tak mungkin Bayu akan hidup di balik jeruji besi, Pak!"
Ranti menatap mertuanya dengan pandangan tak percaya. Firman dan Ridwan memindahkan posisi berdiri mereka. Keduanya tampak mengapit Ranti, takut jika sesuatu terjadi.
"Ibu pikir aku yang menyebabkan semua ini? Mana buktinya? Dan jika Ibu pikir aku hanya menyebabkan kesialan pada anak Ibu, harusnya Ibu bertanya berapa banyak uang yang sudah anak Ibu berikan kepada Ibu dan keluarga selama menikah denganku? Jika aku membawa kesialan, harusnya Ibu bersyukur atas kesialanku ini. Ibu rutin mendapatkan uang karena menantu sialanmu ini!"
Bu Dewi mencoba menenangkan Ranti dengan mengusap lengan putrinya berkali-kali.
"Sadar, Nak! Tak baik bicara seperti itu," bisik Bu Dewi pada Ranti.
"Aku sama sadarnya dengan mertuaku, Bu. Tak usah Ibu khawatir," ujar Ranti dengan tegas.
Nina menatap tajam pada Ranti.
"Tega Kakak berkata seperti itu pada Ibu! Harusnya Kakak itu berkaca dan melakukan introspeksi diri. Bukan berkata yang tidak-tidak seperti ini!"
Ranti terkekeh saat mendengar ucapan Nina itu.
"Aku tega?! Harusnya kamu berkata seperti itu pada ibu kalian, bukan padaku! Satu lagi ... yang harusnya berkaca dan introspeksi diri itu kamu, Nin. Berbulan-bulan meminjam uang tanpa ada keinginan untuk membayarnya. Ini yang kamu bilang tidak-tidak?!" pekik Ranti sembari menahan emosinya yang hampir meledak.
"Aku pasti membayar, Kak. Sama keluarga sendiri perhitungan sekali. Wajar saja hidup Kakak tak pernah bahagia," tukas Nina dengan nada sengit.
Ilham dan Pak Rahmat hanya mampu mengusap wajah mereka berkali-kali. Kejadian ini sungguh tak mereka sangka.
"Kalian pikir .... hidup kalian sudah bahagia selama ini? Setelah kami pinjamkan uang kepadamu, kami bilang aku perhitungan?!"
Bu Dewi cepat menarik tangan putrinya. Wanita itu memberi isyarat pada Firman dan Ridwan untuk membantu usahanya. Bukan karena tak sependapat ataupun ingin menyalahkan Ranti, tapi wanita itu ingin menjaga kewarasan otak putrinya. Berada lebih lama di ruangan itu hanya akan membuat energi dan emosi Ranti terkuras. Bukan hanya Ranti yang dikhawatirkan ibunya itu, kandungan Ranti juga menjadi bahan pertimbangannya.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (76)

  • avatar
    QuainRichard

    wkwkwk

    4h

      0
  • avatar
    Kurniasih Anza

    bagus ceritanya

    19/01

      0
  • avatar
    greatkindness

    nice story

    02/10

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด