logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 5 Lima

Alena duduk mematung di depan cermin rias. Ia memandangi cincin berlian biru yang disematkan Pramudya saat melamarnya.
Cincin ini bukan berlian mahal seharga milyaran rupiah. Bukan pula berlian yang aku inginkan. Aku tak suka modelnya. Tapi kenapa aku nyaman memakainya? Celoteh Alena dalam hati.
Pramudya keluar dari ruang ganti pakaian dan menghampiri Alena. "Kenapa kau diam memandangi cincin itu?" tanya Pram.
Alena menoleh. "Tak apa-apa, aku hanya merasa senang karena cincin ini adalah pemberianmu," sahut Alena.
"Meskipun kau tak menyukai cincin itu kau tetap suka karena aku yang memberikannya?" tanya Pram.
Alena mengerutkan kening."Kenapa bertanya seperti itu?"
"Tadi kau bilang kau senang dengan cincinnya karena itu pemberianku," jawab Pram sambil membelai kepala Alena.
Alena tertegun dengan sentuhan lembut Pram di kepalanya. Ia merasakan betul betapa Pram tulus menyayanginya. Perasaannya membuncah. Ia menyukai sikap Pram namun sekaligus bimbang dan takut.
Alena takut benar-benar jatuh cinta pada suaminya. Kelak jika ia jatuh cinta, ia akan bergantung sepenuhnya pada Pram dan Alena tak menyukainya. Alena sudah berjanji dalam hatinya, ia tak akan pernah jatuh cinta. Ia hanya akan mempermainkan setiap lelaki yang mencoba mendekatinya.
"Apapun yang berasal darimu, aku selalu menyukainya karena kau adalah laki-laki istimewa penghuni hatiku," jawab Alena bangkit dari kursi lalu memeluk Pram.
Pram membalas pelukan Alena dengan erat dan hangat. Alena tergetar, degup jantung Pram masih saja tak beraturan. Degup jantung yang tak pernah ia rasakan saat berada dalam pelukan laki-laki lain.
"Aku mau ikut ke kantor," ucap Alena sambil melepaskan pelukannya.
"Oh, ayo! Pekerjaanku akan semakin ringan jika kau ada di ruanganku," sahut Pram sumringah.
"Tapi aku hanya sebentar, bosan jika seharian duduk-duduk saja di ruanganmu. Atau, kita bisa bercinta di ruanganmu?" Alena memainkan jemari tangannya di dada bidang Pram.
Raut wajah Pram memerah. Ia lantas menggandeng bahu Alena segera keluar kamar.
Alena selalu merasa senang melihat wajah Pram yang kemerahan jika ia menggodanya. Alena bergelayut manja di lengan Pram dan menjatuhkan kepalanya di bahu Pram. Mereka berjalan dengan posisi seperti itu hingga teras rumah.
Di teras, Nyonya Sekar sedang asyik merajut sendirian. Pram dan Alena menyapanya.
"Pagi, Ma!" sapa Pram dan Alena.
Nyonya Sekar meletakkan rajutannya di atas meja lalu membetulkan kacamata.
"Aku mau ikut Pram ke kantor." Alena tersenyum ramah sambil tetap menggandeng Pram.
"Iya sering-seringlah menemani Pram bekerja. Banyak wanita di luar sana yang tetap mengincar suamimu meski ia sudah tidak lajang lagi," sahut Nyonya Sekar.
"Tapi aku sudah memilih Alena sebagai satu-satunya ratu di hati aku, Ma." Pram mempererat rangkulannya di bahu Alena.
"Ayo, kita berangkat. Semakin siang jalanan semakin macet," ujar Alena. Lalu keduanya pamit pada Nyonya Sekar.
Puri keluar dari dalam rumah, memperhatikan Alena dari belakang yang mengenakkan kemeja tanpa lengan dan rok span ketat di atas paha.
"Ma," ujar Puri, ia duduk di sebelah Nyonya Sekar.
"Kenapa, Puri?" sahut Nyonya Sekar mengambil kembali rajutannya di atas meja.
"Apa Mama tidak merasa risih melihat cara berpakaian Alena?" Puri cemberut.
"Sampai saat ini, cara berpakaianmu jauh lebih bagus. Pertahankan! Tapi Puri, seseorang berpakaian terbuka bukan berarti orang itu tidak baik. Alena wanita baik yang ramah pada siapapun termasuk pada asisten rumah tangga di rumah ini dan mereka pun menyukai Alena," papar Nyonya Sekar.
Puri menyandarkan punggungnya pada bahu kursi. Raut wajahnya masih cemberut. "Mama membela Alena karena Kak Pram anak kesayangan Mama, kan?"
"Puri, Mama menyayangi kedua menantu Mama. Jangan pernah menganggap Alena saingan. Diwali dan Pram adalah anak Mama. Mana mungkin Mama akan berat sebelah pada keduanya?" sahut Nyonya Sekar lembut dan menenangkan.
Ekspresi kekesalan di wajah Puri perlahan memudar. Ia pikir mungkin memang tak seharusnya mengkhawatirkan kasih sayang Nyonya Sekar padanya. Justru yang harus ia khawatirkan saat ini hanyalah Diwali.
***
Di ruangan Pram, Alena melingkarkan tangan di leher Pram yang sedang duduk di kursi kebesarannya.
"Nanti siang aku mau ke area produksi. Kau mau ikut?" tanya Pram sedikit gugup.
"Kau bilang jika ada aku di ruanganmu kau akan semakin semangat bekerja. Tapi kenapa kau gugup seperti ini?" Alena menciumi leher dan telinga Pram.
Pram semakin salah tingkah. Alena pun makin gemas melihatnya. Jemari tangan Alena bermain di dada Pram. "Apa kau mau bercinta denganku di ruangan ini?" Alena makin gencar melancarkan serangan.
Namun ketukan di pintu menghentikan rayuan Alena pada suaminya.
"Saya Indriani, Pak. Boleh saya masuk?"
"Masuklah!" jawab Pram. Alena sedikitpun tak mengendurkan pelukannya di leher Pram.
Indriani masuk dengan pakaian yang masih super ketat dan menggoda. Alena melihat Indriani sekilas lalu tetap kembali menciumi telinga Pram.
"Jadwal Bapak meeting hari ini. Permisi, Pak!" Indriani meletakkan berkas lalu kembali pamit dengan hati kesal melihat sikap Alena yang sama sekali tidak mempedulikannya.
Istri bos yang binal. Tak seharusnya ia bersikap tak pantas di ruangan atasan. Huh, dia pikir hanya dia satu-satunya wanita paling seksi di dunia ini? Apa aku masih kurang seksi di mata Pram? Indriani bersungut-sungut dalam hati.
"Alena," panggil Pram lembut saat Indriani sudah meninggalkan ruangan.
"Hm," jawab Alena.
"Aku sudah berkali-kali meminta Indriani untuk berpakaian biasa saja jauh sebelum aku mengenalmu. Namun ia tak pernah mendengarkan aku," ucap Pram khawatir.
"Memang kenapa dengan cara berpakaian dia? Dia memakai pakaian kerja dan rapi," sahut Alena santai.
"Tapi pakaian kerja yang ia kenakkan terlalu seksi," jawab Pram.
"Aku percaya padamu. Ribuan wanita berpakaian seksi di luar sana. Hanya aku yang bisa menggetarkan hatimu. Jadi aku tak perlu merasa khawatir." Alena duduk di pangkuan Pram.
"Aku bagaimana bisa kerja kalau kau seperti ini terus, Alena." Pram mendesah gelisah.
"Sayang!" panggil Alena.
"Hm."
"Ada hubungan kerja sama apa antara kau dan tamu yang kemarin datang pagi-pagi sekali ke rumah?" tanya Alena hati-hati.
"Oh, itu Arya Permadi. Sebetulnya dia pengusaha batubara asal Kalimantan. Hanya saja aku dan dia sedang mencoba menjalankan bisnis kecil-kecilan," jawab Pram.
"Bisnis apa yang kalian jalankan?"
"Properti," sahut Pram pendek.
Alena mengangguk dan tersenyum manis. Ia berharap dalam hatinya. Arya tak akan pernah mengungkapkan hubungan antara dia dan dirinya.
"Lusa aku ke Perth. Ada sedikit urusan di sana." Alena memainkan anak rambut di dahi Pram.
"Urusan apa?" tanya Pram.
Alena diam beberapa saat. "Menemani Samuel, perancang busana pernikahan kita. Ia punya kawan orang Prancis, suami istri. Mereka ingin membeli beberapa buah apartemen di Perth untuk investasi. Samuel memintaku menjadi penerjemah suami istri kawannya itu," sahut Alena.
Pram mengangguk pelan. "Berapa lama di Perth?"
Alena mengedikkan bahu. "Empat hari atau mungkin satu minggu," sahut Alena.
"Baiklah. Jaga dirimu baik-baik nanti selama di sana." Pram tersenyum lembut pada Alena.
Andai saja Pram tahu siapa yang akan ditemui Alena di Perth.
"Nanti jam sebelas kau ikut aku turun ke bagian produksi, ya. Ada sedikit masalah di sana."
Alena mengangguk setuju dan kembali melingkarkan tangannya di leher Pram, kali ini bibir mereka saling memagut mesra.
Ponsel Alena berdering. Di layar tertera nama Mama Sekar. "Telpon dari Mama, sayang!" ujar Alena.
"Angkatlah!" ucap Pram.
Alena bangkit dari pangkuan Pram lalu segera menjawab panggilan Nyonya Sekar.
"Mama kenapa?" tanya Pram setelah Alena selesai menerima panggilan.
"Mama minta aku menemaninya belanja. Aku tak jadi menemanimu keliling ke bagian produksi, ya. Belanja lebih menyenangkan," sahut Alena manja.
"Ya, sudah. Kau belanja dengan Mama saja."
Alena bergegas mengambil hand bag-nya. Ia pamit pada Pram tak lupa mereka saling berciuman kembali.
Di luar ruangan Pram, Alena melewati meja Indriani. Ia melempar senyum manis dan penuh percaya diri pada sekertaris suaminya itu. Indriani mengangguk sopan dan tersenyum tipis.
Bertepatan dengan Alena hendak masuk ke dalam lift, keluarlah Kamila dari dalam lift. Keduanya berpapasan. Seperti biasa, Alena dengan langkah gemulai dan dagu sedikit tengadah tak pernah peduli dengan penampilan wanita lain selain dirinya.
Berbeda dengan Kamila. Kamila memperhatikan seluruh penampilan Alena dan sedikit merasa terintimidasi dengan sosok Alena yang cantik namun angkuh. Ia lalu bertanya pada Indriani. "Siapa dia?"
"Istri Tuan Pram," sahut Indriani malas.
Kamila terbelalak.
Indriani mendengus. "Jangan kaget jika ternyata selera Tuan Pram  wanita seperti itu. Tetap saja Tuan Pram yang sombong itu tertarik dengan kemolekan tubuh perempuan!"
Kamila tersenyum sinis. "Kau cemburu pada istri bosmu? Oke, wanita itu cantik. Sangat cantik dan kau tentu saja tidak ada apa-apanya dengan dia."
"Maksudmu? Hei, kau pikir kau jauh lebih segalanya dari istri Tuan Pram? Coba cari cermin, sana!" sembur Indriani kesal.
"Aku? Tentu saja aku jauh lebih segalanya dibanding istri bosmu itu. Meski memang susah sekali membuatnya bertekuk lutut padaku. Tak apa-apa, kesempatan masih terbuka lebar untukku. Aku bukan seorang bawahan sepertimu. Aku pewaris Rheins Corporation. Anak seorang pengusaha restoran dan hotel yang sukses. Jangan harap kau bisa bersaing denganku!" ancam Kamila.
"Aku mau lihat sampai di mana usahamu membuat Tuan Pram jatuh ke pelukanmu. Aku merasa sangsi!" ujar Indriani dengan senyum sinis. "Dan kau ada urusan apa menemui Tuan Pram? Di antara kalian tidak ada kerja sama apapun!" lanjut Indriani.
"Jangan ikut campur urusanku. Paham!" Kamila segera bergegas menuju ruangan Pram tanpa mengetuk pintu.
"Anak seorang konglomerat tapi tak punya sopan santun!" desis Indriani kesal.
Di dalam ruangan Pram, Kamila duduk dengan tenang melihat Pram yang fokus membaca berkas di atas meja.
"Kapan kalian menikah? Undanganmu tak sampai padaku. Di mana kalian melangsungkan pernikahan?" cecar Kamila.
Pram mengalihkan tatapannya pada Kamila. "Pernikahan kami bukan rahasia namun terbatas hanya untuk keluarga dan kawan-kawan terdekat saja," jawab Pram.
"Seorang Pramudya Adiwiguna menikah diam-diam dan diadakan secara sederhana?" Kamila mengernyit.
"Ada yang salah?" tanya Pram.
Kamila menggeleng. "Tidak. Tapi meski kau sudah menikah, aku tak akan berhenti mencintaimu, Pramudya. Jangan kau pikir usahaku akan berakhir begitu saja!" ancam Kamila sungguh-sungguh.
Pram memandang Kamila lekat. Tanpa ekspresi.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (44)

  • avatar
    Mrbon Bon Michellina

    Good

    03/03/2023

      0
  • avatar
    Gusion

    bagus banget

    08/08/2022

      0
  • avatar
    FF ULEule gege

    makasih

    05/08/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด