logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

BAB07-Anak Nakal

Keesokan hari
Mobil yang dikemudikan oleh Bradley, kini berhenti tepat di area parkiran Bandara Internasional John F. Kennedy kota New York.
Mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dengan bawahan celana kantoran berwarna abu-abu, ia berjalan menyusuri area Bandara. Tak lupa juga ia mengenakan kacamata hitam, menggantung di antara area hidung mancungnya. Aura maskulin pria itu terumbar dengan sangat jelas.
Sampai di dalam Bandara, ekor matanya berkeliling mencari sesosok orang yang selama ini dia nanti-nantikan kepulangannya. Kini, Bradley terhenti di antara keramaian pengunjung dengan melesatkan pandangan hanya ke satu titik tempat, yaitu terminal kedatangan luar negeri.
"Kemana anak nakal itu," gumam Bradley seraya berkacak pinggang.
Sosok pria yang dicari Bradley, akhirnya menampakkan diri setelah beberapa menit, baru saja keluar dari terminal kedatangan. Bradley mengayun langkah menuju pada pria tersebut.
Lambaian tangan ke udara juga terlihat dari sahabat kecilnya, saat mengetahui kedatangan Bradley menuju ke arahnya.
"Masih bisa tersenyum," gumam Bradley kesal.
"Ketat sekali wajahmu," ledeknya menyambut kedatangan Bradley dengan bibir melengkung membentuk sebuah senyuman.
Bradley tidak memedulikan ucapan pria bernama Ansel. Dia langsung melayangkan pukulan di bahu sahabat semasa kecilnya itu dengan gemas.
"Agh," pekiknya sembari menyentuh pada bagian tubuh yang di tinju tangan Bradley.
"Sial! Kau mempermainkanku selama dua tahun, Sel!" ketus Bradley.
"Hey ... hey ... kawan. Aku ini baru saja tiba di New York. Apa kau tidak merindukan aku? Bukan pelukan yang kudapat, tapi tinjuan ini sangat menyakitkan bagiku. Kau sama sekali tidak pernah berubah soal ini!" katanya sok marah.
Bradley melepas kacamata hitamnya dengan kasar. "Kau keterlaluan, Sel. Meninggalkan perusahaan di saat kau baru saja dilantik untuk menangani bisnis keluargamu. Terus, kau membuatku dalam keadaan yang terjepit selama tempat dan kedudukanmu kosong. Kau pikir aku bisa tenang begitu saja?!" dan ia membuang wajahnya ke arah lain bersamaan dengan itu, napasnya terdengar menggebu efek kekesalan yang tertunda selama ini.
Ansel tertawa karena merasa lucu melihat Bradley marah-marah. Kini, ia kembali mendapati tatapan tajam nan menyeramkan dari iris kecoklatan Bradley.
"Kenapa kau tertawa! Apa kau pikir aku sedang melucu?"
Si pria yang ditanya masih mengembangkan rasa kegembiraannya. "Ayolah, kawan. Kau terlihat seperti bukan dirimu sendiri kalau terus-terusan begini. Kau marah-marah? Ini bukan seperti kau yang aku kenal" katanya dengan melingkarkan lengan tangan di atas pundak Bradley. "Setahuku, kau itu sangat ramah dan memiliki kerendahan hati yang tiada duanya di muka bumi ini. Kau bisa melakukan apa pun, di kala aku sedang dalam masa yang sulit. Kau bisa kuandalkan, kepercayaanku. Dan kau, adalah asisten pribadiku yang memiliki segudang ilmu, Brad. Serta, sahabat yang selalu memberikan contoh terbaik buat sahabat gilanya. Ayolah, jangan memarahiku lagi. Aku baru saja tiba di kota kelahiranku. Seharusnya kau menyambutku dengan tari-tarian dong," ledeknya lalu tertawa.
Bradley cemberut kesal dan menepis lengan Ansel dengan kasar.
"Jangan membujukku dengan rayuan murahanmu, Sel. Jalanlah, aku akan mengantarkanmu menghadap kakekmu. Kau tahu, betapa marahnya dia ke aku? Aku adalah karyawan dia yang tak becus mengurusimu. Ingat! Aku dipilih sejak kecil untuk mengurusmu. Jadi bersikaplah sebagai atasan yang benar. Aku rasa ini waktu yang tepat untuk memarahimu!" sentak Bradley.
"Aku akan menuruti apa katamu. Sudah, jangan memarahiku terus. Kau terlihat tua seperti itu," cibir Ansel lalu berjalan lebih dulu.
"Sialan! Kau memang pria yang tidak bertanggung jawab!"
Bradley memaki ke arah punggung Ansel. Pria itu malahan mengangkat tangan ke udara tanpa membalikkan badan dan tatapan. Ia terus berjalan menyusuri pengunjung yang berlalu lalang di sekitarnya.
"Dia masih bisa menjawab ucapanku. Dasar pria gak punya masa depan," gerutu Bradley.
Dengan sabar ia menarik koper bawaan Ansel dan ikut berjalan dari arah belakang pria yang merupakan atasan sekaligus sahabat.
☘☘☘
Pagi itu dianggap biasa oleh Alona. Dia turun dengan menaiki anak tangga untuk bergabung di ruang makan bersama keluarganya.
Tumben menurut Alona. Saat ia melihat seluruh keluarga pagi itu berkumpul di antara meja makan. Tinggal dia seorang yang mereka tunggu.
Ekor mata Madam Issabel lebih dulu mengarah padanya. Namun, Alona tak ingin mempermasalahkan sebab takut membuat keributan di pagi hari dan berujung dengan pertengkaran.
"Selamat pagi, semuanya," sapa Alona saat ia menarik salah satu kursi paling ujung.
"Duduklah, Alona," kata Ken, Papanya.
"Seperti Nona besar yang selalu dinanti-nanti," sindir Margareth, Kakak pertamanya.
"Jangan memulai," kata Ken dengan tatapan menusuk ke Margareth. "Sekarang, nikmati saja sarapan pagi kalian dan kemudian berangkat bekerja," ucap Ken seraya menyentuh kedua alat makannya.
Madam Issabel memasang tatapan sarkas ke Margareth. Sang putri pun menurut karena mengerti arti dari lirikan Madam Issabel untuk berdiam dan tak memulai pertengkaran.
Alona, dia menuruti perintah sang Papa. Meskipun menurutnya mereka semua sama saja. Tidak ada yang bisa dipercaya sebagai tempat untuk berlindung. Semoga saja, Alona mendapatkan sosok orang yang memahami keinginan dan arti sebuah keluarga yang tak pernah dia dapatkan dari orang yang di hadapannya sekarang.
"Jangan lupa janji temu besok," gumam Madam Issabel tiba-tiba, saat ingin menyendok makanannya.
Perlahan aktivitas makan Alona terhenti.
"Janji temu? Siapa yang Mama maksud?" tanya Leon penasaran.
Ken, dia hanya mendengar penuturan sang istri tanpa berniat untuk ikut campur dalam obrolannya.
"Alona. Dia akan dijodohkan dengan cucu—Tuan Alaska," balas Madam Issabel membuat wajah anak-anaknya mengarah pada dirinya, termasuk Alona.
Ia membisu seketika sebelum memutuskan kontak mata dengan Mamanya. "Aku pergi."
Suara dentingan sendok dan garpu pun terdengar saat Gadis itu beranjak dari kursinya dengan sangat berani.
"Alona," panggil Madam Issabel.
Alona terus berjalan menaiki anak tangga tanpa menggubris.
"Dasar anak tak punya sopan santun!" teriaknya.
Ken menarik kain di depannya dan menyeka sisa makanan di area mulut, kemudian melempar dengan kasar ke atas piring.
"Kau yang tak memiliki sopan santun! Lain kali, jangan membahas masalah pribadi di area meja makan. Anakmu akan sopan, jika ajarin Ibunya juga bagus terhadapnya," hardik Ken, dan pergi dari sana.
"Kau!" Madam Issabel mengepalkan kedua tangan. Ia menyoroti kepergian sang suami dengan mata menyala.
"Aku berangkat, Ma," kata Margareth juga merasa malas.
"Aku juga," sambung Leon.
"Kalian semua memang anak-anak yang tak berguna!" jeritnya.
"Sudahlah, Ma. Keluarga ini dari awal memang seperti ini. Tidak ada kedamaian," ucap Larry juga beranjak dari atas kursinya.
"Pergilah, lakukan saja pekerjaanmu dan jangan mengguruiku," kata Madam Issabel.
Larry pun tak lagi berkata-kata. Ia mengayun langkah menuju pintu keluar. Sedangkan Alona, dia masih terperangkap di dalam kamarnya.
Alona berkacak pinggang menatap diri pada pantulan cermin. Ia bolak-balik berjalan dengan menyentuh dahi karena merasa kegusaran akan apa yang sedang dia hadapi.
"Bagaimana bisa, Mama memintaku untuk melakukan perjodohan ini. Aku sama sekali tidak mengenali orang yang dimaksudnya. Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya pada diri sendiri.
Bersambung.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (55)

  • avatar
    Akhwat Fakir Ilmu

    Bagus banget kak Semangat Lagi Membuat karyanya Jgn pantang semanggat semanggat 💪 kk

    14/01/2022

      3
  • avatar
    WahyuniTri

    menarik cerita nya...lucu...gemez semoga selalu semangat membuat cerita² yg lebih baik

    13/01/2022

      0
  • avatar
    Nisa Diva

    500

    15/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด