logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

BAB10-Mencari Kebahagiaan

Ansel pergi dengan perasaan kesal meninggalkan Alona juga Bradley yang masih berada di posisi masing-masing tempat. Alona yang melirik kepergian Ansel pun, tersenyum miring merasa menang atas ide gilanya barusan.
Bradley, pria itu mengusap jejak cairan bening di ujung matanya setelah tawanya menyurut dan mendapatkan pandangan dari manik kecoklatan milik Alona.
"Kau menertawaiku?" Perempuan itu menatap tak suka pada Bradley.
Seulas senyum pun mengembang, dari bibir kemerahan milik Bradley. Ia juga mengangguk tanpa kikuk.
"Ya. Kau sangat lucu, Nona," balasnya singkat.
Alona memberutkan bibir sambil memutar bola matanya sebelum ia merespon ucapan Bradley.
"Kau pikir aku ini seorang badut?"
Senyum merekah kembali terulas dari pria ramah kayak Bradley.
"Bukan seperti itu juga. Kau itu, gadis yang sangat pintar, Nona. Kau pikir aku tidak tahu dengan akal-akalan mu barusan? Hanya orang bodoh yang tak tahu tujuan kamu tadi," balasnya santai dengan tangan bersedekap.
Alona menghembuskan napasnya.
"Apa kau ingin mengadukannya pada temanmu itu?" tanya Alona merasa takut.
Menarik sudut bibirnya dan mengedikkan bahu, Bradley memasang tampang berpikir.
"Entahlah. Jika kau jadi aku, apa yang harus kau lakukan?" balas Bradley bermain tebak-tebakan.
Iris yang kecoklatan masih memasang tatapan sinis ke bola mata coklat milik Bradley. Namun, pria itu masih seperti semula memasang senyum tipis, tapi manis.
"Terserah kau saja. Aku mau pergi," kata Alona.
Alona berdiri, ia pun mengambil kain putih yang telah tersedia di atas meja dan mengusap kedua telapak tangannya secara bergantian. Bradley memperhatikan Alona tanpa berkedip mata. Merasa bersih, Alona kembali meletakkan kain itu ke tempat semula dan mengambil tasnya.
"Biar, aku saja yang bayar," ucap Alona sebelum mengayun langkah.
Kini Bradley tak punya pilihan. Dia hanya mengikuti Alona dari belakang menuju meja kasir, mencoba bernegosiasi.
"Apa kau yakin ingin membayarnya, Nona?" bisik Bradley setelah mereka berdampingan.
"Ya. Karena aku yang memakan semuanya. Tidak masalah, Tuan ...."
"Bradley."
"Agh, iya Tuan Bradley. Tidak perlu sungkan, tapi tolong bekerja samalah denganku untuk menggagalkan perjodohan yang tidak meminta izin dariku."
Bradley tersenyum lagi.
"Baiklah, aku berada di pihakmu sekarang."
Mata Alona jelas terpana mendapatkan jawaban sesuai yang dia inginkan. Tanpa ia tahu, seulas senyum di bibirnya juga tertarik melihat wajah tampan Bradley sedari dekat.
"Baiklah, Nona. Kalau begitu, aku pergi. Berhati-hatilah di jalan," kata Bradley masih dengan menatap dalam ke arah mata indah Alona.
"Terima kasih."
Alona mengangguk kecil, dan mempersilahkan Bradley untuk lebih dulu meninggalkan lokasi cafe.
Pria itu kini melangkah menuju posisi mobil yang berada di area parkiran. Senyumnya terus terulas membingkai wajah tampannya, saat pikiran diisi oleh Alona soal tadi. Apalagi, wanita itu mengucapkan 'terima kasih' padanya.
"Mengagumkan sekali," gumamnya memuji.
"Woi!" seseorang berteriak dari arah berlawanan.
Belum mencapai pintu mobil, Bradley berhenti dan menoleh ke belakang mencari-cari sumber suara yang memanggil dengan lantang.
Sekelebat mata, ia pun mendapati Ansel yang sedang duduk di tembok kecil sebagai pembatas bangunan area parkiran.
"Kemarilah," perintah Bradley.
Ia pun kembali melanjutkan keinginannya untuk membuka pintu mobil, tanpa menunggu sahabatnya itu menjawab. Ya, itu Ansel yang sedari tadi menunggu, karena kunci mobil ada pada Bradley.
"Siapa atasan, dan siapa bawahan. Aku sungguh bingung saat atasan disuruh menunggu di bawah teriknya matahari," sarkasnya seraya berjalan mendekati Bradley.
"Jangan banyak omong. Masuklah," balas Bradley.
Pria di belakangnya hanya terperangah menyaksikan Bradley menarik handle pintu kemudi dan segera masuk ke dalam, tak memperdulikannya.
"Jika tidak masuk, kau akan aku tinggal. Jangan salahkan aku," ancam Bradley sesaat setelah duduk dengan elegannya di jok depan. Sedari tadi, ia tidak melihat pergerakan Ansel.
"Sialan!"
Ansel tidak bisa menolak. Jika pun bisa, dia pasti tidak mungkin bisa sampai di rumah dengan selamat tanpa Bradley. Pria itu tidak pintar menggunakan angkutan umum untuk menuju rumahnya. Karena memang, hidupnya sangat dimanjakan oleh keluarganya sejak kecil.
Setelah Ansel masuk dan memasang seatbelt, Bradley pun melajukan mobil dengan pelan meninggalkan area cafe menuju kediaman Tuan Alaska.
"Kenapa lama sekali di dalam?" tanya Ansel membuka obrolan.
"Ahh, aku ingin membayar semua pesanan kamu tadi. Hanya saja, wanita itu sedang menikmati makanannya. Aku menunggu."
Ansel bergidik mengingat cara Alona menyantap makanannya. Ia merasa jijik, apalagi itu seorang wanita cantik, tapi tidak punya hal baik, pikirnya.
"Jijik. Apa tadi kau tidak bisa melihat caranya menyantap makanannya? Itu sangat menjijikkan bagiku, Brad. Mata kakek memang sudah katarak. Hanya melihat kecantikan dari luar saja. Tapi sikapnya? Duh, memalukan sekali jika aku memiliki istri seperti dia," ucap Ansel.
Bradley sekilas menoleh ke Ansel dan kembali pada jalanan. Lagi-lagi sudut bibirnya tertarik.
"Menurutku, dia itu sangat lucu. Ya, sangat menggemaskan bagiku. Dia sangat berkharisma saat caranya menikmati sesuatu. Punya bakat yang jarang dimiliki wanita-wanita di luaran sana yang menjaga imagenya, agar tidak memperlihatkan sifat aslinya. Sedangkan wanita tadi, dia sangat pintar. Karena dia mau menjadi dirinya sendiri," balas Bradley sambil melempar gerak tawa yang tak mengeluarkan suara.
Ansel tampak tidak terima dengan pendapat Bradley barusan. Ia menggelang tak percaya mendengar ucapan sahabatnya. Dengan kasar, ia mengusap wajah dan mengarah mata menatap pada badan jalan.
"Aku rasa kau sudah tidak waras, Brad. Wanita seperti itu kau kata lucu, pintar, berkharisma? Tidak ada istimewanya bagiku. Katakan pada kakekku tentang kelakukannya tadi. Aku gak mau punya istri seperti dia," celetuk Ansel dengan nada sedikit tinggi.
"Kau yang katakan, nanti aku yang jelaskan."
"Baiklah."
Pikiran Bradley kini dipenuhi dengan senyum dari bibir merah dan seksi milik Alona. Ia merasa bersemangat, karena selalu dipertemukan dengan Alona di beberapa kali situasi yang berbeda.
"Semoga, suatu saat nanti masih bisa dipertemukan dengannya."
☘☘☘
Alona meminta David untuk pulang duluan setelah memberhentikannya di lokasi 6th Avenue, kota New York. Meskipun sempat ditolak oleh David sang pengawal, Alona tetap bersikeras untuk turun karena dia ingin berjalan-jalan disekitar tempat yang memang sangat cocok baginya untuk membuang rasa kegalauan.
Alona kini berjalan sendiri menyusuri pinggiran sekitar jalan raya itu. Ia menatap pada bangunan-bangunan yang menjulang tinggi juga kokoh sembari menikmati kebebasan bersifat sementara.
Pikirannya pun diisi dengan hal yang akan dia dapatkan setelah kembali ke rumah nanti. Lebih tepatnya, Alona sedang menghindar dari masalah yang akan didapatnya dari sang Mama.
Setidaknya memperlambat keadaan yang akan dia hadapi, itu membuatnya siap.
"Jika nanti mendapati amarah mama, mungkin aku harus belajar untuk mandiri. Seperti tinggal sendiri, mencari pekerjaan sendiri, tanpa terikat dengan yang disebut keluarga."
Dalam langkah bimbang, Alona mencari inisiatif untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan yang belum pernah dia rasakan di luaran sana. Teman? Alona punya. Namun, ia hanya dipandang karena terlahir dari keluarga terpandang. Itu hanya sebuah kepalsuan baginya, berteman dengan orang dari golongan yang sama dengannya.
Tidak ada yang bisa membuat Alona nyaman. Sebab, ia menginginkan hidup yang normal seperti kehidupan orang-orang pada umumnya.
"Kak, silahkan mampir di Hot Tea & Coffee. Gerai kita lagi memberikan promo beli satu gratis satu." Dia menghentikan Alona, dan memberikan selebaran promo ke tangannya.
Seorang laki-laki yang diketahui adalah karyawan dari kedai kopi pun, mendekati Alona serta menyadarkannya dari semua keinginan yang sudah tertera dalam pikiran Alona, untuk menjalankan sebuah keinginan semu.
"Terima kasih," balas Alona sambil menerima selebaran promo.
Ia hendak kembali mengayun langkah, namun pandangan Alona mengurungkan niatnya, pada papan pengumuman di depan kedai.
"Di butuhkan segera. Seorang waitres, tanpa pengalaman kerja dan juga yang berpengalaman. Kirimkan lamaran Anda secepatnya ke gerai kami."
Wajah Alona tampak sangat bahagia seusai membaca pengumuman tersebut, karena salah satu keinginannya mulai mendapati titik terang.
Bersambung.
Salam sayang dari Mr. Bradley 😍

หนังสือแสดงความคิดเห็น (55)

  • avatar
    Akhwat Fakir Ilmu

    Bagus banget kak Semangat Lagi Membuat karyanya Jgn pantang semanggat semanggat 💪 kk

    14/01/2022

      3
  • avatar
    WahyuniTri

    menarik cerita nya...lucu...gemez semoga selalu semangat membuat cerita² yg lebih baik

    13/01/2022

      0
  • avatar
    Nisa Diva

    500

    15/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด