logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Pintu Tembok Belakang

BPS (Bidan Praktek Swasta) Indri
Part 7
***
"Mbak maaf, saya mau bicara," kata suami Bu Ambarwati, saat aku sedang membaca-baca buku laporan di ruang administrasi
"Oh … iya, Pak. Silakan duduk," kataku mempersilakan dia duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan itu.
"Begini, Mbak. Saya mau bawa istri saya pulang nanti sore," kata suami Bu Ambarwati.
"Loh … kenapa, Pak? Bu Ambarwati kan baru tadi pagi melahirkan, kok sudah mau dibawa pulang?" tanyaku.
Suami Bu Ambawati kemudian mengatakan apa sebabnya dia mau membawa pulang istrinya.
Aku sudah berusaha untuk mencegahnya dengan memberikan pengertian kepada suami Bu Ambarwati, kalau ibu bersalin itu setidaknya selama satu hari dianjurkan untuk menginap di BPS, agar bisa terpantau keadaannya. Terutama seberapa banyak darah yang keluar, sebab itu yang paling rawan terjadi syok pasca persalinan, bahkan bisa menyebabkan kematian. Namun, dia tetap bersikeras akan membawa pulang saja istrinya.
"Sebentar ya, Pak. Saya tanyakan dulu ke Bu Indri," kataku. "Soalnya saya nggak bisa kasih keputusan."
"Iya, Mbak."
Aku lalu beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju ruang belakang, untuk memberitahukan Bu Indri melalui pesawat telepon.
Ada Clara, anak bungsu Bu Indri di ruangan tengah. Dia sedang menonton acara TV.
"Dik, Mbak mau telepon Ibu, yang mana nomornya?" tanyaku.
Aku kemudian menelepon Bu Indri, setelah Clara memberitahu nomor yang harus kuhubungi.
Lalu, aku memberitahu tentang permintaan suami Bu Ambarwati.
"Ya sudah, kamu siapkan saja semuanya. Jangan lupa agar suaminya tanda tangan di surat pernyataan bahwa dia pulang paksa," titah Bu Indri di telepon.
"Baik, Bu." Kututup telepon dan aku kembali ke ruang depan.
Suami Bu Ambarwati masih menunggu di ruang administrasi. Aku lalu memberikan surat pernyataan pulang paksa yang harus dia tandatangani.
"Bu, tolong siapkan Bu Ambarwati dan bayi-nya, dia akan pulang nanti sore," kataku pada Bu Muji. Dia sedang berada di kamar bayi.
"Loh … kok sudah mau pulang, Mbak? Kan baru saja melahirkan tadi pagi? " tanya Bu Muji heran.
"Iya, Bu. Saya sudah bilang Bu Indri dan kata beliau boleh."
Aku kemudian pergi ke ruang periksa, akan menyiapkan obat, kain kassa dan lain-lain untuk dibawa pulang oleh Bu Ambarwati.
Tak sengaja mataku melihat ke arah pohon asam, tiba-tiba aku merinding. Entah kenapa, padahal siang hari. Seperti ada sepasang mata yang sedang mengawasi di sana.
Cepat-cepat kualihkan pandangan, tapi tetap saja jantungku berdetak tak karuan. Aku bergidik dan segera keluar dari ruangan itu, lalu duduk di salah satu bangku yang ada di depan taman.
"Mbak, sudah siap semuanya. Kata suaminya mau langsung pulang sekarang saja," kata Bu Muji yang baru keluar dari ruang depan.
"Oh … iya, Bu. Sebentar saya buatkan kwitansi pembayaran-nya."
"Pak, mari ikut saya," kataku kepada suami Bu Ambarwati.
Kami kemudian menuju ke kamar periksa. Aku menyiapkan obat dan lain-lain, yang sempat tertunda. Sengaja aku mengajak suami Bu Ambarwati untuk ikut ke kamar periksa, agar tak merasa takut seperti sebelumnya. Setelah semuanya selesai, Bu Ambarwati dan suaminya pamit pulang.
Hingga menjelang zuhur, hanya ada dua orang pasien yang datang berkunjung. Mereka pasien yang akan suntik KB.
"Mbak, makan yuk," kata Bu Muji setelah aku selesai salat zuhur.
Kami berjalan menuju dapur. Nampak Bu Isah sedang duduk sambil minum segelas air kopi.
"Makan Mbak Nita, saya sudah masak enak," kata Bu Isah sembari tersenyum dan mengacungkan jempolnya.
Aku balas tersenyum. "Iya, Bu."
Saat sedang makan, mataku melihat ke arah pintu tembok belakang. Entah kenapa, aku merasa ingin sekali melihat ke sana.
"Di belakang itu apa ya, Bu?" tanyaku pada Bu Muji.
Bu Muji tak segera menjawab pertanyaanku. Kulihat dia melihat ke arah Bu Isah, mereka saling berpandangan. Aku jadi semakin merasa penasaran.
Aku menunggu beberapa saat, berharap Bu Muji atau Bu Isah akan menjawab pertanyaanku. Namun, sampai kami selesai makan, tak satu pun dari mereka yang menjawab pertanyaanku.
Setelah selesai makan, mencuci piring dan gelas, kami ke ruang depan. Bu Salamah sudah datang. Bu Muji lalu pulang setelah berbincang sebentar dengan Bu Salamah.
Jam telah menunjukkan pukul dua siang. Panas matahari sangat terasa di badan, gerah sekali rasanya. Kulihat Bu Salamah sedang mengepel lantai teras depan.
Perlahan aku berjalan ke arah dapur. Aku ingin melihat ada apa di balik pintu tembok belakang. Aku betul-betul merasa penasaran, kenapa semua orang di BPS Indri seakan menutupi sesuatu. Apa sebetulnya yang mereka sembunyikan.
Kulihat Bu Isah sedang tidur nyenyak di kursi bambu yang ada di dapur. Sambil deg deg-an karena takut ketahuan Bu Isah, perlahan aku menuju ke pintu tembok.
Dengan hati-hati kubuka pintu itu, sangat pelan, agar tak menimbulkan suara yang bisa membuat Bu Isah terbangun.
Tampak lahan kebun yang sangat luas, setelah pintu terbuka. Aku melihat beberapa macam pohon sayuran dan buah-buahan ditanam di sana.
Ada cabai, tomat, kunyit, sereh, jahe, bawang merah, terong, bayam, kecipir. Ada beberapa buah pohon kelapa, pepaya, mangga, sawo, pisang, jambu dan … ada sebuah pohon asam di sudut kiri tembok.
Sejenak aku memperhatikan pohon asam itu, sepertinya hampir mirip dengan yang ada di depan ruang periksa.
[Kenapa ya, mereka seperti menyembunyikan sesuatu tentang kebun belakang ini. Padahal kulihat biasa saja, tak ada yang janggal]
"Mbak … ! Mbak Nita … !"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan Bu Salamah di depan pintu dapur. Aku hampir saja melompat saking terkejut. Lalu, aku memberi kode kepada Bu Salamah dengan mengatupkan mulut dan menaruh jari telunjuk agar jangan berisik sambil menunjuk ke arah Bu Isah yang masih tertidur pulas.
Aku lalu menutup kembali pintu masuk ke arah kebun dan bergegas menghampiri Bu Salamah, kemudian mengajaknya ke ruang depan.
"Ada apa, Bu? Bikin kaget saja," kataku agak berbisik.
"Mbak Nita ngapain di sana?" Bu Salamah balik bertanya.
"Ingin lihat saja, ada apa sebetulnya di balik pintu itu. Saya penasaran. Kenapa semua orang di BPS ini seperti menyembunyikan sesuatu."
Bu Salamah diam saja, tak menanggapi perkataanku.
"Itu di depan ada pasien mau periksa. Sudah lama nunggu. Saya pikir Mbak Nita ada di kamar, jadi tadi saya rampungin ngepelnya. Eh … kok Mbak Nita nggak keluar-keluar dari kamar. Saya ketuk-ketuk pintu nggak ada yang jawab. Ternyata ada di belakang."
Sampai di depan taman, ada tiga orang ibu yang sedang duduk menunggu. Mereka sedang mengobrol.
"Maaf, Bu. Lama nunggu ya," kataku sambil tersenyum. Mereka balas tersenyum.
"Ini Mbak Nita, gantinya Mbak Siwi," kata Bu Salamah memperkenalkan aku.
"Mari, Bu. Silakan masuk," kataku.
Ketiga pasien tersebut adalah akseptor KB. Setelah ketiga pasien terlayani dan pulang, aku menghampiri Bu Salamah yang sedang membuat segelas air kopi.
"Bu, pasti ada yang kalian sembunyikan tentang BPS ini kan?" tanyaku langsung tanpa basa basi, aku sudah merasa sangat penasaran.
Bu Salamah bergeming. Dia asik mengaduk air kopi dalam gelas.
"Cerita dong, Bu. Biar saya nggak penasaran," kataku sembari memegang tangan Bu Salamah.
Bu Salamah menatapku, seakan ragu untuk mengatakan sesuatu.
Gemas sekali aku rasanya. Tinggal cerita saja apa susahnya, begitu pikirku.
"Ayo dong, Bu. Cerita.
Bu Salamah menarik napas panjang, kemudian menyeruput kopi yang baru saja dibuatnya. Aku merasa dongkol sendiri melihatnya.
"Tapi Mbak Nita janji ya, nggak bilang siapa-siapa. Karena ini sebetulnya rahasia BPS."
Aku mengangguk cepat dengan harapan Bu Salamah akan segera memulai ceritanya.
"Ini tentang Mas Radit," kata Bu Salamah setengah berbisik. Kami sudah duduk di sebuah bangku yang ada di depan taman.
Aku mengernyitkan kening. Radit? Siapa dia? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.
"Bu Salamah, ini kue untuk yang piket sore," tiba-tiba Bu Isah muncul dari ruang belakang sambil membawa sepiring bolu gulung.
Lalu, dia duduk di dekat Bu Salamah. Mereka kemudian mengobrol. Aku kecewa sekali.
"Mbak Nita, dimakan kue-nya," kata Bu Isah.
"Iya, Bu," kataku sambil mengambil sepotong bolu gulung.
Sepuluh menit sudah berlalu. Bu Isah belum selesai juga mengobrol dengan Bu Salamah. Bahkan sepertinya obrolan mereka semakin asik.
"Oh … iya, Mbak Nita. Tadi Bu Indri telepon Mbak Clara, katanya masih belum bisa pulang. Saya disuruh bilang ke Mbak Nita. Mungkin belum rampung urusan Mas Radit," kata Bu Isah.
Nah iya, aku mendengar nama Radit dari Bu Isah waktu itu. Kenapa Bu Indri masih belum bisa pulang karena mengurus Mas Radit? Siapa dia? Apa yang sebenarnya sudah terjadi dengan laki-laki yang bernama Radit?
***
Bersambung

หนังสือแสดงความคิดเห็น (263)

  • avatar
    Sweetypie

    cerita nya bener² menarik, setiap bab nya selalu di buat penasaran terus gaya bahasa dan cara penulisan pun enak untuk di baca dan di pahami

    26/12/2021

      2
  • avatar
    Elviera

    Best banget cerita ini penuh dengan misteri dan teka teki... Tidak terlalu serem tapi kalau dibikin film mungkin serem sihhh hahha😂kalau kalian semua penasaran boleh start reading yaaa😍😍😍

    21/12/2021

      0
  • avatar
    Sri Sunarti

    bagus banget ceritanya

    1d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด