logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Banyak Kejadian Aneh

BPS (Bidan Praktek Swasta) Indri
Part 6
***
Sejenak aku terkesiap. Darahku berdesir, jantung berdegup tak karuan. Buru-buru aku menutup pintu dan berjalan mengikuti Mbak Mulyani ke ruang administrasi.
"Mbak, aku lihat hantu," kataku dengan suara agak keras dan napas yang masih memburu.
"Sstt … jangan keras-keras," kata Mbak Mulyani seraya menaruh jari telunjuk di mulutnya.
Spontan aku menutup mulut dengan kedua tangan. Aku lupa jika ada pasien yang sedang berada di kamar perawatan.
"Ada hantu, Mbak. Di pohon asem," kataku pada Mbak Mulyani, setengah berbisik sambil bergidik.
Mbak Mulyani malah tersenyum mendengarnya, tentu saja aku merasa aneh dan heran.
"Mbak kok malah tersenyum sih? Nggak takut apa, Mbak?" tanyaku heran.
"Takut sama apa?"
"Sama hantu-lah, masa sama aku?" jawabku.
"Ya takut."
"Tapi kok Mbak malah senyum-senyum gitu."
"Terus aku disuruh ngapain?"
Aku diam. Dalam hati aku membenarkan apa yang dikatakan Mbak Mulyani.
"Mbak, aku sudah tiga kali lihat hantu perempuan itu. Dia itu siapa sebenarnya?"
Mbak Mulyani menatapku sambil tersenyum.
"Mana aku tahu dia itu siapa, lihat bentuknya saja aku belum pernah," jawabnya santai.
Aku melongo. Apa iya Mbak Mulyani belum pernah melihat hantu perempuan itu? Aku yang baru dua hari saja berada di BPS sudah beberapa kali melihat sosoknya.
"Serius, Mbak? Mbak belum pernah lihat hantu perempuan itu?" tanyaku penasaran.
Mbak Mulyani mengangguk. Sebetulnya masih banyak yang ingin aku tanyakan padanya, tapi azan subuh sudah terdengar berkumandang dari toa masjid.
Aku segera menuju kamar, mengambil air wudu dan mendirikan salat. Sementara Mbak Mulyani menuju ke dapur.
"Mau membantu Bu Isah masak," katanya.
Selesai salat aku menuju kamar pasien, bermaksud melihat keadaan Bu Ambarwati. Aku mengetuk pintu kamar, tak ada yang menyahut dari dalam. Perlahan kubuka pintu, ternyata Bu Ambarwati dan suaminya masih nyenyak tidur.
Perlahan kututup kembali pintunya dan aku menuju ke kamar perawatan sebelahnya, tempat aku dan Mbak Mulyani tidur tadi malam.
Aku merapikan sprei dan bantal serta melipat selimutnya. Lalu, aku membuka gorden jendela, terlihat masih gelap di luar. Jam di dinding baru menunjukkan pukul lima pagi.
Aku lalu menuju ke ruang depan, bermaksud akan membuka semua gorden jendela kaca ruang itu.
Namun, saat membuka gorden ruang depan, terlihat hantu perempuan itu sedang berdiri menatap ke arah jendela. Tentu saja aku sangat terkejut. Cepat-cepat aku menutupnya kembali dan setengah berlari aku menuju dapur.
Dengan napas yang masih terengah-engah, aku duduk di kursi yang ada di samping dapur. Mbak Mulyani dan Bu Isah masih sibuk memasak, sehingga mereka tak menyadari kedatanganku,
Aku mencoba menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Setelah agak tenang, segera aku mengambil segelas air minum dan meneguknya hingga habis tak bersisa.
"Mbak, ngapain ikut ke dapur? Nanti kalau pasien-nya nyari gimana?" tanya Mbak Mulyani, yang baru saja melihatku ada di samping dapur.
"Bu Ambarwati dan suaminya masih tidur. Tadi sebelum ke sini aku sudah mengontrol ke kamarnya."
"Ohh …," kata Mbak Mulyani, lalu ia kembali sibuk memasak.
Aku duduk sambil melihat ke atas, langit terlihat masih gelap. Aku menarik napas panjang.
[Ada apa sebetulnya di BPS ini. Siapa sosok perempuan yang beberapa kali menampakan diri padaku? Apa yang lain juga tahu tentang perempuan itu? Atau hanya aku yang melihatnya?]
"Anak gadis jangan suka ngelamun, nanti jauh jodoh," kata Mbak Mulyani sambil menepuk pundakku, membuatku agak terkejut.
Aku tersenyum malu. Rupanya tadi aku melamun sampai tak menyadari kedatangan Mbak Mulyani.
"Yuk kita ke depan lagi, Mbak," ajak Mbak Mulyani.
Aku mengangguk dan segera bangkit dari duduk, lalu mengikuti Mbak Mulyani ke ruang depan.
Ketika sampai di depan taman, terdengar teriakan Bu Ambarwati. Kami bergegas menghampiri. Terlihat dia sedang meringis menahan sakit.
"Mbak, ada cairan yang keluar," katanya sambil memegangi perut.
Aku kemudian memeriksa cairan itu, ternyata air ketuban. Segera kami membawa Bu Ambarwati ke VK dengan menggunakan kursi roda.
Sampai di VK, segera aku dan Mbak Mulyani membaringkan Bu Ambarwati di atas bed gynecologi, lalu aku melakukan periksa dalam, ternyata sudah pembukaan lengkap.
Aku kemudian memimpin persalinan Bu Ambarwati dengan dibantu oleh Mbak Mulyani. Hanya memerlukan waktu sekitar setengah jam proses persalinan berlangsung, Bu Ambarwati telah melahirkan seorang bayi perempuan dengan selamat. Dengan berat lahir 3,7 kilogram dan panjang badan 50 sentimeter, dan nilai APGAR score 9.
Setelah dua jam, aku dan Mbak Mulyani kemudian memindahkan Bu Ambarwati ke ruang perawatan.
Pukul delapan Bu Muji datang untuk piket pagi. Mbak Mulyani kemudian pulang, setelah sebelumnya berbincang sebentar dengan Bu Muji.
"Bu, kalau malam di sini sepi sekali ya," kataku memulai percakapan dengan Bu Muji, sambil menggendong bayi Bu Ambarwati.
Dia sedang mengepel lantai teras depan. Aku duduk di salah satu bangku yang ada di sana. Sengaja aku mengajak Bu Muji mengobrol, karena ingin mengorek cerita dari-nya tentang sosok perempuan yang beberapa kali kulihat di BPS Indri.
"Namanya juga di kampung, Mbak. Kalau sudah jam delapan malam, ya sudah sepi," kata Bu Muji sambil sibuk mengepel.
"Serem ya, Bu. Jalanan juga gelap, belum ada lampu jalan sih, ya," kataku lagi, sambil berusaha mencari kalimat yang pas untuk menanyakan soal sosok perempuan itu.
"Iya, Mbak. Saya kalau selesai piket sore juga pasti minta dijemput anak saya. Nggak berani pulang sendirian jalan kaki. Tapi kabarnya sebentar lagi bakal masuk lampu jalan ke desa ini, Mbak," kata Bu Muji.
"Ohh … ya, alhamdulillah ya, Bu. Iya ... ya, Bu. Kalau malam sepi, mana gelap lagi. Apalagi kalau lihat pohon asem itu. Hawanya merinding," kataku sambil menunjuk ke arah pohon asam.
Kulihat Bu Muji menghentikan pekerjaannya, kemudian melihat ke arahku. Seperti ada yang ingin dia katakan, tapi ragu-ragu. Lalu, dia melanjutkan kembali mengepel lantai. Aku semakin tambah penasaran. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan di BPS ini.
Sampai Bu Muji selesai mengepel lantai teras depan, aku tak berhasil mengorek cerita tentang BPS Indri.
Bu Muji kemudian masuk untuk mengepel lantai bagian dalam ruangan. Sementara aku tetap di luar, duduk di bangku depan kamarku, sambil melihat ke arah pohon asam.
Aku mengamati pohon asam itu. Ada rahasia apa sebetunya di sana. Tiba-tiba bayi Bu Ambarwati menangis dengan keras, entah kenapa. Aku berdiri dan berusaha menenangkannya, tapi bayi itu malah semakin keras menangis.
Tergopoh-gopoh Bu Muji datang menghampiriku.
"Dibawa masuk saja bayinya, Mbak. Jangan duduk di situ," kata Bu Muji.
Aku mengernyitkan dahi mendengar perkataan Bu Muji. Kenapa dia melarangku duduk di bangku ini? Bukankah Bu Muji juga pernah duduk bersamaku di bangku ini?
"Ayo, Mbak. Cepat dibawa masuk bayinya," kata Bu Muji sambil sedikit menarik tanganku agar segera masuk.
"Ohh … iya, Bu. Sebentar," kataku sembari membetulkan posisi bayi yang ada dalam gendonganku.
Aku kemudian membawa masuk bayi Bu Ambarwati. Aneh, sesampainya di dalam, si bayi langsung terdiam. Aku lalu membawanya ke ruang bayi, membuka bedong dan memeriksa seluruh badannya, barangkali saja ada semut atau sesuatu yang menyebabkan bayi Bu Ambarwati menangis. Namun, tak kutemukan seekor semut di badannya.
"Bu, memangnya kenapa nggak boleh duduk di kursi tadi?" tanyaku penuh selidik, saat Bu Muji telah selesai mengepel seluruh lantai ruangan.
Bu Muji tak segera menjawab pertanyaanku. Dia masih membaca buku laporan pasien. Kami sedang berada di ruang administrasi. Sedangkan bayi Bu Ambarwati sedang bersama ibu-nya.
"Di luar kan banyak angin, Mbak. Kasihan bayinya nanti masuk angin," jawab Bu Muji, tentu saja sebuah jawaban yang mengada-ada menurutku.
Namun, aku tak lagi meneruskan pertanyaanku. Mungkin memang Bu Muji tak ingin bercerita padaku, meskipun rasa penasaran semakin besar dalam hati, pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan tentang BPS Indri.
"Saya ke dapur dulu ya, Mbak. Mau buat minum untuk pasien, sudah hampir jam sepuluh," kata Bu Muji, setelah beberapa saat kami saling diam.
Aku mengangguk. "Iya, Bu."
Aku kemudian melihat jadwal piket. Bu Salamah yang piket nanti sore, sedangkan Bu Paini libur karena akan piket malam setelah Mbak Mulyani. Semoga saja Bu Salamah mau menceritakan tentang apa yang sudah terjadi di BPS ini, sehingga aku tak merasa penasaran lagi.
***
Bersambung

หนังสือแสดงความคิดเห็น (263)

  • avatar
    Sweetypie

    cerita nya bener² menarik, setiap bab nya selalu di buat penasaran terus gaya bahasa dan cara penulisan pun enak untuk di baca dan di pahami

    26/12/2021

      2
  • avatar
    Elviera

    Best banget cerita ini penuh dengan misteri dan teka teki... Tidak terlalu serem tapi kalau dibikin film mungkin serem sihhh hahha😂kalau kalian semua penasaran boleh start reading yaaa😍😍😍

    21/12/2021

      0
  • avatar
    Sri Sunarti

    bagus banget ceritanya

    2d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด