logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 7 Weekend Menyebalkan

Minggu. Tidak banyak yang kulakukan di hari minggu ini selain jadwal datang ke butik. Butikku memang tidak libur meskipun hari weekend, hanya saja jadwal butik untuk tutup dihari weekend menjadi lebih awal. Aku masih memikirkan para pegawaiku yang ingin menikmati hari libur mereka.
Malam tadi, setelah dipaksa nonton drama korea oleh Vara hingga tengah malam dan dipaksa untuk mengantarnya pulang, aku langsung tertidur lelap. Padahal, Vara bisa menginap, tapi dia malah memaksa memintaku untuk mengantarnya pulang, walaupun sebenarnya dia lebih senang saat tahu bahwa Dimas yang akan membawa mobilnya.
“Bun, Aya berangkat dulu, ya.” Aku mencium tangan Bunda dan kedua pipinya.
“Iya, hati-hati. Jangan ngebut bawa mobilnya.”
“Siap, Bun. Ayah mana, bun?” aku menyapukan pandanganku, mencari keberadaan Ayah.
“Biasa. Lagi jogging sama Dimas di depan kompleks.” Ucap bunda.
“Ini udah siang, masih aja jogging?”
“Kamu kayak nggak tau kebiasaan Ayah kamu sama Dimas aja kalo udah jogging. Mereka, kan, pasti nongkrong di warung buburnya Mang Wiryo.”
Aku nyengir. “Oh, iya. Yaudah, Aya berangkat ya, bun.”
***
Sesampainya di butik, aku langsung memarkirkan mobilku di basement lalu berjalan menuju pintu belakang butik yang menghubungkanku dengan ruang kerjaku tanpa harus melewati ruang utama butik.
Aku membuka pintu ruang kerjaku daann... aku mematung ditempat. Pintu belum sepenuhnya terbuka. Peganganku pada knop pintu mengendur. Aku melihat jam yang tertempel di dinding tepat di atas sofa depan meja kerjaku. Baru jam 08.10 pagi.
“Kamu ngapain di sini?” Aku mengernyitkan alis sambil menatap bingung Kahfi yang sekarang sudah berdiri di hadapanku.
“Loh, emangnya aku nggak boleh ke sini?”
“Ya bukannya gitu. Maksud aku, kamu ngapain di sini pagi-pagi?” Dengan masih menatap bingung Kahfi, aku memperhatikan penampilannya. Celana capri warna putih dan kaos polos berwarna merah. Rambut bagian depan dibuat jambul ke atas. Terkesan seperti penampilan anak ABG.
“Mau ngajakin kamu jogging.” Ucapnya sambil nyengir. Aku malah tambah mengernyitkan alisku. Ngajakin jogging jam segini?
“Aku bercanda. Nggak usah pasang muka bloon gitu.” Kahfi mengacak-acak rambutku sambil tertawa.
Aku mengerucutkan bibir. “Nggak usah ngacak-ngacak rambut juga, kali.”
“Abisnya kamu lucu. Harusnya tadi aku foto muka bloon kamu terus aku upload ke instagram.” Kahfi kembali tertawa, bahkan suara tawanya lebih keras dari sebelumnya. Membuatku kesal sendiri.
“Awas kalo kamu berani.” Aku memberikan tatapan mengancam yang dibalas tatapan jahil olehnya.
“Iya, nggak bakalan berani aku mah. Takut disunat dua kali.” Setelah mengucapkan itu ia kembali terbahak. Aku mengabaikan Kahfi dan berjalan melewatinya.
“Ra, temenin aku sarapan, yuk.”
“Malas.”
“Jangan marah gitu, dong. Aku belum makan dari semalam.” Kali ini ucapannya berhasil membuatku menoleh padanya.
“Semalam kamu lembur?” Kahfi mengangguk.
“Kenapa nggak makan?”
“Capek. Jadi malas. Pulang kantor langsung tidur.” Ucapnya dengan nada seperti anak kecil yang sedang mengadu.
“Terus kenapa nggak langsung sarapan tadi pagi?”
“Maunya ditemenin kamu. Tadinya mau ke rumah kamu, tapi kayaknya lebih surprise kalo langsung nyamper ke butik.” Ucapnya sambil nyengir. Memperlihatkan deretan giginya yang
putih dan rapih.
“Yaudah, ayo aku temenin. Tapi di warung bubur bandung yang deket taman aja ya, tempatnya dekat sama butik soalnya.”
“Oke.”
***
“Mang, buburnya dua ya, yang satu jangan dikasih kacang sama daun bawang. Yang satunya lagi jangan dikasih kulit ya, Mang.”
“Siap, neng. Pedes semua?” Tanya Mang Dirman, pedagang bubur bandung. Mang Dirman ini memang asli orang bandung. Makanya setiap perempuan yang beli, pasti dipanggil neng. Mau anak sekolah dasar, SMP, SMA, ibu-ibu, bahkan nenek-nenek.
“Iya, Mang. Pedes semua.” Kataku lalu berjalan menuju tempat dudukku dan Kahfi.
“Orang-orang pada lihatin kita.” Kahfi menengok ke belakang dan sampingnya lalu mengedikkan bahu tidak perduli.
“Yaudah, biarin aja. Aku ganteng sih, makanya dilihatin terus.”
“Ish, pede banget. Iya, kamu ganteng, tapi kalo dilihatnya dari sedotan yang digerumutin semut terus lihatnya dari puncak menara monas.”
“Aku emang ganteng. Aku, kan, cowok. Masa cantik?”
“Mas, neng, ini buburnya. Mangga di makan.” Mang Dirman meletakkan dua mangkuk bubur di depanku dan Kahfi. Aku menuangkan segelas air putih yang ada di meja dan meminumnya.
“Mang, ini kan udah ada bubur. Mamang malah nyuruh mangga sih yang dimakan. Lagian di sini nggak ada mangga, Mang.” Ucapan Kahfi membuatku tersedak seketika.
“Kahfii, maksud Mang Dirman itu silakan di makan. Udah Mang, abaiin aja. Dia mah emang gitu orangnya.” Mang Dirman tersenyum lalu mengangguk.
“Aku nggak nyangka cowok ganteng kayak kamu ternyata malu-maluin.” Ucapku yang membuat Kahfi tersenyum jahil.
“Jadi sekarang mengakui nih kalo aku ganteng.”
“Au ah gelap.”
“Terang begini dibilang gelap. Makanya melek dong, Ra.”
“Ish. Udah ah, aku mau makan.” Aku menyendok bubur yang ada di depanku dan memakannya.
“Kamu cantik kalo lagi cemberut gitu.”
Aku menatap Kahfi datar. “Terus maksudnya aku jelek kalo lagi senyum atau ketawa?”
Kahfi terbahak. “Ehm, yah, bisa jadi.” Ucapnya lalu tertawa keras. Aku menatapnya dengan tatapan terdatarku. Kahfi yang melihat tatapanku menghentikan tawanya dan mulai memakan makanannya.
Aku mengambil tissue lalu menyapukannya di sekitar bibirku. Setelah itu, aku mengulurkan tangan kananku pada Kahfi.
“Apa?” Tanyanya.
“Uang. Kan kamu yang ngajakin aku makan. Berarti kamu yang bayar.”
“Dasar itungan. Nih.” Kahfi menyerahkan selembar uang berwarna hijau.
“Kurang.” Kahfi mengernyitkan alisnya mendengar ucapanku.
“Kamu kan makan kerupuk banyak banget, berarti bayarnya juga nambah.” Sambungku memberi penjelasan.
“4 biji doang. Masa kamu nggak mau bayarin.” Ucap Kahfi.
Aku berdecak kesal. “Dasar cowok matre.”
“Abis ini kita kemana?” Tanya Kahfi setelah aku selesai membayar makanan kami.
“Butik.” Jawabku singkat.
“Nggak asik banget. Jalan-jalan di taman aja, yuk.”
“Hari ini butik tutup jam dua belas.”
“Ini masih jam tengah 9 kok. Masih ada tiga jam setengah lagi.”
“Kamu maksa banget, yaa.” Aku menatap gemas Kahfi. Yang ditatap hanya nyengir tak berdosa.
“Abis ngajakin kamu keluar dihari weekend susah banget. Kamu kaya Presiden aja jadwalnya padet banget.”
“Emang kamu tau jadwalnya Presiden?” Tanyaku sambil menatap datar Kahfi.
“Enggak.” Ucapnya sambil nyengir. Aku menghembuskan nafas lelah.
Karena lelah berdebat dengan Kahfi, aku pun mengiyakan ajakannya untuk ke taman.
Dengan pakaian yang serba formal seperti ini, aku merasa menyesal mengiyakan ajakan Kahfi untuk ke taman. Semua yang datang ke taman rata-rata anak kecil, orang tua, dan anak remaja. Ada yang berpacaran, dan ada yang mengobrol biasa atau bersenda gurau seperti teman. Mereka semua mengenakan pakaian santai, termasuk Kahfi. Aku benar-benar merasa berada ditempat yang salah.
“Aku ngerasa lagi berada ditempat yang salah.” Kahfi mengernyitkan alisnya mendengar ucapanku sambil menatapku bingung.
“Pakai pakaian formal gini.” Sambungku. Kahfi meneliti pakaianku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“Kamu kan tadinya emang mau pergi ke butik. Bukan ke taman.” Ucapnya santai.
“Di sana ada tukang ice cream, mau beli?” Tanyanya. Aku mengangguk. “Tunggu bentar, ya.” Lanjutnya.
Sambil menunggu Kahfi, aku mengambil ponselku dan membuka aplikasi WhatsApp. Ada 5 chat yang baru masuk. Tiga dari Vara, dan dua lagi dari temanku saat aku kuliah.
Aku membulatkan mataku saat melihat notifikasi yang baru saja masuk. Chat dari nomor tidak dikenal, tapi aku tahu nomor ini milik siapa. Foto profil yang terpasang menjelaskan semua itu. Ini nomor Arash, tapi dari mana Arash mendapatkan nomorku?
“Nih.” Saat sedang sibuk dengan pemikiranku, Kahfi datang dan menyodorkan ice cream padaku. Aku mengambilnya lalu memasukan kembali ponselku ke dalam tas.
Drt drt drt
Suara getar ponselku membuatku menghentikan aktivitasku memakan ice cream. Aku mengambil ponselku lalu membaca nama yang tertera dilayar. Saras’s calling.
“Hallo, Ras.”
“Ha? Oke-oke. Saya segera ke sana.” Sambungan terputus. Aku memasukan kembali ponselku.
“Siapa?” Tanya Kahfi.
“Saras. Aku harus balik ke butik sekarang.”
“Kenapa?”
“Ada klien yang mau ketemu aku.” Ucapku singkat.
“Oh, oke. Aku antar.”
Aku membuka sabuk pengaman mobil Kahfi. Tapi gerakanku terhenti saat melihat Kahfi juga sedang membuka sabuk pengamannya. Aku mengernyitkan keningku sambil memperhatikannya.
“Kamu ngapain?” Tanyaku sambil menatapnya bingung.
“Ya buka sabuk pengaman lah.” Jawabnya tanpa melihat ke arahku. Masih fokus membuka sabuk pengamannya.
“Maksudnya mau ngapain? Kamu nggak langsung pulang?” Setelah sabuk pengamannya terbuka, dia menatapku.
“Langsung pulang kok. Tapi mau antar kamu dulu sampai ke dalam.” Ucapnya sambil nyengir. Aku melemparkan tatapan terserah deh padanya lalu keluar dari mobil.
Aku berjalan masuk ke dalam butik diikuti oleh Kahfi. Saat sampai di ruang utama, aku langsung mencari Saras untuk menanyakan dimana klienku.
“Ras, klien yang kamu maksud ada dimana?” Ucapku setelah sampai dihadapan Saras.
“Oh, itu mbak, dia lagi...
“Nara?” Suara berat yang tiba-tiba menginterupsi obrolanku dengan Saras berhasil membuatku menoleh padanya.
Arash.
Huh, bahkan di hari libur, pun, aku harus bertemu dia?
Arash melihatku dari atas sampai bawah lalu ke atas lagi. Setelah itu pandangannya jatuh pada Kahfi yang saat ini sudah berada di sampingku. Arash mengernyitkan alisnya saat melihat Kahfi. Aku tahu, dia pasti bingung. Tapi apa perduliku? Toh, bukan urusanku juga.
“Ra, aku pulang yaa.. see you next time.” Kahfi tersenyum ke arahku lalu mengacak-acak rambutku. Setelah itu, dia berbalik pergi meninggalkanku. Saras yang tadinya ada diantara kita pun, kini sudah hilang entah kemana, mungkin dia sibuk melayani pembeli yang lainnya.
“Ada apa?” Aku menatap datar Arash yang malah dibalas tatapan datar lagi olehnya.
“Bicara di ruang kerja kamu aja.” Ucapnya. Tumben nggak formal lagi. Pasti ada apa-apa.
“Saya sibuk.” Ucapku mencoba untuk tidak terpengaruh dengan gaya bicaranya yang sudah tidak formal lagi padaku.
“Saya tau. Saya juga sibuk. Maka dari itu kita bicara di ruang kerja Anda saja.” Nah, kan, balik lagi ke formal. Oh, sepertinya aku mulai hafal watak Arash.
“Oke.” Aku mengangguk lalu berbalik meninggalkan Arash menuju ruang kerjaku.
“Siapa dia?” Pertanyaan Arash berhasil membuatku berhenti melangkah detik itu juga.
*****
.
"Sikapmu yang masih abu-abu membuatku bingung. Terkadang ingatan tentang tatapan teduhmu membuatku berpikir untuk meruntuhkan dinding diantara kita. Namun, aku tahu, meski dinding itu runtuh, kita tetap tak lagi sama."
.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (81)

  • avatar
    Ha KyoLee

    Dilanjut dong kak. Sayang banget kalau digantung. Padahal ceritanya seru, menarik banget dan sangat berbeda sama cerita lainnya😍😍😍. Tetap semangat ya kak buat ngelanjutin ceritanya💪💪💪.

    14/04/2022

      2
  • avatar
    syakirapro

    comel

    16h

      0
  • avatar
    KotongSas

    bagus banget ceritanya

    22d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด