logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Berteman? Lalu Apa Kabar dengan Hatiku?

Aku berjalan menuju tempat pakaian khusus pengantin. Pakaian khusus pengantin memang mempunyai ruangan tersendiri, tidak tercampur dengan pakaian seperti dress atau pakaian yang biasa dipakai sehari-hari. Melodi dan Arash berjalan mengikutiku dari belakang, dan jangan lupakan lengan Melodi yang masih melingkar posesif di lengan Arash. Sebersit rasa tidak suka menyergap hatiku, ah, bukan perasaan tidak suka, melainkan perasaan cemburu. Ayolah, Nara, singkirkan perasaan itu. Memang siapa dirimu sampai berhak merasa cemburu pada pasangan calon pengantin ini? Melodi berhak merangkul, memegang, atau bahkan memeluk Arash, toh, Arash juga sudah menjadi calon suaminya, kan?
“Ini ruangan khusus baju pengantin. Disebelah kanan sana ada ruangan, dan ruangan itu tempat gaun pengantin wanita, sedangkan ruangan ini hanya tempat baju pengantin khusus pria. Kalian bisa mencoba memilihnya sendiri, jika masih merasa kurang cocok, nanti saya bantu pilihkan.” Aku memasang senyum tulus, walaupun kenyataannya hatiku tidak tersenyum tulus, rasanya masih shock dan juga belum rela.
Melodi berjalan menuju ruangan di sebelah kanan, tempat gaun pengantin wanita. Sedangkan Arash masih saja diam ditempat, berdiri tepat disampingku. Aku benar-benar merasa canggung, aku tidak pernah berada sedekat ini lagi dengan Arash. Aku harus bagaimana sekarang?
“Maaf, calon mempelai wanita sedang mencoba memilih baju pengantinnya sendiri. Apa anda tidak mau mencobanya juga? Maksud saya, memilih baju pengantin anda sendiri.” Aku tahu perkataanku terdengar tidak sopan. Mengusir secara halus. Tapi masa bodoh, aku tidak ingin berada sedekat ini dengan Arash. Tidak baik untuk kesehatan jantungku.
“Nggak perlu seformal itu. Kemana Nara yang dulu marah-marah bahkan nangis-nangis gara-gara gue tinggal?” Tanyanya sambil mengangkat salah satu alisnya. Pertanyaan macam apa itu? Apa dia mencoba mengejekku dengan mengungkit masa lalu? Tak tahukah dia bahwa hatiku masih sensitif jika menyangkut segala hal yang berhubungan dengannya?
“Maksud lo apa, sih?” Sungguh, aku berusaha mati-matian menjaga nada suaraku agar tidak terdengar seperti orang marah, tapi kenyataan malah berbanding terbalik. Aku benci situasi ini.
“Ar, kok kamu masih di sini? Mau aku bantu pilih bajunya?” Suara Melodi menginterupsi obrolanku dengan Arash.
“Nggak. Kamu lanjutin aja milih bajunya, biar Nara yang bantuin aku. Dia designernya, jadi mungkin dia lebih tahu baju mana yang cocok buat aku.” Tatapan Arash melembut ketika melihat Melodi. Apa dia sedang berusaha menunjukkan padaku bahwa dia begitu mencintai Melodi dan sudah melupakanku? Saat aku sedang sibuk dengan pemikiranku, tanganku tiba-tiba sudah ditarik oleh Arash. Dengan cepat aku menyentaknya, refleks cekalan tangan Arash terlepas dari pergelangan tanganku.
“Nggak usah pake tarik-tarik segala.” Ucapku datar. Aku hanya sedang berusaha menjaga nada suaraku agar tidak terdengar gugup. Saat Arash memegang tanganku, jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Dan aku merasa tidak nyaman dengan itu.
Aku mengambil beberapa tuxedo. Semuanya aku taruh di atas kursi dekat ruang ganti pria. Arash yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya langsung menatapku saat aku menaruh beberapa tuxedo di sampingnya. Dia kembali mengangkat salah satu alisnya. Dia telihat berkali-kali lebih tampan jika sedang seperti itu.
“Cobain.”
“Semuanya?” Tanyanya masih dengan salah satu alisnya yang terangkat tinggi.
Dia kelihatan ganteng kalua lagi begitu. Jantung, tolong tenang sebentar.
Aku mengangguk mantap. Menutupi kegugupanku.
“Gue nggak mau.”
“Terserah. Yang mau nikah, kan, elo. Gue cuma bantuin lo doang milih baju, lagian gue nggak tau baju pengantin apa yang bakal dipilih calon istri lo, jadi biar nggak kelamaan, lo harus cobain semuanya, biar nanti tinggal sesuaiin sama baju pengantin calon istri lo doang.” Ucapku kesal. Bukan. Aku bukan kesal karena Arash tidak mau mencoba semua tuxedo yang aku berikan. Aku kesal karena mengingat kembali fakta bahwa Arash akan menikah dengan orang lain.
“Gue pilih yang ini.” Katanya sambil mengambil tuxedo berwarna abu-abu dengan desain simple.
“Seseorang pernah bilang ke gue, kalau nanti di hari pernikahannya, dia pengen calon suaminya itu pake tuxedo warna abu-abu.” Sambungnya yang membuatku tertegun.
“Ar, kamu udah selesai pilih bajunya?” Pandangan Melodi jatuh pada tuxedo yang sedang dipegang Arash “Ini tuxedonya? Aku suka warnanya. Nara, bisa bantu aku cari gaun pengantin juga yang cocok buat aku?” Lanjutnya. Aku menggangguk lalu mulai berjalan ke ruangan sebelah kanan, tempat gaun pengantin wanita.
Aku mengambil beberapa gaun pengantin, dari gaun yang desainnya simple sampai gaun pengantin yang desainnya rumit. Aku menaruh semuanya menggantung di dekat Melodi dan Arash.
“Yang ini bagaimana?” Tanyaku sambil memperlihatkan gaun pengantin berwarna putih dengan kerah bermodel scoop dan bagian bawahnya yang sedikit mengembang.
Melodi menggeleng. “Itu terlalu biasa. Aku mau yang simple tapi terkesan mewah.”
“Yang ini?” Tanyaku lagi sambil memperlihatkan gaun pengantin berwarna putih bercampur biru navy dibagian pinggang, Bagian kerahnya memiliki model sweetheart.
Melodi berjalan mendekatiku lalu mengambil gaun pengantin yang sedang aku pegang, gaun pengantin yang tadi kutunjukkan. “Bagus sih. Tapi nggak cocok kalau dipadukan dengan tuxedo yang tadi Arash pilih. Uhm…aku mau yang……” Pandangan Melodi menyapu ke lemari-lemari kaca yang di dalamnya terdapat gaun pengantin. “Itu.” Telunjuk Melodi menunjuk sebuah lemari kaca dengan gaun yang... Ah tidak! Jangan yang ituuuuu!
“Maaf, tapi untuk gaun pengantin yang itu, saya dengan berat hati mengatakan kalau gaun pengantin itu tidak untuk dijual atau disewakan.” Ucapku, Arash sudah berdiri dibelakang Melodi entah dari kapan, mengernyitkan alisnya saat mendengar perkataanku. Lalu setelah itu dia melihat ke arah gaun pengantin yang tadi ditunjuk Melodi. Aku yakin, Arash pasti sudah mengerti alasan kenapa aku tidak ingin menjual gaun pengantin itu.
“Tapi aku mau yang itu. Aku suka desainnya. Simple tapi terkesan mewah. Kerahnya strapless, bagian bawahnya bergelombang, terlihat seperti gaun putri kerajaaan. Warnanya juga putih, cocok kalau dipadukan dengan tuxedo yang tadi Arash pilih.” Aku menarik nafas lalu mengeluarkannya. Harus bagaimana menjelaskan pada Melodi bahwa gaun pengantin itu tidak untuk dijual kepada siapapun? Bahwa gaun pengantin itu merupakan rancangan pertama yang aku buat sejak aku duduk dibangku SMA? Bahwa gaun pengantin itu hanya untuk dipakai olehku?
“Pilih yang lain aja. Lagian di dalam lemari kaca tertulis tulisan Tidak Dijual, kan? Itu dipajang hanya untuk contoh aja. Lagipula, masih banyak gaun yang warnanya cocok dipadukan dengan tuxedo yang aku pilih selain gaun itu.” Aku menghembuskan nafas lega mendengar ucapan Arash. Ternyata Arash masih mengingatnya. Gaun pengantin itu merupakan rancangan pertama yang aku buat dan yang aku tunjukkan pada Arash. Saat itu, Arash hanya tersenyum manis mendengar penjelasanku tentang rancangan gaun pengantin yang akan aku buat jika aku dewasa nanti, jika aku sudah menjadi seorang designer. Dan gaun pengantin yang akan aku pakai saat aku menikah nanti.
“Tapi aku mau gaun yang itu. Nggak mau gaun yang lain. Ar, Nara, kan, teman kamu. Please bujuk dia dooong.” Satu fakta yang baru aku ketahui tentang Melodi. Ternyata dibalik sikap ceria dan mudah tersenyumnya, masih tersimpan sifat manja dan kekanak-kanakannya. Dia bahkan merajuk pada Arash seperti anak kecil yang minta dibelikan permen.
“Araaaaaassh…….” Lagi. Suara manjanya terdengar. Harusnya aku tahu, bahwa orang seperti Melodi tidak akan berhenti merajuk sebelum dia mendapatkan apa yang dia inginkan.
Arash menghembuskan nafas kasar. “Nara, berapa harga gaun itu supaya kamu mau menjualnya?” Dan seketika rasa sesak menghampiri hatiku, menghancurkan hatiku yang memang sudah rapuh. Luka kemarin saja belum tertutup rapat, ini justru ditambah luka baru. Bukan. Bukan soal harga aku tidak ingin menjualnya. Dia tahu itu. Lalu kenapa dia memaksaku untuk menjual gaun itu? Tidak tahukah dia bahwa perkataannya itu melukai hatiku?
“Ta-taapii….”
“Melodi tidak akan berhenti merajuk sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan.” Bukankah beberapa menit yang lalu Arash mengatakan ‘Nggak perlu seformal itu,’ padaku. Tapi lihat, dia sendiri yang berbicara sangat formal padaku. Dia bahkan menatapku sangat tajam. Aku tahu, Melodi calon istrinya. Dia pasti marah jika keinginan calon istrinya tidak terpenuhi. Lalu bagaimana dengan keinginanku? Apa dia tidak memikirkannya juga?
“Oke. Saya akan memberikan gaun itu untuk anda. Tidak perlu membayarnya. Arash teman saya. Jadi anggap saja gaun pengantin itu sebagai hadiah dari saya untuk pernikahan kalian.” Ucapku pada Melodi. Aku tidak berani menatap Arash. Satu luka baru lagi yang Arash goreskan. Rasanya ingin menangis, tapi aku tidak ingin terlihat lemah di depan Arash.
Melodi memelukku erat, tatapan bahagia terpancar dari matanya. “Terimakasih, Nara. Ar beruntung punya teman sebaik kamu. Karena kamu temen Ar, itu artinya mulai sekarang kamu temanku juga. Kita sekarang berteman.” Ucapnya.
Berteman? Lalu apa kabar dengan hatiku? Masihkah sanggup untuk melihat keromantisan dari pasangan calon pengantin ini? Masihkah mampu bertahan berada di dekat Arash yang selalu menggoreskan luka di hati?
*****
.
"Status teman. Aku tidak tahu apakah mampu menjalani ini. Berteman dengan wanitamu dan juga denganmu. Tapi bisakah kau kembali memberi sekat? Agar aku tak bisa melewatinya dan dapat mengubur harapanku untuk sebuah hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan denganmu."
.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (81)

  • avatar
    Ha KyoLee

    Dilanjut dong kak. Sayang banget kalau digantung. Padahal ceritanya seru, menarik banget dan sangat berbeda sama cerita lainnya😍😍😍. Tetap semangat ya kak buat ngelanjutin ceritanya💪💪💪.

    14/04/2022

      2
  • avatar
    syakirapro

    comel

    1d

      0
  • avatar
    KotongSas

    bagus banget ceritanya

    22d

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด