logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

Bab 6 Aku Tak Sanggup Lagi!

Aleya masih menunggu Kija yang terlelap dalam tidurnya. Mata sayu dan sendu wanita itu acapkali ingin menggulirkan butir-butir bening melewati kelopak mata dan jatuh membasahi pipinya.
'Kija, adikku … entah apa Kakak harus menangis bersyukur atau menangis tersedu karena peristiwa ini.' Gumam Aleya dalam hati sambil memegang tangan kecil sang adik.
Uhuk … uhuk … uhuk …
Terdengar batuk Kija yang begitu dalam hingga membuat ia membuka matanya perlahan. "K--Kak?" ucapnya terbata.
"Iya, Kija. Kakak di sini. Kakak ambilkan minum dulu, ya."
Aleya berjalan menuju dispenser yang tak jauh dari pembaringan sang adik. "Minum dulu, pelan-pelan." Aleya membantu membangunkan sang adik yang makin terlihat lemas. "kita ke rumah sakit aja, ya, Kija," pinta Aleya pelan.
"Tidak! Kija tak mau! Kija takut, Kak." Sang adik langsung memegang tangan Aleya kencang.
"Kenapa? Jika di rumah sakit, Kija bisa dirawat oleh dokter. Jika di sini atau di rumah …,"
"Pokoknya Kija tak mau! Lihat!" Sang adik tiba-tiba bangun dari pembaringannya dan berdiri tegap sempurna. "Kak, lihat kan! Aku sudah sehat. Jadi untuk apa Kija ke rumah sakit."
Aleya hanya bisa tersenyum getir dan mengusap lembut rambut pendek sang adik. "Kakak ke guru kamu dulu, ya. Minta izin pulang awal."
"Enggak! Kija ga mau, Kak! Kija masih kuat … Kija mau masuk kelas lagi!" tegas sang adik dengan lantang.
"Tapi, Kija …,"
"Kak, Kija lelah selalu dianggap sakit oleh Kakak dan lainnya. Kija mau Kakak pandang Kija sebagai anak sehat! Bisa?"
Aleya terkesiap. Netranya membelalak kala sang adik yang masih berusia 10 tahun bisa berkata demikian. Aleya langsung memeluk Kija erat dan menahan isaknya seraya berkata, "Maafkan Kakak, Kija. Selama ini Kakak menganggapmu masih seperti anak-anak. Maafkan Kakak."
"Tak apa, Kak. Kija paham karena Kakak sayang Kija, bukan?" Senyum manis disematkan di bibir mungil sang adik.
"Baiklah, kalau begitu Kakak antar kamu ke kelas tapi Kakak akan tetap menunggu kamu sampai selesai sekolah, gimana?" tanya Aleya senyum.
"Setuju!"
****
"Kenapa Reyen sudah kembali ke rumah?" tanya Raphael dingin.
"Karen di sekolahnya yang baru, Tuan Muda bersitegang dengan teman barunya, Tuan." Jelas Rebecca gugup.
"Again!?" Ekspresi wajah Raphael mulai memerah menahan marah.
"Panggil anak itu sekarang!" perintah Raphael.
"T-tapi, Tuan …,"
"Tapi apa? Apa alasannya kali ini?"
Rebecca terdiam dan tertunduk. Dia tak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengikuti perintah sang majikan.
"Baik, Tuan. Segera saya panggilkan Tuan Muda."
"Gosssshh, kesalahan apa yang dulu Rachel lakukan sampai kami memiliki anak bengal seperti itu?!" keluh Raphael memijat keningnya.
"Tuan …,"
Rebecca turun bersama dengan Reyen yang tampak murung.
"Halo, sweetie. Apa kau tak ingin memeluk Papamu?" tanya Raphael membuka kedua tangannya lebar.
Reyen tak langsung memeluk sang papa dan justru sebaliknya, dia melihat Raphael dengan tatapan dingin dan tajam.
"Sweetie, ada apa? Kenapa kau menatap Papa seperti itu?"
"Jadi Papa masih ingat akan diriku?" tanya Reyen tiba-tiba.
Raphael terkejut dan bangkit dari sofa hitamya. Sementara Rebecca memasang ekspresi wajah penuh ketakutan dan kekhawatiran. "T-Tuan, a-apa yang Anda …," Rebecca berusaha melindungi Reyen.
"Minggir!" perintah Raphael dingin dan tajam menatap sang asisten pribadi.
"Tidak jika Tuan hanya ingin memarahi Tuan Muda." Tegas Rebecca memasang badannya.
"Hahhhhh," hela napas panjang Raphael.
"Lagipula siapa yang meminta kau untuk pasang badan melindungiku, hah?" Reyen angkat suara dengan ketusnya.
"Tapi Tuan Reyen,"
"Minggir! Aku tak butuh nanny yang selalu usil dengan urusanku!" Reyen mendorong tubuh Rebecca ke samping dan menyilangkan kedua tangannya ke depan.
"Haha, anak Papa sudah besar ya sekarang. Like a man." Tawa lebar Raphael mengacak-acak rambut Reyen.
"Hentikan, Pa! Papa merusak tatanan rambutku!" Reyen menyingkirkan tangan kekar sang papa.
"Oke … oke, I'm sorry. Bagaimana sekolahmu yang sekarang? Apakah menyenangkan? Apa kau sudah memiliki teman baru?"
"I don't like!" tegas Reyen.
"Kenapa? Bukankah sepertinya sekolah itu bagus dan lingkungannya juga Papa lihat cukup friendly."
"Kenapa kita mesti ke Indonesia, sih, Pa!? Kenapa kita tak tinggal di Vienna? Aku … rindu mama." Tunduk Reyen mulai terisak.
"Kau rindu mama?" tanya Raphael melihat ke arah sang putra datar.
Reyen mengangguk.
"Tapi, apa mama rindu kita?"
"K-kenapa Papa berkata begitu? Apa Papa tak sayang lagi dengan mama? Lagipula …,"
"Cukup Reyen! Papa tak ingin kamu cengeng karena hal sepele ini!" tegas Raphael agak meninggikan suaranya.
Reyen langsung terdiam dan menahan isaknya. Raphael yang merasa bersalah, memeluk sang putra sembari berkata, "Maafkan, Papa, Sayang. Bukan maksud Papa memarahi Reyen, tapi apa yang telah terjadi, biarlah itu masa lalu kita. Kini, Papa dan Reyen harus mulai lihat ke depan. Cowok harus tegar, tegas, dan teguh. Ingat itu, Reyen." Raphael mengembangkan senyumnya dan mencium kening sang putra.
"I'm sorry, Papa. I didn't mean to hurt you." Reyen melihat Raphael dengan bulir kristal tergenang di matanya.
"Papa mengerti, Sayang. Kalau begitu, bagaimana kalau kita jalan-jalan?" ajak Raphael bersiap-siap.
"Apa Papa tak lelah? Ga jetlag?"
"Sedikit. Tapi, Papa ingin sekali jalan-jalan. Sudah lama kita tak pergi keluar bukan?"
Reyen mengangguk bahagia. Dia meraih dan menggenggam tangan sang papa erat sambil terus memandangi wajah sang papa.
****
Aleya yang masih berada di sekolah dan sedang duduk menunggu sang adik pulang, lagi-lagi bertemu dengan Della, putri pemilik yayasan tempat Kija bersekolah yang sedang berjalan menuju arahnya.
"Ah, lagi-lagi wanita itu!" keluh Della melihat Aleya dengan pandangan menyebalkan. "Ngapain kamu masih di sini!? Bukannya udah suruh pulang, ya? Kok masih nongol di sini, sih?" ketus Della angkuh melihat Aleya.
"Saya sedang menunggu adik saya, Non." Balas Aleya sopan sambil tersenyum.
"Oh, ya ngomong-ngomong kenapa adik kamu sampai ada di UKS? Apa di sakit?" tanya Della sambil memainkan ponselnya.
"Iya, Non. Adik saya memang sedang sakit."
"Hah, iyakah? Sakit apa?" tanya Della langsung terkejut.
Aleya diam sejenak.
"Hei! Kenapa diam? Kamu bisu, ya? Kok ga jawab? Adik kamu sakit apa?" tanya Della sekali lagi.
"P-parkinson, Nona." Jawab Aleya sedikit gugup dan khawatir.
"APA? PARKINSON? GILE, ITU KAN PENYAKIT ORANG KAYA!" Ceplos Della sangking terkejutnya.
Aleya berusaha menahan sedih dan rasa tak enak di benaknya. Penyakit yang selama ini sang adik sembunyikan tiba-tiba dengan mudahnya ia katakan pada seseorang yang tak ia kenal. Dan parahnya, anak itu adalah putri seorang yang berkuasa di sekolah adiknya.
'Ya, Tuhan. Bagaimana nanti nasib Kija? Kenapa aku bodoh sekali bisa langsung mengatakan penyakit Kija yang sebenarnya.' Gumam Aleya sambil menggigit bibir bawahnya.
"Denger-denger tuh, ya itu penyakit emang ga menular tapi ga ada obatnya, eh ga ada atau belum, ya … aku lupa. But, anyway, kamu tau kan artis Hollywood yang kena tu sindrom?" tanya Della dengan gaya angkuhnya.
"Saya tahu, Nona."
"Nah, mikir deh tuh kamu gimana akhirnya orang dengan penyakit Parkinson." Seringainya.
"Mak-sud Nona, adik saya akan …," Aleya mengepalkan tangannya erat. Dia tak tahan lagi dengan sikap dan sifat putri sang kepala sekolah sekaligus pemilik yayasan. Dengan menegakkan kepala dan berdiri sama tinggi, Aleya menatap tajam Della sambil berkata, "Jika aku adalah Tuhan, maka hari ini juga aku pasti akan membuat Anda merasakan apa yang adikku rasakan, Nona muda yang manja!"
PLAK!

หนังสือแสดงความคิดเห็น (64)

  • avatar
    Adilah Syafiqah

    good lucky

    5d

      0
  • avatar
    AmaliaNurul

    kerenn sangatt

    23d

      0
  • avatar
    CaturMahmudah

    seru

    17/05

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด