logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 59 Luapan Kemarahan

Farzan duduk di ruang kunjungan tahanan berhadap-hadapan dengan Ayu. Di sampingnya ada Nadzifa yang menemani pria itu menemui sang Ibu. Rahang tegasnya tampak mengeras menahan luapan amarah yang tertahan. Dia malu dengan perbuatan wanita yang telah melahirkannya itu.
“Aku pikir Mommy udah berubah sejak keluar dari penjara waktu itu,” ujar Farzan memecah keheningan ruangan yang dikelilingi dinding berwarna abu-abu itu. Dia menundukkan kepala, seakan enggan melihat Ayu.
“Kamu yang bikin Mommy begini, Zan,” balas wanita tua itu menyalahkan putranya.
Sorot mata Farzan terlihat tajam ketika pandangannya terangkat. Sklera netra elangnya memerah digenangi air mata.
“Mommy salahkan aku?” tanya Farzan dengan kedua tangan mengepal erat di atas paha.
Nadzifa langsung meraih tangan suaminya, berusaha menenangkan.
“Coba waktu itu kamu mau kerja di perusahaan dan jamin hidup Mommy. Pasti kecelakaan itu nggak akan terjadi,” jawab Ayu tak kalah berang.
Farzan menarik napas yang terasa sesak. Ruang yang hanya diberi penerangan minim itu mendadak pengap.
“Aku udah udah jelasin sebelumnya, ‘kan? Andai Mommy bisa belajar hidup bersyukur sedikit aja, pasti Mommy nggak akan tamak. Harusnya Mommy bisa ambil pelajaran dari kejadian sebelumnya, bukan mengulangi kesalahan bahkan lebih besar lagi,” tutur Farzan berusaha menahan volume suara agar tidak membentak Ibunya.
Ayu tertawa keras. “Kamu itu Mommy lahirkan untuk jadi tambang uang, Zan. Sia-sia dong pengorbanan Mommy sampai mau jadi istri kedua Sandy Harun, kalau nggak bisa nikmati uang dari kamu?!” tanggapnya mendengkus setelah itu.
Gigi Farzan menggeletuk mendengar perkataan ibunya. Rasa kasihan yang sempat hinggap ketika melihat borgol yang mengikat kedua pergelangan tangan kurus itu, menjadi sirna begitu saja. Kepalanya mengangguk pelan.
“Aku udah duga kayak gitu. Selama ini Mommy nggak pernah anggap aku sebagai anak, makanya hatiku nggak pernah bisa terima Mommy dengan tulus.” Farzan menaikkan kedua tangan ke atas meja ketika menegakkan kepala.
“Kalau begitu, ini terakhir kali aku bertemu dengan Mommy. Jangan harap aku akan kunjungi Mommy lagi kayak dulu,” pungkas Farzan meninggalkan ruangan yang sempit dan sesak itu membawa hati yang hancur teriris berkeping-keping.
Nadzifa juga meninggalkan Ayu seorang diri di dalam sana, menyusul suaminya. Langkah kaki terus berlanjut mengiringi Farzan yang masih bergerak ke belakang gedung kantor kepolisian. Luapan amarah yang sejak tadi tertahan, kini keluar melalui air mata.
Pria itu membungkukkan tubuh dengan kedua tangan memegang lutut, terisak mengingat perkataan Ayu di dalam tadi. Meski sudah tahu sejak awal tujuannya lahir ke dunia, tetap saja mendengar secara langsung membuat dadanya semakin sesak.
Terasa sentuhan lembut di pergelangan tangan Farzan, kemudian menariknya ke dalam pelukan.
“Nangis aja. Aku nggak akan ketawain kok,” bisik Nadzifa tersenyum kecut.
Farzan meraup punggung Nadzifa dengan tangan besarnya, sehingga tubuh mereka merapat. Dia menumpahkan semua yang terasa sejak kemarin. Pria itu marah sekarang, tapi tidak bisa mengekspresikan. Bagaimanapun Ayu adalah ibunya, wanita yang pernah mengandung dan melahirkan dirinya.
“Aku nggak salah ‘kan, Zi? Aku nggak mau lagi ketemu Mommy,” lirih Farzan di bahu istrinya.
Nadzifa menggelengkan kepala. Dia paham betul apa yang dirasakan Farzan sekarang. Sebagai manusia normal, pria itu berhak marah. Farzan bukan malaikat yang bisa menerima perlakuan sang Ibu, lalu memaafkannya dengan mudah.
“Kamu dengar tadi Mommy bilang apa, ‘kan?”
Wanita itu mengangguk seraya mengusap punggung Farzan, agar bisa menenangkannya.
“Aku nggak tahu harus bilang apa, selain aku akan terus ada di sisi kamu, Zan.” Nadzifa memberi kecupan di pinggir pipi suaminya. “Aku nggak akan pernah tinggalin kamu, apapun yang terjadi.”
Farzan memundurkan tubuh ke belakang, sehingga mereka kembali berjarak. Dia memandang netra hitam lebar Nadzifa satu per satu.
“Meski aku mundur dari perusahaan Papa?”
Nadzifa tersenyum kemudian mengangguk. “Aku nikah sama kamu bukan karena itu, Sayang. Toh kita sepakat nikah juga sebelum kamu jadi preskom (Presiden Komisaris).”
Wanita itu menggenggam tangan suaminya, kemudian berujar, “Aku mau nikah sama kamu, karena kamu ada Farzan Harun. Farzan yang aku kenal kaku, dingin, tapi ternyata hangat di ranjang.”
Farzan tergelak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Nadzifa.
“Aku jatuh cinta, karena iman kamu dan aku yakin kamu bisa menjadi imam yang baik untukku.” Nadzifa menangkupkan kedua tangan di pipi Farzan, lantas melabuhkan kecupan di bibirnya.
“Jadi nggak masalah kalau kamu mau mundur dari The Harun’s Group dan balik kerja lagi di perusahaan orang. Aku akan terus ada di samping kamu,” sambungnya tersenyum ringan.
“Papa yang keberatan, Zan.” Tiba-tiba terdengar suara serak milik Sandy Harun.
Mereka berdua menoleh ke samping kiri dekat parkir motor.
“Papa kok bisa ada di sini?” tanya Farzan terkejut.
“Tadi lihat kamu keluar dari ruangan, makanya nyusul ke sini. Lupa kalau sudah ada yang menenangkan sekarang,” jawab Sandy mengerling usil.
Mata hitam kecil yang dipenuhi keriput itu bergerak melihat paras Farzan yang tampak kacau. Kelopak matanya memerah, begitu juga dengan puncak hidung.
“Anak Sandy Harun tidak boleh cegeng begini, Zan. Kamu salah satu pewaris The Harun’s Group, jangan bikin Papa malu,” gurau pria berusia lanjut itu menepuk lengan putra bungsunya.
Farzan tertawa pilu mendengar perkataan ayahnya.
“Papa tidak setuju kamu mundur,” tegas Sandy menatap serius Farzan, “apapun yang dikatakan Ayu di dalam tadi, kamu tetap anak Papa. Darah daging Papa.”
“Jadi jangan pernah berpikir kamu tidak punya hak atas jerih payah Papa,” lanjutnya lagi.
“Papa benar, Zan. Sejak dulu Mama tidak pernah mempermasalahkan kehadiran kamu,” imbuh Lisa ikut-ikutan muncul di sana. Di belakangnya ada Brandon dan Arini. Semua jadi berkumpul di sana, gara-gara melihat Farzan keluar dengan tampang menyedihkan.
Wanita tua itu mengusap lengan putra tirinya dengan lembut. Dia selalu menerima kehadiran Farzan dengan tangan terbuka, sampai-sampai dulu Brandon geram sendiri dengan sikap sang Ibu.
“Bagi Mama, kamu adalah anak Mama sama seperti Brandon.” Lisa tersenyum lembut penuh keibuan. Tangannya naik membelai pinggir wajah tampan Farzan. “Mama sayang sekali sama kamu, Zan. Kamu jangan pernah lupa itu.”
Farzan menganggukkan kepala. Lagi-lagi bulir bening turun di pipinya. Dia mendadak cengeng mendengar perkataan kedua orang tuanya.
“Aku tahu, Ma. Makanya aku sayang banget sama Mama. Kasih sayang Ibu yang nggak pernah aku dapatkan sebelumnya, selalu aku rasakan dari Mama,” sahut Farzan terisak. Dia mengalihkan pandangan kepada Arini. “Dari Kak Arini juga. Kalian berdua sangat berarti buat aku.”
“So sweet, Dek,” cicit Arini ikutan mewek seraya melangkah ke dekat adik tersayang. Dia memeluk pria itu sebentar, sebelum melabuhkan kecupan di keningnya meski harus berjinjit terlebih dahulu.
Nadzifa yang awalnya cemburu melihat kebersamaan Arini dengan Farzan, kini melihat mereka dengan lapang dada. Meski suaminya pernah mencintai Arini dulu, tapi sekarang ia tahu hati pria itu hanya untuk dirinya.
“Jadi … kamu masih mau dampingi Mas di perusahaan, ‘kan?” Brandon ikut-ikutan berbicara.
Farzan menoleh ke arah Nadzifa. Wanita itu mengangkat bahu, menyerahkan semua keputusan di tangan suaminya.
“Mas mau expand perusahaan ke Singapore. Kalau mau kamu yang handle di sana, gimana?” usul Brandon kembali semangat bekerja. Pada awalnya ia ingin mengundurkan diri, agar bisa tinggal di tempat yang tenang. Namun setelah Arini sembuh, semua rencana dibatalkan.
“Zi?” Lagi-lagi Farzan meminta pendapat sang Istri. Nadzifa juga punya usaha di sini.
“Kenapa enggak?! Usaha aku di sini bisa diserahkan sama si Mbak. Sebagai istri, aku harus bersedia ikut ke mana suami pergi,” sahut Nadzifa tanpa beban.
Farzan merangkul bahu istrinya, kemudian melabuhkan kecupan di pipi tirus itu. Suasana hatinya mulai membaik sekarang. Semua tidak lepas dari dukungan istri dan seluruh anggota keluarga. Dia tidak pernah menyangka akan menerima begitu banyak kasih sayang dari mereka.
Pria itu boleh saja kehilangan kasih sayang wanita yang telah melahirkan dirinya, tapi lihatlah yang ia dapatkan sekarang. Cinta dan kasih sayang yang tulus didapatkan dari orang-orang ini. Mereka yang bisa melihat Farzan sebagai manusia, bukan sebagai mesin pencetak uang.
Bersambung....
Mau absen dulu, ada yang nangis gak baca bab ini?

หนังสือแสดงความคิดเห็น (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด