logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 53 You are The One

Pagi-pagi sekali selesai menunaikan salat Subuh, Farzan sudah berangkat ke ruko tempat Nadzifa saat ini berada. Ternyata gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di sana selama ini. Dia tidak mau tinggal di apartemen, khawatir akan berjumpa dengan Farzan.
Seperti permintaannya kemarin, Farzan disuguhi satu porsi nasi goreng buatan Nadzifa. Entah kenapa sekarang terasa semakin lezat. Apa mungkin karena ia mulai bucin dengan gadis itu? Hanya Tuhan dan Farzan yang tahu. Haha!
Tidak banyak percakapan berarti yang tercipta di antara keduanya. Hanya pembahasan seputar aktivitas Farzan selama satu bulan ini. Selesai sarapan, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, mengunjungi Brandon sebelum berangkat ke kantor.
Alhasil di sinilah ia berada, bersama dengan Nadzifa. Ya, gadis itu juga ingin ikut mengunjungi calon kakak iparnya. Ehmmm … ehmmm ….
“Loh pagi-pagi udah ada di sini,” seru Brandon terkejut melihat kedatangan Farzan dan Nadzifa.
Keduanya malah senyam-senyum. Farzan langsung bersalaman dengan kakaknya sebelum mengalihkan pandangan kepada El.
“Istirahat gih, El. Biar Abang yang jagain Papi. Mumpung masih ada waktu dua jam lagi,” titah Farzan kepada keponakan laki-laki satu-satunya.
Elfarehza mengangguk sambil terkantuk-kantuk. Dia kurang tidur, karena menjaga Brandon semalaman. Awalnya Arini yang ingin menemani suaminya malam ini, tapi hal itu tidak mungkin mengingat riwayat penyakitnya. Khawatir juga jika kambuh.
“Aku tidur dulu ya. Sekalian nungguin Mami pulang berobat,” sahut Elfarehza sebelum menguap.
“Kak Arini jadi check up hari ini?”
“Jadi, Bang. Biar lebih pasti. Papi aja tadi malam kaget lihat Mami.” El mengerling kepada Brandon yang sudah kuat duduk bersandar di headboard tempat tidur. Setelahnya dia mulai merebahkan diri di atas kasur khusus orang yang menemani pasien.
“Iin ingat semua, Zan. Semoga aja benar, ada keajaiban buat Iin,” harap Brandon menarik bibir ke samping.
“Aamiin.” Farzan, El dan Nadzifa mengaminkan serentak.
“Oya, ini aku bawa buah-buahan dan roti buat Mas. Tadi pengin bawa nasi goreng juga, tapi Farzan bilang Mas belum boleh makan macam-macam dulu,” tutur Nadzifa meletakkan kantong kresek berwarna putih di atas nakas.
“Makasih, Nadzifa.” Brandon mengalihkan pandangan kepada Farzan penuh selidik. “Kamu nggak nginap di rumah Nadzifa ‘kan, Zan?”
Farzan langsung menggeleng seraya menggoyangkan kedua tangan di depan dada. “Nggak, Mas. Tadi malam aku pulang ke rumah, baru ke ruko pagi tadi habis Subuh. Tanya Mama kalau nggak percaya,” jelasnya tak ingin terkena omelan Brandon.
“Syukurlah. Kalau udah nggak tahan, langsung nikah aja. Jangan dua-duaan dulu,” goda Brandon menahan tawa melihat ekspresi Farzan.
“Mau banget, Mas. Sekarang juga aku siap,” celetuk Farzan seraya mengangguk.
Nadzifa mengalihkan pandangan, lalu mendelik nyalang kepada pria itu. “Zan?”
Brandon cekikikan menyaksikan keunyuan dua makhluk berbeda jenis itu. Dia bisa melihat cinta yang besar untuk Nadzifa dari sorot mata adiknya. Tidak ada lagi alasan baginya untuk berpikiran macam-macam terhadap Farzan.
“Kenapa, Sayang? Kamu nggak mau nikah cepat-cepat ya?” Farzan memiringkan kepala dengan seulas senyum.
“Bukan gitu.” Nadzifa memicingkan mata seraya menggeleng. “Maksudnya Mas Brandon ‘kan lagi di rumah sakit. Nggak mungkin dong nikah sekarang.”
“Ya udah. Hari Minggu deh kalian nikahnya. Surat-surat juga masih ada ‘kan di KUA. Insya Allah Mas besok udah boleh pulang kok.” Brandon mengembangkan kedua tangan dengan telapak ke arah atas. “Lihat nih, sekarang aja udah bisa duduk.”
“Aku tidur dulu ya, Pi, Bang, Kak. Bisa-bisa aku juga pengin cepat nikah,” seloroh El memutar balik tubuh menghadap ke dinding.
Brandon, Farzan dan Nadzifa tergelak mendengar perkataan El barusan. Tidak ada salahnya juga pemuda itu menikah, karena sudah ada jaminan pekerjaan di perusahaan keluarga. Apalagi dia juga akan wisuda dalam waktu dekat.
“Makasih atas pengertiannya, Mas.” Farzan menyunggingkan senyum usil ke arah Nadzifa yang salah tingkah.
Ketiga orang itu sekarang membicarakan persiapan pernikahan yang sempat tertunda. Brandon bersikeras ingin mengurus pernikahan sang Adik, meski kondisinya masih belum terlalu pulih. Ponsel Farzan tiba-tiba berdering, sebuah panggilan masuk dari Pak Habib.
“Sebentar, Mas. Pak Habib telepon,” kata Farzan bersiap keluar ruangan.
“Aku terima telepon dulu ya.” Kali ini dia berbicara kepada Nadzifa.
Setelah gadis itu mengangguk, Farzan segera melangkah ke luar ruangan. Sekarang tinggal Nadzifa dan Brandon di sana. Eh, ada El yang sedang berkelana ke pulau kapuk.
“Kamu udah kasih tahu Farzan?” tanya Brandon kepada Nadzifa setengah berbisik.
Nadzifa menggelengkan kepala dengan kepala tertunduk. “Belum, Mas. Aku nggak sampai hati kasih tahu dia.”
“Bagus. Sebaiknya Farzan nggak usah tahu dulu. Nanti aja kalau kalian udah nikah. Kasihan,” tanggap Brandon.
“Polisi udah datang ke sini, Mas?”
“Hari ini belum. Mas udah bilang ke Pak Habib agar polisi nggak ke sini dulu.”
Gadis itu mengangguk singkat. “Kak Arini gimana? Nggak dikasih tahu?”
Brandon mendesah pelan. Dia khawatir dengan kondisi kesehatan istrinya, jika saja penyakit itu masih bersarang di batang otaknya.
“Tunggu hasil pemeriksaan dokter dulu,” ujar Brandon seraya mengerling ke arah pintu masuk. Dia memberikan kode agar mengalihkan topik pembicaraan.
“Pak Habib bilang apa?” selidik Brandon ketika melihat ekspresi wajah Farzan yang mendung.
“Klien majukan meeting hari ini. Aku harus sampai di kantor satu jam lagi,” desis Farzan tidak ikhlas. Dia mengalihkan pandangan kepada Nadzifa. “Ikut ke kantor yuk!”
Kepala yang dibungkus kerudung itu menggeleng pelan. “Aku mau nunggu Kak Arini datang dulu. Penasaran sama hasil pemeriksaannya.”
“Ikut aja, Nadzifa. Farzan masih kangen tuh.” Brandon kembali menggoda adiknya.
“Tuh, Mas Brandon aja tahu. Masa kamu nggak sih?” sungut Farzan dengan bibir mengerucut.
“Apaan sih, Zan? Kayak anak kecil tahu,” balas Nadzifa memutar bola mata.
“Seriusan, aku nunggu Kak Arini datang dulu,” sambungnya lagi kemudian. Ada hal yang ingin mereka diskusikan setelah Farzan pergi nanti, jika kondisi Arini memungkinkan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Suara langkah sepatu yang terdengar cepat, menyela perdebatan unyu sepasang sejoli itu. Tiba-tiba Arini muncul dengan wajah semringah di sela pintu. Dia memegang selembar kertas ketika berlari kecil menghampiri suaminya.
“Bran. Aku nggak percaya ini,” serunya setengah berteriak.
“Mami apaan sih berisik banget? Baru juga mau tidur,” protes El kembali memutar balik tubuh dengan wajah ditekuk.
“Maaf, El. Mami nggak tahu kamu tidur,” ucap Arini tersenyum manis.
“Kenapa, In? Hasilnya udah keluar?” Brandon tampak penasaran. Ah, bukan hanya pria itu yang penasaran, tapi El, Farzan dan Nadzifa juga.
Mereka melihat Arini serentak, menanti jawaban darinya. Wanita itu mengangguk cepat.
“Aku sembuh, Bran. Aku sembuh!” pekiknya girang seakan lupa di mana ia berada sekarang. Beruntung di sini ruang VIP, sehingga tidak ada pasien lagi selain Brandon.
“Beneran, In? Hasilnya kok bisa keluar cepat? Ini masih belum siang loh.”
“Mami tadi malam telepon dokter suruh pagi-pagi ke rumah sakit, Pi. Udah gitu, tadi juga suruh analisa cepat-cepat,” sela Alyssa geleng-geleng kepala. Dia tidak percaya Arini melakukan hal konyol tadi di rumah sakit. Apalagi meminta dokter untuk memberi hasil analisa dalam waktu cepat.
“Tapi hasilnya akurat, ‘kan?” Brandon kembali memastikan.
“Iya, Sayang. Nih lihat.” Wanita itu menyerahkan selembar kertas, hasil pemeriksaan tadi pagi.
Brandon membaca kertas itu dengan saksama. Benar, istrinya dinyatakan sembuh dari penyakit yang belum ada obatnya. Sungguh keajaiban itu ada, bagi mereka yang percaya. Siapa menduga wanita itu bisa terlepas dari Alzheimer yang diderita bertahun-tahun, hanya karena keinginannya mempertahankan kenangan pasca Brandon kecelakaan.
“Sini dulu, Sayang.” Brandon mengulurkan tangan, kemudian menarik tubuh ramping Arini ke pelukan. Ketika siap melabuhkan ciuman di bibir mungil itu, terdengar celetukan suara setengah matang dari ranjang satu lagi.
“Sebaiknya kita keluar dari sini, sebelum hal yang iya-iya terjadi.” Elfarehza langsung bangkit dan mendorong tubuh adiknya ke luar ruangan.
Farzan yang melihat kemesraan itu menundukkan kepala, kemudian memutar tubuh ke arah pintu keluar. Dia melangkah gontai meninggalkan pasangan suami istri yang mulai memamerkan kemesraan.
Nadzifa ikut berjalan di belakang seraya mengamati raut wajah Farzan. Dia bingung dengan perubahan pria tersebut.
“Kamu cemburu?” bisik Nadzifa pelan hanya terdengar oleh Farzan.
Pria itu langsung menegakkan pandangan, kemudian melihat ke tempat Al dan El berada. Dia menarik tangan Nadzifa menjauh dari kedua keponakannya.
“Aku nggak cemburu, Zi,” kilah Farzan.
“Masa sih? Tuh wajah kamu kok jadi kayak gitu?” tuding Nadzifa dengan wajah jutek.
Farzan mendesah pelan ketika keinginan memeluk gadis itu harus terhalang dengan kerudung yang membungkus rapat kepala.
“Aku bukannya cemburu, Sayang.”
“Trus kalau bukan cemburu, kenapa kamu jadi lemes gitu?” selidik Nadzifa menyipitkan mata.
“Aku … ingat sama dua ciuman panas kita waktu itu,” aku Farzan mengalihkan pandangan karena malu. “Jadi pengin cium kamu sekarang, Zi.”
Mata hitam lebar Nadzifa melihat netra elang Farzan satu per satu. Dia bisa melihat kejujuran dari sorot matanya.
“Berarti bukan karena masih cinta sama Kak Arini?” gumam Nadzifa.
Farzan menggelengkan kepala tegas. “You are the one, Zi. Hanya kamu wanita yang aku cintai sekarang dan nanti. Allah jadi saksi.”
Bersambung....

หนังสือแสดงความคิดเห็น (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด