logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 36 Mencari Tahu Kebenaran

Tiga minggu sebelum pernikahan
Satu minggu ini Nadzifa tidak tenang. Keyakinan bahwa Brandon yang menghamili Indah mulai memudar. Semakin mengenal keluarga Harun dengan baik, dia menjadi ragu dengan hal yang diyakini sejak kecil.
Masih segar dalam ingatan gadis itu, Brandon pernah menjemput Indah di rumahnya. Nadzifa juga belum lupa bagaimana wajah bahagia tantenya ketika menanti kedatangan pria itu. Dan, bagaimana sedihnya Indah saat tahu Brandon hanya mempermainkan hatinya.
Meski Nadzifa saat itu masih kecil, tapi ia kerap dijadikan tempat curhat oleh Indah. Mereka sangat akrab, karena selalu bersama-sama setiap hari.
Pandangan netra hitam Nadzifa beralih ke jam dinding kantor yang menunjukkan pukul 09.00. Dia kembali menatap lurus ke arah puluhan karyawan yang sibuk dengan mesin jahit. Gadis itu sedang mempertimbangkan pergi menemui Brandon sekarang.
Tak lama, ia berdiri setelah mengambil keputusan.
“Aku keluar dulu ya, Mbak. Kalau ada yang tanya bilang ada urusan penting,” ujar Nadzifa kepada orang yang mengelola usaha konveksi milik sang Ibu.
“Iya, Zi. Termasuk Mas Farzan ya?” sahut orang kepercayaannya menggoda Nadzifa.
Nadzifa menggelengkan kepala. “Farzan nggak mungkin ke sini sekarang. Pasti lagi kerja.”
“Ya udah, aku pergi sekarang ya, Mbak,” pamit Nadzifa.
“Hati-hati di jalan,” teriak perempuan usia empat puluhan itu.
Langkah kaki Nadzifa terus berlanjut menuju pinggir jalan raya, mencari keberadaan taksi. Tekadnya sudah bulat. Lebih baik menanyakan langsung kepada Brandon daripada menduga-duga. Apalagi jika melakukan hal buruk untuk membalas perbuatan pria itu, tanpa mengetahui kebenarannya.
Begitu melihat taksi, ia segera melambaikan tangan agar kendaraan tersebut berhenti. Nadzifa langsung naik, lalu duduk di jok belakang.
“The Harun’s Tower Kuningan, Pak,” kata Nadzifa kepada supir taksi.
“Lewat tol atau jalan biasa, Bu?”
“Tol aja biar cepet. Ini e-tolnya, Pak,” balasnya menyerahkan kartu untuk membayar biaya masuk gate tol.
Gadis itu kembali duduk tenang di jok penumpang. Pandangannya beralih melihat sisi jalan menuju Jakarta Selatan. Dia menarik napas panjang berusaha menenangkan diri.
Dering telepon masuk ke ponsel menyentakkan lamunan Nadzifa. Dia mencari keberadaan handphone di dalam tas, lalu nama yang tertera di layar. Senyum terurai di paras cantiknya ketika melihat nama Farzan di sana.
“Tumben telepon? Kangen ya?” Nadzifa senyam-senyum sendiri mendapat telepon dari pria yang … dicintainya.
Cie! Ya, benar. Sejak kejadian di pantai itu, mereka menyadari perasaan masing-masing. Nadzifa yang takut menjalin hubungan dengan seorang pria, akhirnya jatuh cinta kepada adik dari orang yang sangat dibencinya. Niat awal menjalin hubungan dengan Farzan hanya untuk main-main, kini menjadi serius.
Menurut gadis itu, Farzan pria yang baik dan sangat menghormati dirinya sebagai wanita. Apalagi pria itu berjanji tidak akan mencium Nadzifa hingga akad nikah digelar. Katanya takut khilaf. Haha!
“Iya nih. Kenapa sih kamu sekarang bikin aku kangen terus?!”
Nadzifa tersenyum kucing mendengar gombalan Farzan. “Tiap hari ketemu masih kangen. Gimana ceritanya?”
“Wajar dong. Biar nanti kalau udah nikah bisa kangenan terus sehari semalam.”
“Kamu nggak kerja?”
(So sweet, kamu. Haha!)
Ya, saking dilanda asmara panggilan lo dan gue yang sering diucapkan oleh Nadzifa, sekarang berganti aku dan kamu. Biar terdengar seperti pasangan normal. Ehemmm.
“Lagi gabut. Mesin-mesinnya udah masuk produksi, jadi lebih santai. Tinggal awasi prosesnya aja,” tutur Farzan.
“Kamu sekarang lagi di mana? Lagi di jalan ya?”
Nadzifa menelan ludah ketika Farzan tahu dirinya sedang di jalan sekarang.
“Iya, lagi ada perlu keluar sebentar. Biasa cari bahan.” Nadzifa beralasan. Tidak mungkin jujur dan mengatakan pergi menemui Brandon untuk memastikan apakah dia pria yang menghamili sang Tante atau tidak.
“Sama taksi?”
Gadis itu mengangguk pelan walau tidak terlihat oleh Farzan. “Sama apa lagi?”
“Nanti kalau udah nikah aku belikan mobil deh.”
“Emang duit kamu ada?” canda Nadzifa menahan tawa.
“Eh jangan anggap remeh gaji junior engineering ya. Bisa buat nyicil mobil per bulan.”
“Mau cari bunga 0%?”
“Kalau ada boleh juga tuh.” Farzan tertawa renyah di seberang sana. “Biar kamu nggak perlu naik taksi lagi kalau ke mana-mana.”
“Ya udah, terserah imam aja nanti mau gimana?”
Suara tawa kembali terdengar. Sejak satu bulan terakhir, Farzan benar-benar berubah. Hari-hari yang biasa sepi, kini menjadi ramai dengan kehadiran Nadzifa. Perdebatan, pertengkaran manja dan saling melempar rayuan kerap menghiasi pertemuannya dengan gadis itu.
Begitu juga dengan Nadzifa. Pandangan terhadap pria berubah semejak Farzan bersemayam di hatinya.
“Ya udah hati-hati ya. Jangan pulang kesorean, nanti aku sepi di apartemen.”
“Iya. Kamu tuh bawelnya nggak ilang-ilang,” balas Nadzifa mengerucutkan wajah.
“Eh, itu bukan bawel ya?! Cuma ingetin aja biar hati-hati.”
“Kamu kerja lagi gih. Nanti kalau dipecat, kita makan apa?”
“Makan cinta dong,” cetus pria itu.
“Mulai deh gombalnya,” cibir Nadzifa meski tidak bisa dilihat Farzan.
“Ya udah, aku kerja lagi ya? Assalamualaikum, Calon istri.”
“Waalaikumsalam, Calon Suami. Daaah!” pungkas gadis itu sebelum mengakhiri panggilan.
Tanpa disadari, supir yang menguping percakapan searah Nadzifa mesem-mesem di depan.
“Kayak nggak pernah muda ada, Pak,” celetuk Nadzifa setelah melihat ke depan.
“Maaf, Bu. Saya hanya ingat masa dulu waktu masih pacaran sama istri. Ya begitu juga,” sahut supir melirik sekilas ke spion tengah.
“Sekarang masih mesra juga ‘kan, Pak?”
“Ya gitu deh, Bu. Namanya juga udah dua puluh tahun nikah, jadi nggak semesra dulu lagi.”
Nadzifa manggut-manggut mendengar perkataan supir taksi. Ternyata kisah pernikahan tidak seperti yang ia bayangkan. Di antara pasangan yang telah menikah puluhan tahun, mungkin hanya 20% yang mampu mempertahankan kemesraan. Salah satunya Arini dan Brandon yang sukses membuat gadis itu geleng-geleng kepala takjub, meski masih menyimpan sakit hati kepada Brandon.
Beberapa saat kemudian, taksi berhenti di area drop-off penumpang The Harun’s Tower. Gedung milik keluarga Harun yang kini dikelola oleh Brandon.
Setelah membayar ongkos taksi, Nadzifa menarik napas panjang menatap area lobi. Gedung ini tampak begitu megah didominasi warna hitam, abu-abu dan emas. Untuk kedua kali dia menapakkan kaki di tempat ini, setelah acara pesta pernikahan Alyssa bulan lalu.
Gadis itu mengayunkan langkah memasuki gedung. Sebelumnya ia melapor dulu ke bagian resepsionis, agar bisa menemui Komisaris Utama The Harun’s Group, Brandon Harun.
“Silakan naik ke lantai dua belas. Nanti akan dibantu oleh sekretaris Pak Brandon,” tutur resepsionis ramah dengan seulas senyum.
Nadzifa menangguk. “Makasih ya, Mbak,” ucapnya menerima akses masuk gate menuju lift.
Dia kembali bergerak memasuki gate, kemudian menekan tombol naik lift khusus untuk tamu. Nadzifa menatap pergerakan angka yang ada di atas pintu lift. Jantungnya berdebar memikirkan segala kemungkinan jawaban dari Brandon.
Jika saja benar pria itu yang menghamili Indah, maka dia tidak mungkin meneruskan rencana pernikahan dengan Farzan. Mustahil baginya untuk menikah dengan adik dari orang yang telah merusak hidup sang Tante.
Gadis itu segera memasuki kotak besi yang hanya diisi dua orang selain dirinya. Dia meremas kedua tangan yang ada di depan tubuh, mengatasi gugup. Apa yang harus ia katakan nanti ketika berjumpa dengan Brandon?
Nadzifa menutup rapat kedua mata selama beberapa detik. Tidak ada jalan lagi untuk kembali, ia harus bertemu dengan pria itu dan menanyakan secara langsung agar semuanya jelas.
Kelopak mata lebar yang dihiasi bulu mata tebal dan lentik itu kembali terbuka, ketika lift berdenting. Angka di bagian dinding lift menunjukkan angka dua belas. Saatnya Nadzifa keluar dari kotak besi tersebut.
“Selamat siang, Mbak Nadzifa,” sambut seorang pria berusia enam puluh tahun yang duduk di depan ruangan Komisaris Utama.
Kening gadis itu berkerut bingung ketika melihat sosok yang menyambutnya bukan perempuan muda. Dia tersenyum kecut menyadari kalau pria yang berdiri di depan adalah sekretaris Brandon. Ternyata calon kakak iparnya tidak mempekerjakan gadis muda untuk dijadikan sekretaris.
“Selamat siang, Pak,” sahut Nadzifa mengulas senyum singkat.
“Pak Brandon sudah menunggu di dalam, silakan masuk,” kata pria itu mempersilakan Nadzifa masuk.
“Makasih, Pak.” Gadis itu membungkukkan sedikit tubuh sebagai bentuk rasa hormat.
Kaki Nadzifa mendadak berat ketika akan melangkah memasuki ruangan tempat Brandon berada. Dia berdiri mematung di sela pintu.
“Kenapa berdiri di situ? Masuk trus duduk dulu.” Suara bariton milik Brandon membuat gadis itu terkesiap.
“Eh? Ya?”
“Kamu ke sini sendirian?” Brandon melangkah ke arah sofa seraya melihat ke luar, barangkali Farzan juga ikut dengan Nadzifa.
Gadis itu menganggukkan kepala. “Iya sendirian, Mas,” jawabnya memegang erat tali sling bag yang menggantung di pundak kiri.
“Ada apa nih datang ke kantor tiba-tiba?” selidik Brandon menyipitkan mata sayunya.
Nadzifa duduk di sofa single, kemudian mengalihkan pandangan ke arah Pak Habib. Tandanya apa yang ingin disampaikan tidak boleh didengar oleh orang lain.
Brandon meminta pria yang telah lama mengabdi sebagai sekretarisnya itu ke luar ruangan. Dia kembali melihat Nadzifa yang tampak gelisah sekarang.
“Sekarang katakan, apa yang bawa kamu ke sini?”
Nadzifa menaikkan pandangan dan menatap Brandon beberapa saat. Dia lagi-lagi menarik napas berat sebelum mengajukan pertanyaan yang selama ini menghiasi pikiran.
“Apa Mas yang menghamili Tante Indah?” gagap Nadzifa to the point.
Bersambung....

หนังสือแสดงความคิดเห็น (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด