logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

22. KESEPAKATAN

"Udahan belum ngambeknya?" tanya Gibran saat Gaby sudah mempersilahkannya masuk ke dalam apartemen. Kini mereka berdua duduk bersisian di sofa panjang.
Gaby terus memalingkan wajahnya ketika Gibran justru menatapnya. Lelaki itu duduk dengan posisi menyamping menghadap Gaby.
"Pulang ya? Besok, Mamah dan Papah mau ke Jakarta. Gue takut mereka mampir," ucap Gibran saat Gaby tak kunjung bicara.
Dari wajahnya yang super jutek Gibran tahu kalau Gaby masih marah padanya setelah aksi Gibran yang menghancurkan ponsel milik Gaby tempo hari.
Gibran sadar tidak seharusnya dia berbuat seperti itu pada Gaby, hanya saja, waktu itu pikiran Gibran memang sedang benar-benar kalut di tambah faktor tubuh lelah, makanya dia jadi hilang kendali.
Gaby berusaha keras menyembunyikan senyumnya. Dia masih harus jual mahal.
Gibran mengeluarkan sesuatu dari paper bag yang dia bawa.
"Nih, buat lo," katanya sambil menyodorkan sebuah hadiah yang terbungkus rapi dengan kertas kado berwarna pink dengan hiasan pita merah.
Sebuah hadiah yang sangat manis.
Gaby melirik sekilas ke arah benda yang di berikan Gibran. Meski ragu-ragu, Gaby menerimanya juga.
"Apaan nih?" tanya Gaby tanpa mengurangi kejudesannya.
"Buka aja, nanti juga lo tahu," jawab Gibran sambil tersenyum.
Gaby pun membuka kado itu yang ternyata adalah sebuah ponsel keluaran terbaru dengan harga yang cukup fantastis.
Ke dua bola mata Gaby terbelalak dengan senyumnya yang mengembang.
"Ini serius buat gue?" tanyanya tak percaya. Sejak kapan Gibran bisa sebaik ini? Pikir Gaby bertanya-tanya.
Meski setelahnya, tatapan Gaby menyipit ke arah Gibran.
"Biasanya kalau orang tiba-tiba baik itu pasti karena ada maunya, hayo ngaku?" terka Gaby, telunjuknya mengarah ke wajah Gibran.
Gibran tertawa renyah. Ternyata Gaby lebih pintar dari yang dia kira.
Gibran menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Modus kedatangannya malam ini ketahuan.
Ya, alasan utama yang menjadikan seorang Gibran terpaksa mendatangi Gaby malam ini memang bukan karena dia ingin benar-benar meminta Gaby pulang. Ucapannya mengenai orang tuanya yang akan datang besok itu hanya bualan semata.
Yang benar itu, Gibran mendatangi Gaby karena dia ingin mencari tahu tentang sosok lelaki bernama Freddy Santiago yang dia ketahui adalah Om Gaby.
Gibran pun menyampaikan maksudnya itu pada sang istri palsunya.
Kerut di kening Gaby menjelas. "Jadi lo ke sini itu cuma karena lo mau tau tentang Om gue?" tanya Gaby dengan perasaan kecewa. Padahal tadinya dia sudah geer dan baper melihat sikap manis Gibran kepadanya.
Ternyata benar dugaannya, Gibran baik karena ada maunya.
"Jadi gini, Gab, kebetulan gue punya sahabat, namanya Mimi, dan baru-baru ini gue tau kalau nama asli Mimi itu Mirella. Dia cewek yang waktu itu menaruh bunga tulip di makam Mamah. Mirella sekarang jadi tawanannya Freddy dan gue berniat untuk menyelamatkan dia, tapi gue nggak bisa bergerak sendiri, gue butuh bantuan lo," jelas Gibran panjang lebar.
"Mirella?" tanya Gaby seperti tidak asing dengan nama itu.
"Ya, Mirella. Lo inget nggak dulu sewaktu di Amerika, lo pernah liat foto anak cewek yang mukanya cacat sebelah di kamar gue?"
Gaby berusaha mengingat-ingat.
"Gue lupa," jawabnya kemudian.
Gibran mendesah berat. "Nah itu foto Mimi alias Mirella sewaktu dia kecil dan jadi tetangga gue di Bandung. Sekarang, Mirella ditawan sama Freddy,"
Kedua bola mata Gaby membola. Dia ingat siapa itu Mirella.
Itukan wanita yang menabraknya di minimarket Bandara yang ternyata adalah kekasih Omnya, Freddy.
"Ya, gue tau," pekik Gaby tiba-tiba.
Gaby pun menceritakan tentang pertemuannya dengan Freddy dan Mirella di Bandara pada Gibran.
"Jadi pelacur itu temen lo?" ucap Gaby yang memang selalu ceplas ceplos bila bicara.
Wajah Gibran berubah dingin saat mendengar kata pelacur keluar dari mulut Gaby.
"Perlu lo tahu ya Gab, Mirella bukan pelacur. Dia sahabat gue," ucap Gibran sinis.
Gaby jadi tertawa.
"Yaelah, serius banget. Jangan-jangan lo jatuh cinta lagi sama tuh cewek?" kata Gaby merasa lucu.
"Ya, gue emang jatuh cinta sama Mirella. Itu alasannya kenapa gue mau membebaskan dia dari Freddy..." jawab Gibran masih dengan wajahnya yang mengartikan bahwa dia tidak sedang bercanda.
Mendengar hal itu, tawa di wajah Gaby pun sirna dalam sekejap.
Melihat perubahan ekspresi yang signifikan di wajah Gaby, sebuah ide jahil tiba-tiba muncul di kepala Gibran.
"Mirella itu cinta pertama gue dan gue berniat akan menjadikan dia istri gue setelah gue berhasil melepaskan dia dari Freddy..." Gibran menggantung kalimatnya sejenak, hanya ingin melihat ekspresi Gaby lebih jauh.
Tawa Gaby yang kian surut dengan wajahnya yang terlihat nelangsa membuat Gibran geli. Susah payah dia menahan diri untuk tidak tertawa.
Meski setelahnya, tawa Gibran pecah juga.
"Kaget banget kayaknya denger gue jatuh cinta sama cewek lain? Kenapa? Nggak rela ya?" ledek Gibran masih tertawa.
Wajah Gaby memanas. Dia langsung memalingkan tatapannya ke arah lain. Gaby benar-benar malu.
"Nggak usah kepedean! Lo pikir gue perduli!" ucapnya setegas mungkin dengan nada super jutek.
Gibran terus tertawa. "Gaby-Gaby, lucu banget sih lo? Gue cuma bercanda kali, nggak usah ketakutan gitu. Gue nggak akan kemana-mana kok sayang. Gue akan selalu ada di samping lo. Tenang aja," lagi-lagi Gibran terus meledek, membuat Gaby bertambah sewot hingga memukul sebelah pahanya.
"Rese! Rese! Rese banget sih lo!" maki Gaby dengan wajah ditekuk.
Gibran pura-pura kesakitan. Saat Gaby hendak memukulnya lagi, dengan cekatan tangan Gibran menangkap pergelangan tangan Gaby. Dia menatap wajah Gaby lekat.
"Lo cemburu?" tanyanya serius.
Kali ini gantian Gaby yang tertawa.
"Cemburu? Sama Mirella? Yang bener aja... Lo mau samain gue sama Mirella? Iyyuwh... Nggak level!" Gaby bicara dengan bibir yang dibuat-buat. Membuat Gibran gemas.
Gue kenal lo bukan sehari dua hari Gab, tapi udah hampir lima belas tahun lebih.
Bibir lo bisa bohong, tapi ekspresi wajah lo tetap nggak bisa bohongin gue.
Fix, lo cemburu!
Gengsi aja lo gedein!
Ucap Gibran membatin dengan senyuman miring yang tersungging di wajah tampannya.
"Btw, lo maukan bantuin gue?" tanya Gibran setelah hening tercipta beberapa saat di antara mereka.
"Bantu apa?"
"Yang tadi gue omongin,"
Gaby tampak berpikir.
"Gue nggak deket sama Om Freddy dan nggak begitu tahu banyak hal tentang dia. Lagian gue takut kalo deket-deket dia, jelas-jelas keluarga gue juga suruh gue buat nggak berurusan sama Om Freddy. Kalo nanti Om sama Tante gue ngomel gimana? Lo mau tanggung jawab?"
"Kalau lo nggak ngomong juga mereka nggak bakal taukan?" ucap Gibran dengan tangan yang masih menggenggam pergelangan tangan Gaby.
Gaby menatap Gibran yang juga menatapnya.
"Tapi Gib, setahu gue, Mirella itu pacarnya Om Freddy, bukan tawanannya. Jadi buat apa lo susah-payah berniat nyelametin dia, gue yakin hidupnya sejahtera sama Om Freddy. Kayak dia mau aja sama lo? Bukannya lo pernah bilang ya kalau sahabat lo yang namanya Mimi itu udah meninggal?"
Gaby memang tidak terlalu perduli tentang segala hal yang menyangkut kehidupan Gibran sebelumnya, termasuk ketika dulu Gibran seringkali bercerita tentang sosok Mimi padanya sewaktu mereka masih sama-sama tinggal di Amerika.
Di Amerika, tempat tinggal Gaby dan Gibran itu bersebelahan.
Hampir setiap hari mereka bertemu baik di sekolah maupun di rumah.
Sikap Gaby yang cuek dan tak perduli dengan apapun hal yang terjadi di sekelilingnya membuat gadis itu tak banyak mengetahui apapun, termasuk perihal penyakit yang Gibran derita. Yang Gaby tahu, Gibran adalah salah satu pasien ayahnya di rumah sakit. Itu saja.
Berbeda halnya dengan Gibran yang memiliki sikap perduli.
Gibran tahu banyak hal tentang Gaby.
Apa makanan kesukaan Gaby. Warna favoritnya. Pun kebiasaan Gaby saat di rumah maupun di sekolah yang tak pernah luput dari pantauan Gibran.
Bahkan Gibran seringkali memperhatikan Gaby yang sedang berganti pakaian di kamarnya sewaktu mereka mulai beranjak remaja. Kamar mereka yang jendelanya bersebelahan membuat Gibran leluasa memperhatikan segala gerak gerik Gaby melalui teropong miliknya. Dan menjadi sebuah keuntungan bagi Gibran karena jendela kamar Gaby pasti selalu terbuka jika Gaby ada di dalam kamarnya.
"Itukan kata orang. Tapi hati kecil gue yakin kalau Mimi masih hidup dan Mirella itu adalah Mimi," balas Gibran dengan penuh keyakinan.
"Ih, sotoy!" Gaby menoyor kepala Gibran. Dia melepas tangannya yang sejak tadi masih terus digenggam oleh Gibran. Sentuhan Gibran membuat jantungnya semakin tidak normal. Gaby sadar dirinya harus lekas menjauh.
"Ayo dong, Gab bantuin gue. Please..." ucap Gibran memohon. "Lo cuma perlu mengalihkan perhatian Bodyguard-bodyguard yang berjaga di depan pintu apartemen Mirella supaya gue bisa masuk ke sana, selebihnya biar gue yang urus. Dengan posisi lo sebagai keponakan Freddy, gue pikir kedua cecunguk berkepala botak itu nggak akan curiga," jelas Gibran penuh harap. Dia pikir ini cara terbaik yang paling masuk akal dan paling aman agar dirinya bisa memasuki apartemen Mirella tanpa halangan.
"Gue janji deh, kalo lo berhasil nolongin gue masuk ke apartemen Mirella, gue bakal kasih lo tiga permintaan yang bakal gue kabulkan tanpa adanya bantahan," tambah Gibran sambil tercengir lebar.
Melihat kesungguhan Gibran, Gaby jadi tidak tega.
"Tiga permintaan?" tanya Gaby memastikan.
Gibran mengangguk. "Anggap aja gue ini jin yang ada di dalam lampu ajaib, oke?" Gibran malah bercanda, membuat Gaby jadi tertawa.
Gaby melipat ke dua tangannya di depan dada. Dia menaikkan kaki kirinya hingga bertumpu dengan kaki kanannya. Wanita bergaun tidur itu tampak berpikir.
Gaun tidur Gaby yang pendek sontak terangkat bersamaan dengan gerakan kaki Gaby hingga sebelah paha Gaby yang mulus terpampang jelas dihadapan Gibran.
"Kurang tinggi angkat kakinya," ucap Gibran saat itu. Tatapannya nakal ke arah Gaby.
Sadar dirinya kembali jadi bahan ejekan Gibran, Gaby buru-buru mengambil bantal untuk menutupi pahanya.
"Cih, mesum!" makinya dengan pipi merona.
Gibran tersenyum kecut. Gibran tahu, berdekatan dengan Gaby itu berbahaya. Sebab apa yang ada pada diri Gaby selalu sukses memancing syahwatnya.
Untungnya dia tipe lelaki yang pintar menahan nafsu. Jika tidak, sudah Gibran pastikan, Gaby habis dia terkam sejak tadi.
"Jadi gimana? Setuju nggak? Bantuin gue," tanya Gibran mulai tidak sabaran. Dia menyenggol bahu Gaby dengan bahunya.
Gaby melirik sekilas ke arahnya dan mengacungkan jari kelingkingnya. "Oke deal,"
Gibran tersenyum.
Dia menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Gaby.
Hingga setelahnya mereka tertawa bersamaan.

หนังสือแสดงความคิดเห็น (151)

  • avatar
    Nouna Noviie

    lanjutt dooongg...... jadi penasaran apa bayi yg akan d adopsi itu setelah dwasa nanati akan membalaskan dendam sang ibu kandung... apa bila mngetahuin cerita semasa hidup ibu y dan mengetahuin bahwa ayah angkat'y lah Gibran yg sudh membunuh ibu y...!!??? ini Novel baguss menurutku berhasil membawa pembaca masuk ke dalam suasana isi novel ini😍

    22/12/2021

      2
  • avatar
    Mela Agustina

    seruu bgt demi apapun😭🤍🤍

    20d

      0
  • avatar
    WaniSyaz

    Seru banget

    14/07

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด